Acta Comitas (2018) 1 : 105 – 121

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

ADAPTASI DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI PADA TAHAP PRA KONTRAK PADA HUKUM KONTRAK DI INDONESIA

Oleh

I Gde Prim Hadi Susetya I Made Pasek Diantha Putu Tuni Cakabawa Landra

Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana email : [email protected]/[email protected]

ABSTRAK

Tahap pra kontraktual adalah merupakan tahap awal dari sebuah perundingan antara para pihak yang membuat. Dalam tahap ini bias disebut juga tahap negosiasi atau perundingan atau kesepahaman awal sebelum memasuki kontrak yang sebenarnya. Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau preliminary negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam uang, membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka mengenai kontrak bisnis yang di rundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah satu pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan oleh rekan bisnisnya. Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan buntu dan tidak tercapai kesepakatan, misalnya tidak tercapai kesepakatan mengenai fees, royalties atau jangka waktu lisensi, maka tidak dapat di tuntut ganti rugi atas segala biaya, investasi yang telah dikeluarkan oleh rekan bisnisnya.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pengaturan penyelesaian ganti rugi menurut system hokum di Indonesia, dan (2) Bagaimanakah pengadaptasian Doktrin Promissory Estoppel dalam hukum kontrak di Indonesia.

Berangkat dari adanya kekosongan norma dimana tidak diaturnya akibat hokum pada tahap pra kontraktual baik dalam KUHPerdata maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan hukum kontrak, maka penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan perbandingan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara melakukan study kepustakaan. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskriptif, teknik sistematis, dan teknik evaluatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) pengaturan penyelesaian ganti rugi belum diatur secara tegas dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan kontrak. Dalam KUHPerdata, ganti rugi hanya diberikan jika terjadi wan perstasi dan perbuatan melawan hukum. Namun, jika salah satu pihak merasa dirugikan dalam tahap pra kontraktual bias menggugat ke pengadilan negeri. (2) Pengadaptasian doktrin hukum Promissory Estoppel ke dalam system hukum Indonesia bisa dilakukan karena adanya kesamaan system hukum di common law (inggris, amerika) denga system hukum di Indonesia, sehingga pengadilan di Indonesia bisa memakai doktrin tersebut untuk mengisi kekosongan hukum dalam hukum kontrak.

Kata Kunci: Doktrin Promissory Estoppel, Ganti Rugi, Tahap Pra Kontraktual.

ABSTRACT

Pre-contractual phase is an early phase of a negotiation of two-sided affairs. This phase can be also called as the early phase of negotiation or agreement or understanding before enters the actual contract agreement. Legal issues will arise, if before thecontract has not validand bind of the two-sided affairs yet, namely in the negotiation process or preliminary negotiation; one of the two-sided affairs has disobeyed

the law legal actions such as borrow money, buy land, however, they have not reached the final agreement yet regarding the negotiated business contract. This case can be occurred because one of the parties obviously trusts and hopes in the promises which are given by another party. If, in the end, the final agreement is deadlocked and has no reached any deal at all, such as the agreement is unreachable regarding of fees, royalties or license terms, any expenses and the investments that has spent by his business partnerwill not be sued for the compensation.

Based on these problems, therefore the problems of study that can be appointed are (1) How does to set compensation arrangement setting based on the legal system in Indonesia and (2) How does to adapt the Doctrine of Promissory Estoppel in contract law in Indonesia.

Regarding there is no norm that enlisted the effects of law in pre-contractual phase either in the Civil Procedure Code or in any other legislation related to contract law; therefore, this study uses normative legal studies. This study uses a comparative, case studies and conceptual approaches. The sources of legal materials in the study consist of primary legal, secondary and tertiary materials. The collection method of the sources of legal materials is by conducting the library studies. The used analysis methods of legal materials are descriptive, systematic, and evaluative methods.

The results of the study indicated that (1) the compensation arrangement setting has not been regulated strictly either in the Civil Procedure Code or in any other legislation related to contract law. In the Civil Procedure Code, the compensation will be given only if wanperstasi (in form of breach of contract) and tort occur. However, if one of the parties feels aggrieved in the pre-contractual phase, it can sue to the District Court. (2) Adapting the legal doctrine of Promissory Estoppel into Indonesian legal system can be conducted because both of the legal system in common law (British and United States of America) and legal system in Indonesia have similarities, so that the courts in Indonesia can use the doctrine to fill the legal vacuum in contract law.

Keywords: The Doctrine of Promissory Estoppel, Compensation, Pre-Contractual Phase.

  • I.    Pendahuluan

Penulisan penelitian ini dilandasi oleh permasalahan bagaimana penyelesaian ganti rugi pada tahap pra kontrak, dimana apabila salah satu pihak memberikan janjinya dan pihak menaruh percaya dan pengharapan kepada janji tersebut dan melakukan perbuatan hukum, kemudian disisi lain pihak pemberi janji menarik janjinya secara sepihak.

Fungsi kontrak, terutama dalam dunia bisnis, adalah untuk melindungi kepentingan para pihak dalam rangka mengatur hak dan kewajiban, sehingga tercipta kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Lazimnya dalam dunia bisnis, perjanjian dibuat secara tertulis, yakni dengan pembuatan kontrak. Sebelum memasuki kontrak, para pihak biasanya memasuki tahap pra kontak, yakni tahap dimana para pihak mempunyai suatu kesepahaman awal untuk memasuki suatu kontrak.

Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau preliminary negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam uang, membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka mengenai kontrak bisnis yang di rundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah satu pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan oleh rekan bisnisnya.1 Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan buntu dan tidak tercapai kesepakatan,    misalnya tidak

tercapai kesepakatan mengenai fees, royalties atau jangka waktu lisensi, maka tidak dapat di tuntut ganti rugi atas segala biaya, investasi yang telah dikeluarkan 2 oleh rekan bisnisnya.2

  • 1Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian : Teori Dan Analisa Kasus, Cetakan Ke-1, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 1

  • 2Ibid.

