Vol. 3 No.2 Oktober 2018

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas


Urgensi Pengaturan Syarat Insolvensi Dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


Diana Surjanto1


1Azalee Bali Legal Consultant, E-mail: [email protected]


Info Artikel

Keywords :

Bankruptcy, Insolvency, UUK-PKPU


Kata kunci:

Kepailitan, Insolvensi, UUK-PKPU


Corresponding Author:

Diana Surjanto, E-mail: [email protected]


DOI :

10.24843/AC.2018.v03.i02.p03


Abstract

The Law Number 37 in 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations (The Law Number 37 in 2004) did not regulate insolvency requirement in determining the bankruptcy of debtors. Not surprisingly, bankruptcy decisions against debtors imposed by the Indonesian Commercial Court under the law were very disappointing for the business and investment in Indonesia, because debtors can be terminated without seeing their ability to settle debts. This was on the contrary to the universal philosophy of bankruptcy law, that only debtors who are already in an insolvency state can be declared bankrupt by the court after being requested to bankrupt the intended debtor. The purpose of this research was to know and analyze the relationship between bankruptcy and insolvency and also the regulation of insolvency terms in UUK-PKPU. The type of the research was normative law research, with the statute, conceptual, and comparative approach. The sources of legal materials used in this research were primary and secondary legal materials. The analysis technique of legal materials used analytical descriptive techniques. The result of the research obtained that bankruptcy and insolvencyhave a very close relationship where a person or legal entity should be declared bankrupt if the person or legal entity was insolvent. Urgency for the government to revise The Law Number 37 in 2004 that did not regulate insolvency requirement in determining the bankruptcy of debtors, so that justice, expediency, and legal certainty were created.

Abstrak

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) tidak mengatur syarat insolvensi dalam menentukan kepailitan debitur. Tidak mengherankan apabila putusan pailit terhadap debitur yang dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga Indonesia berdasarkan undang-undang tersebut sangat mengecewakan bagi dunia bisnis dan investasi di Indonesia, dikarenakan debitur dapat diputus pailit tanpa melihat kemampuannya untuk menyelesaikan utang. Hal ini bertentangan dengan filosofi universal dari undang-undang kepailitan yaitu hanya debitur yang sudah berada dalam keadaan insolven, dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan setelah dimintakan permohonan untuk memailitkan debitur yang bersangkutan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk


mengetahui dan menganalisis hubungan antara kepailitan dan insolvensi serta pengaturan syarat insolvensi dalam UUK-PKPU. Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan perbandingan. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan hukum primer dan sekunder. Teknik analisis pengolahan bahan hukum menggunakan teknik deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepailitan dan insolvensi mempunyai hubungan yang sangat erat dimana seharusnya seseorang atau badan hukum dapat dinyatakan pailit apabila seseorang atau badan hukum tersebut dalam keadaan insolven. Urgensi bagi pemerintah untuk merevisi UUK-PKPU yang tidak mengatur syarat insolvensi dalam menentukan kepailitan debitur, agar terciptanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

  • 1.    Pendahuluan

Kegiatan ekonomi dalam pelaksanaannya menimbulkan hak dan kewajiban berupa utang piutang bagi para pihak. Selama utang-utang mampu dibayar oleh debitor, kegiatannya dapat dilanjutkan terus, dan sebaliknya jika debitor tidak mampu membayar utang-utangnya, timbul persoalan akan keberlangsungan usaha debitor tersebut bahkan debitor harus menghentikan kegiatan usahanya karena jatuh pailit atau bangkrut.

Pailit adalah suatu keadaan tidak mampunya debitor dalam membayar utang-utang kepada para kreditor. Hal ini biasanya disebabkan oleh kondisi keuangan usaha debitor yang mengalami penurunan. Sedangkan kepailitan adalah putusan pengadilan yang menimbulkan akibat berupa sita umum terhadap seluruh harta kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Kurator akan mengurus dan membereskan harta debitor pailit dengan pengawasan oleh hakim pengawas, dimana tujuan utama pengurusan dan pemberesan tersebut adalah untuk membayar seluruh utang yang dimiliki debitor pailit kepada para kreditornya secara proporsional sesuai dengan kedudukan masing-masing kreditor.1

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK-PKPU), syarat debitor dapat diputus pailit antara lain sebagai berikut:2

  • 1.    Tidak melunasi minimal 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Asumsi keadaan berhenti membayar tersebut dilakukan debitor baik karena debitor tidak mampu maupun tidak mau membayar utangnya.