Tentunya pihak yang telah melakukan perbuatan hukum tersebut merasa dirugikan apabila perbuatannya tersebut adalah perbuatan yang dilakukan sebelum terjadinya kontrak yang final atau mengalami jalan buntu diantara para pihak yang melakukan perjanjian atau dengan kata lain salah satu pihak menarik janji-janji yang telah diucapkan yang mengakibatkan kerugian yang diderita oleh pihak lain.

Keadaan ini dimunculkan akibat adanya kekosongan norma (vacum of norm) dimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian atapun kontrak belum mengatur adanya akibat hukum janji-janji yang diberikan pada tahap pra kontrak.

Dalam sistem hukum di Indonesia yang menganut sistem hukum civil law belum diatur secara tegas mengenai akibat hukum dari perjanjian pada tahap pra kontrak. Apabila ada pihak yang mengalami kerugian dalam tahap pra kontrak dan mengajukan gugatan ke pengadilan, tentu saja gugatan tersebut akan kalah. Selama ini para hakim di Indonesia memutus perkara tidak hanya melihat dari kepastian hukum semata, melainkan dari sisi keadilan juga. Perjanjian pra kontrak dimata beberapa hakim Indonesia dianggap bukanlah suatu perjanjian yang sah karena tidak atau belum memiliki suatu hal tertentu yang diperjanjikan sehingga ganti kerugian atas wanprestasi terhadap perjanjian pra kontrak tidak dapat dimintakan. Pengadilan sebagai gerbang menuju keadilan, dimana orang-orang mencari keadilan harus bertindak secara adil kepada setiap warga Negara.

Tahap pra kontraktual adalah tahap di mana para pihak

melakukan perundingan untuk menentukan isi perjanjian yang nantinya akan mereka sepakati. Kesepakatan ini merupakan salah satu syarat penting untuk menerbitkan hubungan hukum selain syarat-syarat lain seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Selain ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, dalam membuat perjanjian para pihak juga harus memperhatikan asas-asas dalam perjanjian. 3

Di Negara-negara maju yang menganut common law system seperti Inggris dan Amerika Serikat, berdasarkan doktrin promissory estoppels atau detrimental reliance, janji-janji pada tahap pra kontrak bisa bisa dituntut ganti kerugian apabila ada pihak yang merasa dirugikan. Doktrin promissory estoppels ini adalah suatu doktrin hukum yang mencegah seseorang pemberi janji (promissor) untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak yang menerima janji (promise) karena kepercayaannya terhadap janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga penerima janji akan menderita kerugian.4 Maka pada tahap negosiasi atau pra kontrak dapat dituntut ganti kerugian. Hal ini untuk melindungi pihak penerima janji yang telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan, sehingga akan mengalami kerugian apabila pihak pemberi janji menarik janjinya.

  • 3Antari Innaka, 2013, “Penerapan Asas Itikad Baik Tahap Pra Kontraktual Pada Perjanjian Jual Beli PerumahanMimbar Hukum Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oktober 2012

  • 4Bisdan Sigalingging, 2014, “Teori Tentang Perjanjian”, Serial Online, (Cited 2016 may. 11), available from : URL : https://bisdan-sigalingging.blogspot.co.id/2014/10/teori-tentang-perjanjian.html

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research question adalah (1) Bagaimana pengaturan penyelesaian ganti rugi dalam tahap pra kontrak menurut sistem hukum di Indonesia? dan (2) Bagaimana pengadaptasian Doktrin Promissory Estoppel dalam hukum kontrak di Indonesia?

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang beranjak dari kekosongan norma dimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan    perundang-undangan

terkait dengan perjanjian atapun kontrak belum mengatur adanya akibat hukum janji-janji yang diberikan pada tahap pra kontrak, sehingga    bisa    menimbulkan

permasalahan hukum dan tentunya memberikan rasa tidak adil pada pihak yang merasa dirugikan karena tidak memiliki kekuatan hukum untuk menuntu ganti kerugian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus, pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan perbandingan. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan telaah kepustakaan (study document). Teknik analisis bahan hukum menggunakan teknik deskriptif,      evaluatif      dan

sistematis.

  • III.    TEORI DAN TINJAUAN UMUM TENTANG PRA KONTRAK,    KONTRAK,

DOKTRIN    PROMISSORY

ESTOPPEL,  DAN SISTEM

HUKUM COMMON LAW DAN CIVIL LAW

  • 3.1    Teori Kontrak

Teori Kontrak atau disebut juga dengan the contract theory, atau contract theorie, mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan         bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan karena teori ini menganalisis hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lainnya.

David J. Mack menyajikan pengertian kontrak. A Contract is : “An Agreement between two or more parties that creates an obligation on all parties to perform (or not perform) a particular action or set of related action”. Kontrak dalam definisi ini dikonstruksikan sebagai sebuah persetujuan antara dua pihak atau lebih     untuk     menciptakan

kewajiban hukum semua pihak, yaitu untuk melakukan (atau tidak melakukan) tindakan tertentu atau serangkaian tindakan terkait. Unsur-unsur    kontrak    dalam

definisi ini meliputi : a. Adanya persetujuan;

  • b.    Adanya para pihak atau subyek hukum;

  • c.    Adanya kewajiban hukum dari semua pihak; dan

  • d.    Melakukan atau tidak melakukan sesuatu

Sementara itu, objek kajian dari teori kontrak, yaitu :

  • a.    Hubungan hukum para pihak;

  • b.    Adanya subyek hukum;

Adanya hak dan kewajiban;5

  • 3.2    Teori Autonomy Of Contract atau

Teori Kontrak Otonom

Autonomy Of Contract theory atau teori kontrak otonom difokuskan pada pendekatan keadilan para pihak dalam suatu sengketa yang berkaitan dengan kontrak. Andrew S. Gold membagi teori kontrak otonom menjadi tiga macam, yaitu:

  • a.  Promissory theories;

  • b.  Reliance theories; and

  • c.   Transfer theories

Promissory           theories

merupakan teori yang menjelaskan tentang mengikatnya kontrak karena adanya persetujuan para pihak. Persetujuan merupakan komponen dasar dari kontrak. Persetujuan itu sebagai dasar di dalam melaksanakan hak dan kewajiban para pihak. Promissory theories dibangun atas dasar pendekatan moral. 6

Reliance theories atau teori ketergantungan merupakan teori yang difokuskan pada kepentingan promisse. Promise, yaitu orang menerima tawaran dari penawar (promisor).     Idenya,    bahwa

promisor meminta kepada promise untuk melaksanakan kewajiban kontraktualnya. Transfer theories atau teori transfer merupakan teori yang    menganalisis    tentang

pelaksanaan kontrak, karena promise telah memperoleh hak-hak dari promisor. Ini berarti bahwa promise harus memindahkan atau melaksanakan         kewajiban

kontraktualnya.

  • 3.3    Teori Keadilan

Teori       keadilan       ini

dikemukakan oleh Aristoteles. Keadilan adalah tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan sedikit yang dapat    diartikan    memberikan

sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi hak 7 nya.

Aristoteles membagi keadilan menjadi dua macam, yaitu :

  • 1.    Keadilan dalam arti umum;

8

  • 2.    Keadilan dalam arti khusus8

Keadilan dalam arti umum adalah keadilan yang berlaku bagi semua orang. Tidak membeda-bedakan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Justice for all. Keadilan dalam arti khusus merupakan keadilan yang berlaku hanya ditujukan pada orang tertentu saja (khusus). Disamping itu, aristoteles juga membagi keadilan menjadi dua macam, yaitu:

  • 1.    Keadilan distributif;

  • 2.    Keadilan korektif9

Keadilan           distributive

dijalankan    dalam    distribusi

kehormatan,  kemakmuran, dan

aset-aset lain yang dapat dibagi dari komunitas yang bisa dialokasikan     diantara     para

anggotanya secara merata atau tidak merata oleh legislator. Prinsip keadilan distributif adalah kesetaraan yang proporsional (seimbang). Keadilan korektif merupakan     keadilan     yang

menyediakan   prinsip   korektif

dalam transaksi privat. Keadilan korektif dijalankan oleh hakim dalam menyelesaikan perselisihan dan member hukuman terhadap pelaku kejahatan. 10 3.4 Teori 3P

Teori ini didasarkan kepada pemilikiran Scoott J. Burham yang mendasarkan dalam penyusunan suatu kontrak haruslah dimulai mendasari dengan pemikiran-pemikiran sebagai berikut :

  • a.  Predictable, dalam perancangan dan

analisa kontrak seorang darfter harus dapat meramalkan atau melakukan prediksi mengenai kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi yang ada kaitannya dengan kontrak yang disusun.

  • b.  Provider, yaitu siap-siap terhadap

kemungkinan yang akan terjadi.

  • c.    Protect of Law, perlindungan hukum terhadap kontrak yang telah

  • 9Ibid., hal. 146-148

  • 10Salim HS, op.cit, hal. 27-28

dirancang dan dianalisa sehingga dapat melindungi klien atau pelaku bisinis      dari      kemungkinan-

kemungkinan terburuk dalam menjalankan bisnis.11

  • 3.5 Tinjauan Umum Tentang Pra Kontrak, Kontrak, Doktrin Promissory Estoppel, Dan Sistem Hukum Common Law Dan Civil Law

  • 3.5.1    Pengertian Pra Kontrak

Tahap pra kontrak merupakan tahap sebelum kontrak dirancang dan disusun. Dalam Black Law Dictionary pengertian pra kontrak adalah:

“Precontractual is a contract that precludes a party from entering into comparable agreement with someone else.”

Dalam masyarakat pengusaha (bisnis) tahap pra kontraktual sering     disamakan     dengan

Memorandum Of Understandings (MoU) sebelum masuk atau mengikatkan diri ke dalam kontrak yang mengikat. Memorandum Of Understandings (MOU) atau nota kesepahaman adalah pernyataan tertulis      yang      merincikan

kesepahaman awal dari pihak-pihak yang akan mengikatkan diri ke dalam suatu kontrak atau 12 perjanjian lainnya. 12

Sebelum kontrak disusun, ada empat hal yang harus diperhatikan oleh para pihak. Keempat hal itu meliputi: identifikasi para pihak, penelitian awal aspek terkait, pembuatan Memorandum   Of

Understanding    (Mou),    dan

negosiasi.

  • 1.    Identifikasi Para Pihak

Tahap identifikasi para pihak merupakan     tahap      untuk

menentukan dan menetapkan

identitas para pihak yang akan mengadakan kontrak. Identitas para pihak harus jelas dan para pihak     harus     mempunyai

kewenangan    hukum    untuk

membuat kontrak. Orang yang berwenang membuat kontrak adalah orang yang sudah dewasa dan/atau sudah kawin. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah:

  • a.    Anak       dibawah       umur

(minderjarigheid)

  • b.    Orang yang ditaruh dibawah pengampuan.

  • c.    Istri (Pasal 1330 KUHPerdata). Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.

Dalam Pasal 39 Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris ditentukan dua syarat bagi para pihak yang menghadap ke Notaris, yaitu paling sedikit berumur 18 Tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum.