  • 2.    Memiliki dua atau lebih kreditor.

  • 3.    Yang dapat mengajukan kepailitan adalah:

  •    Debitor sendiri, karena merasa sudah tidak mampu membayar utang-utang kepada para kreditornya;

  •    Satu orang atau beberapa orang kreditor;

  •    Jaksa atas dasar kepentingan umum.

Dalam ketentuan UUK-PKPU, tidak mengatur syarat bahwa debitor harus berada dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvency). Syamsudin Sinaga berpendapat bahwa hakikat dari pailit adalah ketidakmampuan membayar utang dikarenakan nilai aset lebih kecil daripada jumlah utang. Menurut Hikmahanto Juwana, amandemen UUK-PKPU sangat dominan melindungi kepentingan kreditor. Hal ini tidak sesuai dengan filosofi universal dari undang-undang kepailitan yaitu untuk memberikan solusi bagi kedua belah pihak apabila debitor berada dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya.3 Debitor yang sudah berada dalam keadaan insolven, dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan setelah dimintakan permohonan untuk memailitkan debitor yang bersangkutan. Insolvensi (insolvency) adalah suatu keadaan keuangan (a financial state) suatu subjek hukum perdata (legal entity), sedangkan kepailitan (bankruptcy) adalah keadaan hukum (legal state) dari suatu subjek hukum perdata (legal entity). Debitor hanya dapat dikatakan bankrupt (pailit) oleh pengadilan apabila debitor telah berada dalam keadaan insolven. Tetapi bukan sebaliknya, yaitu debitur yang telah insolven tidak demi hukum menjadi bankrupt (pailit) tetapi harus terlebih dahulu dimohonkan kepailitannya kepada pengadilan.4 Dalam penyelesaian perkara pailit, pada prinsipnya penyelesaian perkara dilakukan secara cepat dan pembuktian secara sederhana.5

Syarat kepailitan di negara lain seperti Singapura dan Hongkong mencantumkan nominal utang dan nilai minimal utang. Jumlah utang dianggap penting untuk menghindari terjadinya permohonan pailit terhadap debitor yang memiliki jumlah utang yang lebih kecil dibandingkan asetnya. Amerika Serikat selain mencantumkan nilai minimal utang, jumlah kreditor pun minimal 12 (dua belas). Dengan syarat kepailitan yang tidak mudah ini, selain sesuai dengan asas kelangsungan usaha, juga diharapkan putusan kepailitan menjadi ultimum remedium atau upaya terakhir dalam penegakan hukum setelah dilakukan upaya-upaya lainnya terlebih dahulu.6

Keadaan debitor tidak membayar utang kepada salah satu kreditornya, tidak berarti bahwa debitor “tidak mampu” lagi membayar utangnya, tetapi bisa saja karena ada alasan tertentu sehubungan dengan kreditor tersebut. Alasan tertentu yang membuat debitor “tidak mau” membayar utangnya kepada kreditor yang bersangkutan tersebut misalnya karena menurut debitor, kreditor tidak melaksanakan kewajiban

kontraktualnya kepada debitor (atau yang dalam hukum perdata dikenal sebagai mora creditoris). Selain itu contoh alasan lainnya yaitu karena para kreditor tersebut memiliki utang yang belum dilunasi juga kepada debitor. Menegaskan kembali yang telah dikemukakan di atas, debitor yang tidak membayar utang hanya kepada salah satu kreditor tetapi masih membayar utang-utang kepada para kreditor lainnya yang menguasai sebagian besar utang debitor, seharusnya tidak dapat diajukan sebagai perkara kepailitan pada pengadilan kepailitan (Indonesia: Pengadilan Niaga) melainkan pada pengadilan perdata biasa. Hukum kepailitan atau bankruptcy law atau insolvency law, di banyak Negara di dunia, menentukan bahwa debitor hanya dapat dinyatakan bankrupt atau pailit oleh pengadilan apabila debitor telah dalam keadaan insolven.7

Pelaksanaan UUK-PKPU dalam memecahkan permasalahan kepailitan di Indonesia masih jauh dari harapan, dikarenakan banyak menimbulkan problematika hukum serta terdapat kelemahan dalam formulasi aturan hukum khususnya dalam UUK-PKPU. Salah satunya terdapat kekaburan norma terkait syarat-syarat kepailitan serta kekosongan norma karena tidak adanya pengaturan yang tegas mengenai syarat insolvensi dalam menentukan kepailitan debitor.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini adalah adanya kekaburan norma sehubungan dengan syarat-syarat kepailitan dan kekosongan norma karena tidak adanya pengaturan yang tegas mengenai syarat insolvensi dalam menentukan kepailitan debitor. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder adalah dengan teknik bola salju. Teknik analisis pengolahan bahan hukum menggunakan teknik deskriptif analitis.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    3.1.    Hubungan Antara Kepailitan dan Insolvensi

Menurut Abdurahman, pailit atau bangkrut adalah seseorang yang dinyatakan pailit oleh pengadilan dan aktiva/warisannya akan dipergunakan untuk pelunasan utang-utangnya.8 Secara hukum, kepailitan adalah segala hal yang berkaitan dengan keadaan debitor yang mempunyai minimal 2 (dua) utang yang telah jatuh tempo, dan debitor tersebut tidak dapat melunasi salah satu dari utang itu. Inti dari persoalan itu adalah sitaan terhadap harta debitor untuk selanjutnya diurus dan dibereskan, dalam artian harta kekayaan itu dijual dan hasil penjualannya

dibayarkan kepada para kreditor.9

Dunia bisnis dalam prakteknya sering mengaitkan antara Insolvensi dengan Kepailitan. Kata bankruptcy dipergunakan untuk mendeskripsikan prosedur Insolvency. Pengertian Insolvency menurut Dictionary of Business Term yaitu: 10

  • 1.    Ketidakmampuan untuk melunasi kewajiban keuangan ketika jatuh tempo; atau 2. Kewajiban lebih besar jika dibandingkan dengan harta kekayaannya dalam suatu waktu tertentu.

Menurut Credit Counselling Society, dua istilah tersebut, yaitu kepailitan dan insolvensi, sering membingungkan apabila tidak kita pahami dengan baik masing-masing pengertiannya. Kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda tetapi terkait satu sama lain. Dikemukakan oleh Rohan Lamprecht: “Insolvency does not necessarily lead to bankruptcy, but all bankrupt debtors are considered insolvent”. Tegasnya, sesuai dengan keterangan tersebut di atas, putusan pailit hanya dapat terjadi terhadap debitor yang sudah insolven. Berkenaan dengan perbedaan antara insolvensi dan kepailitan, Goodman Law menyatakan bahwa insolvensi (insolvency) merupakan suatu keadaan keuangan, yaitu keadaan keuangan yang terjadi apabila utang-utang (tidak hanya satu utang saja) dari debitor melebihi asetnya. Uraian Goodman Law tersebut di atas sesuai dengan penjelasan yang sudah diuraikan di atas mengenai insolvensi (insolvency) dan mengenai kepailitan (bankruptcy). Sebagaimana dikemukakan dalam tulisan Goodman Law tersebut di atas, suatu keadaan insolvensi dapat menjadi dasar untuk dinyatakan pailit, Namun demikian, dapat pula keadaan insolvensi tersebut hanya sementara dan dapat diatasi sehingga tidak harus berakhir kepada kepailitan. Dengan demikian, insolvensi tidak harus berakhir berupa debitor menjadi pailit, tetapi sebaliknya semua badan hukum dan orang perorangan yang dinyatakan pailit pasti insolven. Seorang debitor yang tidak melunasi utangnya kepada salah satu kreditornya tidak selalu karena debitor tidak dapat membayar utangnya, tetapi dapat juga karena debitor memang dengan sengaja tidak mau membayar utangnya karena alasan yang berupa bukan karena debitor tidak mampu membayar. Dengan kata lain, keadaan keuangan debitor masih mampu membayar utang. Debitor tidak membayar utangnya kepada kreditor bukan selalu karena debitor tidak memiliki “ability to repay” (kemampuan membayar) tetapi mungkin saja karena debitor tidak memiliki “willingness to repay” (kemauan membayar). 11