  • 2.    Penelitian awal aspek terkait

Pada dasarnya, pihak-pihak berharap bahwa kontrak yang ditandatangani dapat menampung semua keinginannya sehingga apa yang menjadi hakikat kontrak benar-benar terperinci secara jelas. Perancangan kontrak harus menjelaskan hal-hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkutan, konsekuensi     yuridis,     serta

alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan.     Pada     akhirnya

penyusunan              kontrak

menyimpulkan hak dan kewajiban

masing-masing            pihak,

memperhatikan hal terkait dengan

isi kontrak, seperti unsur

pembayaran, ganti rugi, serta

13 perpajakan. 13

  • 3.    Pembuatan Memorandum Of Understanding (MoU)

Istilah Memorandum Of Understanding berasal dari dua kata, yaitu memorandum dan understanding. Secara gramatikal memorandum of understanding diartikan sebagai nota kesepahaman. Dalam Black Law Dictionary, yang diartikan memorandum adalah:

“is to serve as the basis of future formal contract.” Yang terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia adalah “dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada masa datang.”

Sedangkan understanding diartikan sebagai:

“An implied agreement resulting from the express term of another agreement, whether written or oral.” Artinya, pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun secara tertulis.”

Munir Fuady, mengartikan Memorandum Of Understanding sebagai berikut:

“Perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail, karena itu, memorandum of understanding berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai lain-lain aspek dari memorandum of understanding relatif sama dengan perjanjian-perjanjian lain.”14

  • 3.5.2    Pengertian Kontrak

Perjanjian dapat dilakukan secara lisan dan dapat dilakukan secara tertulis. Perjanjian lisan pada umumnya dilakukan di

masyarakat adat untuk ikatan hukum yang sederhana, misalnya perjanjian “pengkadasan ternak”, perjanjian “nyakap tanah”. Sedangkan perjanjian, pada umumnya dilakukan pada masyarakat yang relatif sudah modern, berkaitan dengan bisnis yang hubungan hukumnya kompleks. Perjanjian tertulis untuk hubungan bisnis itu disebut dengan kontrak. 15

Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian). Pengertian perjnajian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Di dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan kontrak adalah:

“An agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular thing”.

Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, dimana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. Inti definisi yang tercantum dalam Black’s Law Dictionary bahwa kontrak dilihat sebagai persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan secara sebagian.

Charles L. Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan, contract is:

15I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Ke Dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal. 28

“An Agreement between two or more persons not merely a shared belief, but common understanding as to something that is to be done in the future by one or both of them.”16

  • 3.5.3    Sumber Hukum Kontrak

Pada dasarnya sumber hukum kontrak dapat dibedakan menurut system hukum yang mengaturnya. Sumber hukum, dapat dilihat dari keluarga hukumnya. Ada keluarga hukum romawi, common law, hukum sosialis, hukum agama, dan hukum tradisional. Disini penulis akan menyajikan sumber hukum kontrak berdasarka system hukum romawi atau civil law dan common law.

  • 1.    Sumber hukum kontrak dalam civil law (Indonesia)

Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formal.

Sumber hukum materiil ialah tempat darimana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya    hubungan    social,

kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi, hasil penelitian ilmiah,            perkembangan

internasional,     dan     keadaan

geografis.17 Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yag menyebabkan peraturan hukum 18 formal itu berlaku. 18

Sumber hukum kontrak yang berasal    dari    undang-undang

merupakan sumber hukum yang berasal dari peraturan perundang-

undangan yang dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. Sumber hukum kontrak yang berasal dari peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Algemene Bepalingen van Wetgeving

(AB)

  • b.    Buku Ke III KUHPerdata c. KUHDagang

  • d.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

  • e.  Undang-Undang Nomor 18 Tahun

1999 Tentang Jasa Konstruksi

  • f.  Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa

  • g.    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000      Tentang      perjanjian

Internasional

  • 2. Sumber Hukum Kontrak Common Law (Amerika)

Dalam hukum kontrak Amerika (common law), sumber hukum dibagi menjadi dua kategori, yaitu sumber hukum primer dan sekunder. Sumber hukum primer merupakan sumber hukum yang utama. Para pengacara dan hakim menganggap bahwa sumber primer dianggap sebagai hukum itu sendiri. Sumber hukum primer meliputi putusan pengadilan (judicial opinion), statuta, dan peraturan lainnya. Sumber hukum sekunder merupakan sumber hukum yang kedua. Sumber hukum ini mempunyai pengaruh dalam pengadilan, karena pengadilan dapat mengacu pada sumber hukum tersebut. 19

Berdasarkan sumber tersebut, maka sumber hukum kontrak yang berlaku di Amerika Serikat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu judicial opinion, statutory law, the   restatement,   dan legal

commentary.

19Salim HS, op.cit, hal. 17

  • a.    Judicial Opinion

Judicial Opinion atau disebut juga dengan judge made law atau judicial decision merupakan sumber primer hukum kontrak. Judicial opinion    merupakan

pernyataan atau pendapat, atau putusan para hakim di dalam memustuskan perkara atau kasus, apakah kasus pidana atau perdata. Seperti kita ketahui bahwa sistem pengadilan    Amerika    dalam

pembuatan keputusan, biasanya dinyatakan sebagai stare decisis, ketaatan terhadap keputusan yang telah    lewat    atau    disebut

precedents.    Preseden    adalah

keputusan yang terdahulu yang fakta-fakta cukup mirip dengan kasus sub judice yang berada dibawah keputusan pengadilan (adjudication).

  • b.    Statutory Law (Hukum Perundang-undangan)

Sumber lain dari hukum kontrak adalah bersumber dari statutory    of    law    (hukum

perundang-undangan).     Sumber

hukum ini melengkapi  hukum

kebiasaan     (common     law).

Statutory of law merupakan 20 sumber hukum yang tertulis.20 c. Restatement

Restatement merupakan hasil rumusan ulang tentang hukum. Rumusan ini dilakukan karena timbulnya   ketidakpastian dan

kurangnya keseragaman dalam hukum dagang (commercial law). Restatement tersebut menyerupai undang-undang, meliputi black letter, penyataan-pernyataan dari “aturan umum” (atau kasus itu mengetengahkan konflik dengan aturan yang lebih baik).