Dalam tulisan yang dibuat oleh Australian Securities & Investments Commission (ASIC) dengan tegas dikemukakan bahwa: “A company is insolvent if it is unable to pay all its debts when they are due”. Dengan demikian, sesuai dengan keterangan tersebut di atas, debitor yang insolven adalah debitor yang tidak dapat membayar utang kepada semua kreditornya. Bukan tidak hanya dapat melunasi utang kepada

satu kreditor saja. Bagaimana pula halnya dengan hukum Singapore agar seorang debitor dapat diputuskan bankrupt (pailit) oleh pengadilan? Dalam satu tulisan yang dibuat oleh SingaporeLegalAdvice.com (23 Juli 2011) dikemukakan bahwa seseorang hanya dapat diputuskan pailit (bankrupt) apabila telah insolven (insolvent), yaitu tidak dapat membayar utang-utangnya kepada para kreditornya.12

Jumlah keseluruhan utang-utang debitor tidak membeda-bedakan jenis para kreditor. Tidak dibedakan apakah utang-utang debitor tersebut kepada para kreditor konkuren, para kreditor dengan hak jaminan, dan kreditor dengan hak istimewa. Untuk menentukan bahwa debitor sudah berada dalam keadaan insolven, harus dilakukan penjumlahan semua utang debitor kepada semua jenis kreditornya dan kemudian dibandingkan dengan jumlah harta kekayaannya (aset) untuk mengetahui apakah jumlah nilai utang tersebut masih lebih besar atau sudah lebih kecil daripada jumlah seluruh utangnya.13

Hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia mengatur prinsip utang dalam arti luas, namun tidak mengatur mengenai prinsip pembatasan jumlah nominal utang seperti yang dianut oleh Singapura dan Hongkong. Tidak dibatasinya jumlah minimum utang sebagai syarat mengajukan permohonan kepailitan, berakibat pada terjadinya penyimpangan terhadap hakikat kepailitan itu sendiri, dimana kepailitan hanya menjadi alat tagih semata. Disamping itu juga dapat berpotensi merugikan kreditor lainnya yang memiliki piutang jauh lebih besar kepada debitor. Seperti kasus Adam Air dan PT. Dirgantara Indonesia, kreditor dengan hak istimewa yang mengajukan permohonan pailit, dimana menurut Pasal 1149 KUH Perdata termasuk para buruh/karyawan perusahaan, artinya apabila perusahaan tidak membayar gaji karyawan dan mereka mohon pailit maka perusahaan dapat dinyatakan pailit, hal ini dikarenakan syarat pailit demikian mudahnya dan tidak mempertimbangkan keadaan finansial debitor. Walaupun misalnya hakim menilai bahwa debitor dalam keadaan finansial yang sehat sehingga menurut hakim debitor tidak semestinya dipailitkan, penilaian ini tidak bisa dijadikan alasan bagi hakim untuk menolak permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor karena dasar diterima atau ditolaknya permohonan kepailitan ditentukan sesuai dengan syarat-syarat yang terdapat dalam UUK-PKPU.14

Dampak yang ditimbulkan terkait konsep insolvensi di Indonesia, antara lain:15

  • 1.    Terhambatnya investasi di Indonesia.

Ada 3 (tiga) syarat untuk menarik kedatangan investor yaitu peluang ekonomi, stabilitas politik, dan kepastian hukum. Peraturan perundang-undangan di