  • d. Legal Commentary (Komentar

Hukum)

Legal commentary merupakan sumber hukum sekunder. Legal commentary dianalogkan dengan doktrin dalam hukum continental

karena commentary of law merupakan pendapat atau ajaran-ajaran dari para pakar tentang hukum kontrak.

Pada dasarnya yang banyak dikomentari oleh para pakar hukum kontrak adalah tentang restatement kontrak. Restatement kontrak telah mempunyai dampak yang kuat dalam membentuk pandangan pengadilan tentang apa yang    sepatutnya    dilakukan

common law dari kontrak. Restatement tentang kontrak cukup mempunyai pengaruh kuat dalam hukum. Akan tetapi, selama bertahun-tahun telah bermacam artikel dipublikasikan, buku-buku, dan beraneka ragam risalah telah dicurahkan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mempersatukan badan-badan yang luas tentang kasus-kasus kontrak yang telah diakumulasi dalam keputusan yang dilaporkan    oleh    pengadilan

Amerika.

  • 3.5.4    Syarat Sahnya Kontrak

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu kontrak atau perjanjian diperlukan, 4 (empat) syarat, yakni:

  • 1.  Sepakat mereka yang mengikatkan

dirinya;

  • 2.  Kecakapan untuk membuat suatu

perikatan;

  • 3.  Suatu hal tertentu;

  • 4.  Suatu sebab yang halal;

Pasal  1320 KUHPerdata ini

merupakan pasal yang sangat popular   karena menerangkan

tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian atau biasa disebut syarat subyektif maupun     syarat     mengenai

perjanjian itu sendiri (isi perjanjian)  atau  biasa disebut

21 dengan syarat objektif.21

20Ibid., hal 19


  • 3.5.5    Unsur-Unsur Perjanjian atau Kontrak

  • a. Unsur Esensialia

Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam perjanjian, tanpa adanya unsur esensialia maka tidak ada perjanjian. Unsur esensialia    dalam    perjanjian

mewakili     ketentuan-ketentuan

berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau     lebih     pihak,     yang

mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya.22    Contohnya    dalam

perjanjian jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam perjanjian jual beli, perjanjian tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang 23 diperjanjikan. 23 b. Unsur Naturalia

Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur  naturalia  ini merupakan

unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak.  Sebagai contoh,

jika    dalam    kontrak tidak

diperjanjikan    tentang    cacat

tersembunyi, secara otomatis berlaku     ketentuan     dalam

KUHPerdata bahwa penjual yang harus     menanggung     cacat

24 tersembunyi. c. Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para

Sampai 1456 BW, Cetakan Ke-5, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 67

  • 22Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2014, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cetakan Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 85

  • 23R. Soeroso, 2011, Perjanjian Di Bawah Tangan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 17

  • 24Ahmadi Miru, op.cit, hal 31-32

pihak memperjanjikannya. Bisa dikatakan      bahwa      unsur

aksidentalia merupakan unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang    merupakan    ketentuan-

ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh  para pihak,

sesuai denga kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara 25 bersama-sama oleh para pihak.25 Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar utangnya, dikenakan denda 2% per bulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor       tanpa       melalui

pengadilan. 26

  • 3.5.6 Jenis-Jenis Kontrak

Para ahli dibidang kontrak tidak ada kesatuan  pandangan

tentang pembagian   jenis-jenis

kontrak.    Ada    ahli    yang

mengkajinya     dari     sumber

hukumnya, namanya, bentuknya,

aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya.

  • 1.  Kontrak Menurut Sumber Hukumnya

  • 2.  Kontrak menurut namanya

  • 3.  Kontrak menurut bentuknya

  • 4.  Kontrak Sepihak dan Timbal Balik

  • 5.    Perjanjian cuma-cuma dan atas beban

  • 6.    Perjanjian berdasarkan sifatnya

  • 3.6 Tinjauan Umum Tentang Doktrin Promissory Estoppel

Doktrin promissory estoppel ini merupakan doktrin yang berkembang di system hukum common law, yakni di Negara Inggris dan Amerika Serikat. Kata e s t oppel    merupakan    bagian

terpenting dari doktrin tersebut. Estoppel diambil dari kata estop yang oleh oxford dictionary disebut stop up. Dalam Black Law

  • 25Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, hal. 89

  • 26Ibid.

Dictionay, konsep estoppel ini diartikan sebagai:

  • 1.    A bar that prevents  one from

asserting a claim or right that contradicts what one has said or done before or what has been legally established as true.

  • 2.    A bar that prevents the relitigation of issues.

  • 3.    An affirmative defence alleging good-faith reliance on a misleading representation and an injury or detrimental change in position resulting from that reliance. Waiver. Charles YC Chew dalam bukunya yang berjudul Business Law:  Guidebook, menyebutkan

ada unsur-unsur agar doktrin promissory estoppel tersebut agar dapat berlaku, diantaranya:

  • 1.    A representation must be made;

  • 2.    The representation must be cler, whether expressed or implied; and

  • 3.    The party relying on the representation must be placed at material disadvantage because that representation has   not been

honoured.27

Konsep estoppel  ini pada

dasarnya      adalah     hukum

pembuktian dimana seseorang dilarang menyangkal bukti yang sudah terbukti secara tegas dan nyata dalam persidangan. Estoppel berhubungan erat dengan surat permohonan pelepasan tuntutan.

  • 3.7 Tinjauan Umum Tentang Civil Law dan Common Law

  • 3.7.1    Civil Law System

Sistem hukum ini berkembang terutama di Eropa daratan, sehingga kerap kali juga disebut “Sistem      Hukum      Eropa

Kontinental.”28 Istilah civil law sendiri berasal dari bahasa latin

yakni ius civile, yaitu hukum yang berlaku bagi para cives (warga negara), atau resminya ius civile quiritium, yaitu hukum yang berlaku bagi para warga negara penuh Romawi, dan membedakan diri dari hukum alam (ius naturale) dan hukum internasional (ius gentium).