Indonesia dinilai sangat lemah dan menyebabkan ketidakpastian hukum, sehingga arus investasi menjadi tidak kondusif. Beberapa lembaga penelitian pemeringkat daya saing seperti World Bank, The United Nations Development Programs (UNDP), AC Nielsen, dan lembaga-lembaga lainnya menyatakan bahwa Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang sangat tidak diminati dalam hal investasi. Salah satu isu yang diangkat terkait dengan masalah ketidakpastian hukum di Indonesia, sebagai contoh PT. Prudential Life Assurance yang merupakan perusahaan asuransi asal Inggris, pada tahun 2004 harus mengalami jatuh bangun dalam menghadapi serangkaian permohonan kepailitan. Adapun ketidakpastian hukum dalam kasus ini disebabkan oleh tidak jelasnya pengaturan tentang konsep insolvensi dalam peraturan perundang-undangan, sehingga akan sulit membedakan keadaan berhenti membayar karena tidak mau atau tidak mampu membayar. Kasus ini sebenarnya lebih mengarah pada perbuatan wanprestasi dimana penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan perdata biasa.

  • 2.    Tidak terwujudnya keseimbangan perlindungan antara debitor, kreditor, dan stakeholder.

UUK-PKPU semestinya harus memberikan proteksi yang seimbang kepada debitor, kreditor, dan stakeholder. UUK-PKPU disamping harus melindungi para kreditor dengan memberikan solusi untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar, juga harus memberikan perlindungan kepada debitor yang memiliki itikad baik dalam melunasi utang-utangnya. Selain itu perlindungan terhadap hak dan kepentingan stakeholder juga harus diperhatikan, dikarenakan pihak-pihak tersebut memiliki pengaruh dalam keputusan dan tindakan bisnis.

  • 3.    Beresiko terhadap stabilitas pembangunan perekonomian Indonesia.

Beberapa studi mengenai korelasi hubungan hukum dengan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembaharuan hukum mutlak diperlukan dalam pembangunan ekonomi. Stabilitas pembangunan perekonomian merupakan syarat dasar dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan terhambatnya investasi sebagai akibat dari ketidakpastian hukum serta tidak adanya perlindungan yang seimbang antara debitor, kreditor, dan stakeholder, maka akan mengancam stabilitaspembangunan perekonomian secara keseluruhan

  • 3.2.    Pengaturan Syarat Insolvensi Dalam UUK-PKPU

Lembaga kepailitan merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, yang sekarang ini secara khusus tentang kepailitan diatur melalui Undang-Undang Kepailitan. Lembaga tersebut merupakan lembaga alternatif yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan antara debitor dan kreditor secara lebih efektif, efisien, dan proporsional.16 Lembaga kepailitan di Indonesia telah ada

sejak zaman kolonial Belanda yang diatur dalam Faillisementverordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348 dan dikenal dengan Peraturan Kepailitan. Syarat pernyataan pailit dalam Faillisementverordening adalah terbukti secara sumir adanya keadaan yang menunjukkan debitor telah berhenti membayar, namun tidak ada penjelasan resmi mengenai pengertian “secara sumir” dan “dalam keadaan berhenti membayar”.17 Pada tanggal 9 September 1998 diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 (UUK). Dengan diundangkannya UUK-PKPU maka Peraturan Kepailitan dan UUK dicabut serta dinyatakan tidak berlaku lagi.18

Syarat pailit berdasarkan UUK-PKPU yaitu:

  • 1.    Debitor memiliki minimal 2 (dua) kreditor;

  • 2.    Debitor tidak melunasi minimal 1 (satu) utang kepada salah satu kreditornya, dimana utang tersebut telah jatuh tempo serta dapat ditagih.

Menurut standar internasional bahwa dalam hal debitor masih solven tetapi tidak melunasi utangnya yang telah jatuh tempo kepada kreditor, maka kreditor tidak boleh mengajukan gugatan kepailitan di Pengadilan Niaga. Dengan kata lain, kreditor hanya dapat mengajukan permohonan kepailitan apabila debitor telah dalam keadaan insolven. Dalam hal debitor masih dalam keadaan solven tetapi tidak membayar utangnya, kreditor dapat mengajukan gugatan perdata biasa kepada Pengadilan Negeri.