Dalam perkembangannya civil law dapat memiliki tiga pengertian sebagai berikut:

  • a.    Sebagai hukum sipil (perdata) atau hukum umum, sebagai cabang dari hukum positif yang tidak memuat kaidah-kaidah pidana.

  • b.    Sebagai sistem yurisprudensi yang berlaku dan dilaksanakan dalam sistem hukum romawi; dan

  • c.    Sebagai hukum sipil yang merupakan  bagian dari  hukum

continental eropa yang secara luas mencakup  kaidah-kaidah hukum

29

perdata.

  • 3.7.2    Common Law System

Sistem common law secara orisinil berkembang dibawah pengaruh sistem yang bersifat adversarial dalam sejarah inggris berdasarkan keputusan pengadilan yang berdasarkan tradisi, custom, dan preseden. Bentuk reasoning yang digunakan dalam common law dikenal dengan casuistry atau case based reasoning. Common law dapat juga berbentuk hukum tak tertulis maupun hukum tertulis seperti tertuaang dalam statute atau codes.30

Istilah  common  law berasal

dari bahasa prancis “commune-ley” yang merujuk kepada adat

kebiasaan  (custom)  di Inggris

yang tak tertulis dan yang melalui keputusan-keputusan       hakim

  • 29Budiono Kusumohamidjojo, 2015, Perbandingan Hukum Kontrak (Comparative Contract Law), CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 26-27

  • 30Ade Maman Suherman, 2012, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum: Civil Law, Common Law, Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 75

dijadikan berkekuatan hukum. Common  law  adalah  hukum

kebiasaan  atau  asas-asas tidak

tertulis yang sudah menjadi dasar dari putusan-putusan pengadilan serta sudah lama diterima dalam perilaku manusia. Kebiasaan dan asas-asas dalam common law berasal dari case law, yang sudah lama diterima sehingga menjadi preseden. Case law adalah kumpulan        putusan-putusan

pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya yang harus diikuti oleh hakim-hakim yang lebih rendah    tingkatannya    dalam

memutus perkara serupa, dalam kenyataan, case law yang sudah menjadi presen sering disebut juga 31

common law.31

  • IV.    PENGATURAN

PENYELESAIAN GANTI RUGI PADA TAHAP PRA KONTRAK MENURUT SISTEM HUKUM DI INDONESIA

  • 4.1    Penyelesaian Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam KUHPerdata yang dianut oleh sistem hukum di Indonesia, tidak diatur secara tegas mengenai ganti kerugian pada tahap pra kontrak dan tahapan-tahapan dalam membuat kontrak. Pasal 1320 KUHPerdata sendiri hanya mengatur mengenai syarat sahnya kontrak atau perjanjian. KUHPerdata hanya melihat ganti rugi bisa dituntut jika terjadi wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

  • 4.1.1    Ganti Rugi Berdasarkan Wan Prestasi

Terjadinya        wanprestasi

senantiasa     diawali     dengan

hubungan             kontraktual

(characteristic of default is always preceded by a contractual relationship). Kontrak dibuat sebagai instrument yang secara

khusus mengatur hubungan hukum antara kepentingan yang bersifat privat dan perdata khususnya dalam pembuatan kontrak.

Wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji, yaitu kewajiban dari debitur untuk memenuhi suatu prestasi, jika dalam melaksanakan kewajiban bukan    terpengaruh    karena

keadaan, maka debitur dianggap telah melakukan ingkar janji. Kata wanprestasi berasal dari bahasa belanda, yaitu berarti prestasi buruk.

Dengan adanya wanprestasi, pihak yang dirugikan akibat kegagalan pelaksanaan prestasi mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan hak-hak kontrak atau perjanjiannya.       Hal       ini

sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1267 KUHPerdata yang menyataka bahwa:

“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih untuk memaksa pihak lain untuk memenuhi perjanjian, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan perjanjian, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga”.

Hak-hak gugat dapat diajukan secara tersendiri maupun dikombinasikan dengan gugatan lain, meliputi:

  • 1.    Pemenuhan (nakoming);

  • 2.    Ganti      Rugi      (vervangende

vergoeding);

  • 3.    Pembubaran, pemutusan, atau

32 pembatalan (ontbinding);32

  • 4.1.2    Ganti Rugi Berdasarkan Perbuatan     Melawan

Hukum

Perbuatan melawan hukum dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1365 hingga Pasal 1380. Meskipun pengaturan perbuatan melawan     hukum     dalam

KUHPerdata hanya 15 pasal,

32Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Jogjakarta, hal. 235

tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan perdata di pengadilan    didominasi    oleh

gugatan   perbuatan    melawan

hukum    disamping    gugatan

33 wanprestasi.

Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Rumusan norma pada pasal ini unik, tidak seperti ketentuan-ketentuan pasal lainnya. Perumusan norma Pasal 1365     KUHPerdata     lebih

merupakan    struktur    norma

daripada substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap.34

Dalam hal ganti rugi pada tahap pra kontrak bisa dituntut ganti kerugian sebab disni terjadi hubungan sebab akibat yang menimbulkan kerugian di salah satu pihak yang percaya dengan janji-janji      pihak      lainnya.

Hubungan sebab akibat merupakan faktor yang mengaitkan antara kerugian    seseorang    dengan

perbuatan orang lain. Dengan demikian timbul pertanyaan, kapankah dapat dikatakan bahwa suatu kerugian adalah fakta (the fact) atau kemungkinan/kira-kira (proximate)   dan kapan pula

dianggap terlalu jauh.