Menanggapi syarat dalam UUK-PKPU tersebut perlu dipertanyakan mengenai hal-hal sebagai berikut: 19

  • 1.    Syarat pertama, yang menentukan debitor harus paling sedikit memiliki dua kreditor, sudah sesuai dengan asas concursus creditorum pada kepailitan. Dalam kepailitan, debitor harus memiliki lebih dari satu kreditor karena apabila memiliki 1 (satu) kreditor saja, maka undang-undang kepailitan akan kehilangan raison de’tre. Apabila debitor hanya mempunyai satu kreditur saja, maka kekhawatiran para kreditor akan berebut menguasai harta kekayaan debitor tidak perlu ada. Sehingga dengan demikian undang-undang kepailitan harus menentukan berlakunya asas concursus creditorum, yaitu debitor harus memiliki lebih dari satu kreditor. Mengenai syarat pertama tersebut, dapat timbul masalah mengenai jenis kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit. Apakah kreditor yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (l) UUK-PKPU tersebut harus hanya kreditor konkuren atau juga termasuk kreditor preferen dan kreditor dengan hak istimewa? Menurut Sutan Remi Sjahdeini, kreditor yang berhak mengajukan pailit haruslah hanya kreditor konkuren saja. Kreditor preferen sama sekali tidak memiliki kepentingan terhadap kepailitan debitor karena sudah dijamin memiliki kedudukan untuk didahulukan pelunasan utangnya

dari pelunasan para kreditor konkuren. Kreditor preferen yang berkedudukan sebagai kreditor separatis, telah dijamin pelunasan utangnya dengan hasil penjualan bagian harta kekayaan debitor yang dijaminkan kepada kreditor preferen berdasarkan pengikatan Hak Jaminan, karena itu kreditor preferen tidak perlu berebut harta debitor seperti halnya para kreditor konkuren yang harus berbagi harta kekayaan debitor di antara mereka berdasarkan eksekusi Pasal l131 dan l132 KUH Perdata. Dengan tidak ditegaskannya jenis kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu apakah para kreditor tersebut hanya kreditor konkuren saja, maka syarat kepailitan menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU menjadi tidak pasti. Dengan kata lain, dapat menimbulkan kekisruhan dalam menafsirkan pengertian kreditor.

  • 2.    Syarat kedua yang menentukan debitor tidak melunasi minimal 1 (satu) utang saja kepada salah satu kreditornya, menunjukan bahwa UUK-PKPU tidak menganut asas insolvensi. Syarat tersebut bermakna bahwa sekalipun debitor memiliki lebih dari seorang kreditor, tetapi tidak perlu debitor tidak membayar lunas semua utangnya kepada semua kreditornya. Cukup apabila hanya kepada 1 (satu) kreditor saja debitor tidak melunasi utangnya, sedangkan kepada kreditor lain tidak perlu utangnya dilunasi karena memang belum jatuh tempo. Pelunasan utang debitor kepada kreditornya belum dapat dikatakan macet (tidak membayar utang tersebut), apabila pelunasan debitor ditentukan berjadwal. Sepanjang jadwal pelunasan tersebut dipenuhi oleh debitor, maka utang tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai telah jatuh waktu (due and payable). Utang tersebut telah dikatakan telah jatuh waktu hanya apabila jadwal pelunasannya telah lampau dan pada waktu jadwal tersebut sampai ternyata pelunasannya belum dipenuhi oleh debitor. Dengan demikian, debitor belum dapat dikatakan insolven hanya apabila tidak membayar utangnya kepada satu kreditornya saja, sedangkan kepada kreditor yang lain masih belum menunggak.

UUK-PKPU menggunakan istilah “insolvensi” dalam Pasal 57 ayat (l) UUK-PKPU tetapi pengertian insolvensi di dalam pasal itu bukan merupakan pengertian insolvensi sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Sebagaimana telah diterangkan di atas, pengertian insolvensi (insolvency) adalah keadaan debitor yang memiliki jumlah semua utang kepada semua kreditornya, tanpa membeda-bedakan jenis Kreditor, melebihi jumlah nilai semua aset (harta kekayaan) debitor. Dalam Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK-PKPU, pengertian “tidak mampu membayar” tidak jelas apakah yang dimaksud adalah “tidak mampu membayar semua utang-utangnya” atau “tidak mampu membayar utang kepada salah satu kreditornya saja”. Sesuai logika hukum, tentunya harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (l) UUK-PKPU yang menentukan cukup memenuhi syarat apabila debitor tidak melunasi utangnya sekalipun hanya kepada salah satu kreditornya yang telah jatuh tempo, sedangkan kepada para kreditornya yang lain tidak menunggak utang. Bila dibaca Penjelasan Pasal 2 ayat (l) UUK-PKPU, ternyata undang-undang tersebut tidak membeda-bedakan jenis kreditor yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (l) UUK-PKPU tersebut. Semua jenis kreditor berhak mengajukan permohonan pailit.20

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa:

  • 1.    Kepailitan dan insolvensi mempunyai hubungan yang sangat erat dimana seharusnya seseorang atau badan hukum dapat dinyatakan pailit apabila seseorang atau badan hukum tersebut dalam keadaan insolven.

  • 2.  UUK-PKPU tidak mengatur syarat insolvensi dalam menentukan kepailitan

Debitur.

Secara umum, Undang-Undang Kepailitan (bankruptcy law atau insolvency law) negara-negara lain menentukan Debitor dapat dinyatakan pailit (bankrupt) hanya apabila Debitur telah dalam keadaan insolven. UUK-PKPU tidak menganut asas insolvensi dalam menentukan kepailitan debitor. Tidak mengherankan apabila putusan pailit terhadap Debitor yang dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga Indonesia berdasarkan undang-undang tersebut sangat mengecewakan bagi dunia bisnis dan investasi di Indonesia. Oleh karena itu urgensi bagi pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UUK-PKPU terutama dengan menambahkan syarat insolvensi dalam hal debitor mohon atau dimohonkan pailit oleh salah satu atau lebih kreditornya agar terciptanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku

Ikhwansyah, Isis, Sonny Dewi Judiasih, & Rani Suryani Pustikasari. (2012). Hukum Kepailitan (Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan). Bandung: CV. Keni Media.

Kansil, C.S.T., & Kansil, C.S.T. (2015). Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Shubhan, M.H. (2008). Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Sidabalok, J. (2014). Hukum Perusahaan Analisis Terhadap Pengaturan Peran Perusahaan dalam Pembangunan Ekonomi Nasional di Indonesia. Bandung: Nuansa Aulia.

Sjahdeini, S.R. (2016). Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Edisi Kedua. Jakarta: Prenadamedia Group.

Jurnal

Adiputra, A.I.G.N.P.B., Murni, R.A.R., & Dharsana, I.M.Pria. (2014). Pengaturan

Pencegahan Kepailitan Melalui Kombinasi Insolvency Test, Reorganisasi Perusahaan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kertha Pertiwi Jurnal Ilmiah Magister Kenotariatan Universitas Udayana Volume 10, Oktober 2014.

Aprita, S. (2017). Asas Kelangsungan Usaha Sebagai Landasan Filosofis Perlindungan Hukum Bagi Debitor Pailit Sehubungan Tidak Adanya Insolvency Test Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan. Nurani: Jurnal Kajian Syari'ah dan Masyarakat, 17(2), 153-179.

Ishak, I. (2015). Upaya Hukum Debitor terhadap Putusan Pailit. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, 17(1), 189-215.

Pratama, B. (2014). Kepailitan Dalam Putusan Hakim Ditinjau Dari Perspektif Hukum Formil dan Materil. Jurnal Yudisial, 7(2), 157-172.

Purwadi, A. (2011). Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah. Perspektif, 16(3), 128-139.

Setiarso, A. N. (2013). Analisis Yuridis Terhadap Keadaan Insolvensi Dalam Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 1(3).

Sunarmi, S., & Hendra, R. (2015). Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia (Studi Putusan No. 48/Pailit/2012/Pn. Niaga. Jkt. Pst Antara PT. Telekomunikasi Selular Vs PT. Primajaya Informatika). Fiat Justisia, 8(2).

Wijayanta, T. (2014). Kajian Tentang Pengaturan Syarat Kepailitan Menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 26(1), 1-13.

Zulaeha, M. (2015). Mengevaluasi pembuktian sederhana dalam kepailitan sebagai perlindungan terhadap dunia usaha di Indonesia. Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER, 1(2), 171-187.

Wijayanta, T. (2014). Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitannya dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga. Jurnal Dinamika Hukum, 14(2), 216-226.

268