  • 4.2 . Penyelesaian Ganti Rugi

Pada Tahap Pra Kontrak Melalui Jalur Pengadilan

Permasalahan atau sengketa antara para pihak sering kali muncul ketika para pihak telah berada dalam tahap pelaksanaan kontrak tersebut, namun tak jarang sengketa itu muncul ketika para pihak masih berada dalam tahap pra     kontrak/negosiasi     (pra

contractual). Para pihak sering kali tidak mencapai kata sepakat atau kesulitan mencapai kata sepakat dalam tahap pra kontrak

atau bahkan slah satu pihak sudah menderita kerugian saat tahap pra kontrak.

Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan     bahwa     yang

berwenang     dan     berfungsi

melaksanakan  peradilan hanya

badan-badan   peradilan yang

dibentuk berdasarkan undang-undang.    Diluar    itu    tidak

dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority of law.

Apabila seseorang atau suatu badan hukum “merasa” dan “dirasa” bahwa haknya telah dilanggar oleh orang lain, kemudia penyelesaian    damai     secara

kekeluargaan tidak tercapai, salah satu jalan dapat ditempuh oleh mereka adalah perkara tersebut diajukan                  kepada

Hakim/Pengadilan        Negeri

berwenang,     yaitu     dengan

dibuatnya surat gugatan perdata 35 (burgelijk vordering, civil suit).35

Menurut             Sudikno

Mertokusumo yang dimaksud dengan surat gugatan adalah tuntutan hak sebagai tindakan yang   bertujuan   memperoleh

perlindungan yang diberikan oleh pengadilan   untuk   mencegah

eigenrichting.36            Apabila

berdasarkan ketentuan Bab I Pasal 1 angka 2 Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Perdata selaku “Future Law” kemudian   hari    merumuskan

gugatan sebagai tuntutan hak yang mengandung    sengketa    dan

diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.

Darwan Prinst menyebutkan gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan     Negeri     yang

berwenang,    mengenai    suatu

tuntutan terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan, serta kemudian diambil putusan 37 terhadap gugatan tersebut.37

Sengketa antara para pihak atau pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut hak dan/atau ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri setempat. Berdasarkan Pasal 1 18 ayat (1) Het Herziene Indonesisch           Reglement

(selanjutnya     disebut     HIR)

menyatakan bahwa:

“Tuntutan (gugatan) perdata pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yan ditandatangai oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada Ketua Pengadilan Negeri ditempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya tidak diketahui, kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggalnya yang sebenarnya.”

Tuntutan hak yang didalam Pasal 118 ayat (1) HIR, Pasal 142 ayat       1       Rechtsreglemet

Buitengewesten      (Selanjutnya

disebut RBg) disebut sebagai

tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan. Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis maupun secara lisan. 38

  • V.    PENGADAPTASIAN DOKTRIN

PROMISSORY    ESTOPPEL

DALAM HUKUM KONTRAK DI INDONESIA

  • 5.1    Pengaturan Akibat Hukum Pada Tahap Pra Kontrak Sesuai Dengan Doktrin Promissory Estoppel

Proses diterimanya lembaga atau aturan hukum asing ke dalam sistem hukum suatu Negara disebut dengan transpalantasi atau adaptasi hukum, yang diartikan sebagai perpindahan suatu aturan atau sistem hukum atau bagian dari sistem hukum dari suatu negara ke negara lain, atau dari suatu bangsa ke bangsa lain.39 Istilah     yang     menjelaskan

terjadinya    perpindahan    atau

peniruan atau pengoperan atau diterapkannya suatu aturan, sub atau sub-sub sistem hukum tersebut beragam. Ada yang mengistilahkan dengan transposisi hukum, ada yang mengistilahkan adopsi hukum, resepsi hukum, pengoperan hukum. 40

Adaptasi hukum dewasa ini dapat dikatakan sudah merupakan fenomena di banyak negara. Sacco bahkan mengklaim bahwa inovasi hukum yang orisinil tanpa melakukan peminjaman atau peniruan hukum asing sangat kecil jumlahnya. Dalam era globalisasi terutama, tidak dapat dipungkiri terjadinya kerja sama antar negara, baik yang bersifat

38Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 53

39Alan Watson, 1993, Legal Transplant an Approach to Comparative Law, Second Edition, The University of Georgia Press, Anthens & London, hal. 21

40E. Sundari, op.cit, hal. 27

bilateral     atau     multilateral.

Hubungan-hubungan internasional dalam     rangka     memenuhi

kebutuhan tersebut pada umumnya akan dituangkan dalam bentuk-bentuk hukum.

Sesuai dengan apa yang dijelaskan diatas bahwa adopsi atau adaptasi hukum dapat terjadi karena ada kemiripan atau kesamaan antara dua sistem hukum sehingga dapat bertemu. Dengan kata lain apabila doktrin promissory estoppels yang berasal dari sistem hukum common law bisa diadaptasi atau diadopsi oleh Indonesia yang menganut sistem hukum civil law, maka harus dicari persamaan diantara sistem hukum common law dan civil law dalam hal hukum kontrak.

  • 5.2    Penyelesaian Ganti Rugi Pada Tahap Pra Kontrak Dengan Adanya Doktrin Promissory Estoppel

Terkait dengan sengketa pra kontrak yang terjadi antara para pihak      dimana      peraturan

perundang-undangan di Indonesia khususnya   KUHPerdata   dan

peraturan    perundang-undangan

yang terkait dengan kontrak belum mengatur mengenai akibat hukum terhadap janji-janji pra kontrak, maka apabila terjadi sengketa di tahap negosiasi, hakim bisa melakukan metode penafsiran hukum atau juga bisa melakukan penemuan hukum sehingga bisa mengisi kekosongan hukum untuk bisa menyelesaikan sengketa tersebut.

Dalam mengisi kekosongan hukum terhadap sengketa pra kontrak yang terjadi, hakim bisa melakukan studi perbandingan hukum yakni dengan melakukan studi kasus pra kontrak yang terjadi di negara lain seperti kasus pra kontrak yang terjadi negara common law, Inggris dan Amerika Serikat.

Sebagai contoh kasus pra kontrak yang terjadi di Inggris, dalam kasus London Property Trust Ltd melawan High Tress House Ltd (1947). Pada tahun 1937 penggugat menyewakan a block of flates di London kepada tergugat untuk jangka waktu 99 tahun dengan harga 2500 poundsterling per tahun. Ketika terjadi perang, sangat sulit bagi tergugat untuk mencari penghuni yang bersedia tinggal di flats tersebut sehingga penggugat setuju untuk menurunkan harga menjadi 1250 poundsterling selama waktu perang. Setelah selesai perang, penggugat menuntut supaya tergugat membayar penuh uang sewa untuk seluruh periode sewa. Pengadilan memutuskan bahwa janji penggugat untuk mengurangi uang sewa tersebut adalah mengikat meskipun janji tersebut diberikan tanpa consideration dari penyewa, karena berdasarkan doktrin promissory estoppels, suatu janji mengikat meskipun diberikan tanpa considerations.

Pengadilan di Amerika Serikat mengembangkan doktrin promissory estoppel untuk mengatasi situasi dimana perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, tetapi salah satu pihak karena percaya dan menaruh pengharapan kepada janji-janji yang diberikan pihak lawannya dalam proses negosiasi, melakukan perbuatan seperti melakukan investasi. Ternyata kemudian pihak yang memberi janji menarik kembali janjinya sehingga salah satu pihak menderita kerugian.

Pengadilan memberikan penggugat reliance damages berupa ganti rugi atas kerugian yang nyata dan bukan expectation damages yaitu kehilangan

41Suharnoko, op.cit, hal 13-14


keuntungan   yang   diharapkan.

Penggugat    tidak    menerima

expectation damages karena memang belum ada kontrak antara penggugat dan tergugat. Reliance loss dilindungi oleh doktrin promissory estoppel.42 Dengan demikian doktrin promissory estoppels yang semula merupakan tanggapan     atas     kekakuan

penerapan doktrin consideration dan diterapkan hanya dalam hubungan    kontraktual,    kini

diterapkan juga bagi janji-janji pra kontrak untuk melindungi reliance loss.43

  • VI.    Kesimpulan dan Saran

    6.1    Kesimpulan

Dari pemaparan yang telah disampaikan    pada    bab-bab

sebelumnya, maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan dari penelitian tesis ini, yaitu:

  • 1.    Pengaturan penyelesaian ganti rugi pada tahap pra kontrak menurut sistem hukum di Indonesia belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. KUHPerdata sebagai aturan khusus yang mengatur hubungan perdata atau perjanjian, juga belum mengatur tentang penyelesaian ganti kerugian pada tahap pra kontrak juga akibat hukum tahap pra kontrak tersebut. KUHPerdata hanya mengatur akibat hukum setelah kontrak tersebut berjalan yakni wan prestasi, perbuatan melawan hukum dan force mejeur. Belum ada 1 (satu) ketentuan dalam KUHperdata yang mengatur tentang pra kontraktaul.

  • 2.    Tahap pra kontraktual merupakan tahap yang penting sebelum para pihak membuat kontrak yang sebenarnya. Para pihak dalam tahap ini juga perlu di berikan perlindungan jikalau ada sengketa. Dengan adanya doktrin Promissory Estoppel, para

pihak yang merasa dirugikan bisa menuntut haknya melalui pengadilan dan mendapat ganti kerugian atas kerugian yang nyata (reliance loss). Dengan demikian, pengadilan sebagai tempat untuk mencari keadilan bisa menjunjung tinggi rasa keadilan itu.

  • 6.2    Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan terkait dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • 1.    Kepada Pemerintah serta DPR sebagai legislatif, sudah semestinya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di rubah isinya, terkait dengan kontrak dan asas itikad baik. NBW Belanda sendiri sudah menerapkan asas itikad baik sejak tahap pra kontraktual, sehingga sengketa kontrak bisa diminimalisir dan juga untuk melindungi para pihak. Terkait dengan syarat sahnya kontrak atau perjanjian, perlu kiranya ditambahkan adanya tahap negosiasi (penawaran dan penerimaan). Kata sepakat sendiri tidak serta merta muncul diantara para pihak yang membuat kontrak, tentunya mereka pasti melakukan penawaran dan permintaan.

  • 2.    Kepada penegak hukum, khususnya Pengadilan dalam menghadapi sengketa pra kontrak, bisa melakukan adopsi hukum terhadap doktrin promissory estoppel tersebut untuk menyelesaikan sengketa secara adil.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika. UII Press, Yogyakarta

Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Alumni, Bandung

Muhammad Ilham Arisaputra, 2012, Kewajiban Notaris Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam Kaitannya dengan Hak Ingkar Notaris, Jurnal Perspektif, Vol. XVII No. 3, Edisi September 2012

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata) , Citra Aditnya Bakti, Bandung

Peter Mahmud Marzuki, 201 1 , Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Jakarta

Purwoto Ganda Subrata, 2005, Peranan Notaris Sebagai Pejabat Umum Di Dalam Mengisi dan Turut Mensukseskan Pembangunan Nasional di Bidang Hukum, Renungan Hukum

R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor

Ranuhandoko, 2003, Terminologi Hukum, Grafika, Jakarta

Sigid Riyanto, 2015, Tindak Pidana Tertentu Yang Terkait Dengan Notaris dan PPAT, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Syafran Sofyan, 2015, Perlindungan Hukum Profesi PPAT-Notaris, Makalah pada Seminar Nasional: Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Lampu Merah Oleh Majelis Kehormatan Notaris di Magister Kenotariatan FH Universitas Diponegoro 6 Juni 2015, Semarang

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

121