Acta Comitas (2018) 1 : 26 –40

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

KEDUDUKAN HUKUM AKTA PPAT SETELAH TERBITNYA SERTIPIKAT KARENA PERALIHAN HAK ATAS TANAH

Oleh

Made Putri Saraswati

I Made Arya Utama

Ida Bagus Agung Putra Santika

Magister Kenotariatan Universitas Udayana E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 dan Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998, bahwa akta PPAT mempunyai dua fungsi yaitu sebagai alat bukti perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan sebagai alat pendaftaran guna perubahan data pendaftaran tanah. Ketika terjadi peralihan hak atas tanah, maka fungsi akta PPAT sebagai alat pendaftaran selesai dan menyisakan akta PPAT sebagai alat bukti perbuatan hukum. Begitu pula, bila terjadi peralihan hak berikutnya, maka akan menyisakan kembali akta PPAT sebagai alat bukti perbuatan hukum.

Ada dua isu hukum yang dikaji terhadap kedudukan akta PPAT terkait dengan kewajiban PPAT menyimpan aktanya, yakni (1) kedudukan hukum akta PPAT yang dijadikan dasar penerbitan sertipikat setelah mengalami peralihan hak berikutnya dan (2) tanggung jawab PPAT terhadap akta yang telah mengalami peralihan hak berikutnya terkait dengan kewajibannya menyimpan akta. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif beranjak dari kekosongan norma terhadap kedudukan akta PPAT yang membawa ikutan terhadap tanggung jawab PPAT terkait kewajibannya menyimpan akta. Pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan, bahwa kedudukan hukum akta PPAT yang dijadikan dasar penerbitan sertipikat setelah mengalami peralihan hak berikutnya dapat dikategorikan sebagai arsip inaktif, sedangkan terhadap akta PPAT untuk peralihan hak atas tanah berikutnya dapat dikategorikan sebagai arsip yang masih aktif. Akta PPAT dikategorikan sebagai arsip aktif selama 5 tahun, sedangkan sebagai arsip inaktif selama 30 tahun. Terhadap isi perbuatan hukum dalam akta yang sudah final menghentikan tugas produk hukum tersebut. Dalam hal akta PPAT telah mengalami peralihan hak berikutnya maka berhenti tanggung jawab PPAT, norma hukum sekalipun tidak beralih mengacu pada 30 tahun, terlebih lagi telah dialihkan.

Kepastian terhadap kedudukan akta PPAT juga memberikan kepastian terhadap tanggung jawab PPAT. Tanggung jawab PPAT harus dibedakan antara tanggung jawabnya sebagai pejabat umum dan tanggung jawabnya sebagai penyimpan dokumen negara, sehingga PPAT tidak berorientasi bertanggung jawab tanpa batas.

Kata kunci : Akta PPAT, Alat Pendaftaran, Alat Bukti Perbuatan Hukum dan Peralihan Hak Atas Tanah.

ABSTRACT

According to Article 1 Number 4 and Article 2 section (1) Government Regulation Number 37 Of 1998, explained that PPAT deed have two function which are as evidence on legal action to land rights title and as a registration instrument for the data change of the land registration. When the transfer of land rights title occurs, the function of PPAT deed as a registration instrument is completed and leaves the PPAT deed as evidence on legal action to land rights title. Likewise, if the next rights transfer occurs, it will also re-leave another PPAT deed as evidence on legal action to land rights title. There are two legal issues were reviewed toward to the title of PPAT deed related to liability of PPAT to keep the deed, that is (1) the legal standing of PPAT deed which used as a basis of certificate issuance after the next rights transfer and (2) The liability of PPAT on the deed which encountered the next transfer of rights related to the PPAT obligation to keep the deed.

The type of research used in this thesis is normative legal research refers to the void of norm according with the standing of PPAT deed after the land rights title transfer that connected to the responsible of PPAT which related to their liability on the deed. The research approach of this thesis consists by the statutory approach and conceptual approach.

Based on the result of this research, the conclusion is the legal standing of PPAT deed that encountered the land rights title, in the internal interest of the national land authority can be categorized as static archives because the legal standing of PPAT deed as active dynamic archive only during the processing until the certificate issued. Meanwhile, in the external interest PPAT deed is a living or active document which is the consequence of its position as an evidence on legal action. PPAT deed in the external interest can be categorized as active archives for 25 years. The purpose of the deed can be said completed, if the legal action that mean in the deed has been final. In the event that the PPAT deed has encountered the next transfer of rights, it stops the liability of the PPAT, even though the land rights do not transfer, the legal norm refers to 25 years.

Keyword : PPAT Deed, Registration Instrument, Evidence on Legal Action,

The Transfer of Land Rights.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, untuk kegiatan-kegiatan tertentu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota tidak dapat melaksanakan sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan pihak-pihak lain, yang dijabarkan dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, yaitu “Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. PPAT merupakan pejabat umum yang menjadi mitra dalam pengelolaan bidang pertanahan untuk mengukuhkan subjek hak yang bersangkutan di Indonesia.

Sebagai pejabat umum, PPAT dikonsepsikan sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik yang objeknya tanah. Terkait dengan tugas pokok dari PPAT dijabarkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998, yaitu “PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu”. Aturan tersebut menentukan bahwa peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT.

Adapun akta PPAT mempunyai dua fungsi terkait dengan peralihan hak atas tanah. Fungsi yang pertama dapat ditelusuri dalam Pasal 1 angka 4 PP No. 37 Tahun 1998 mengenai konsep akta PPAT yaitu alat bukti perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan fungsi yang kedua dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 yaitu akta PPAT sebagai alat pendaftaran untuk perubahan data pendaftaran tanah.

Ketika terjadi perbuatan hukum mengenai hak atas tanah, akta PPAT dijadikan dasar dalam pendaftaran peralihan hak berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998. Ketika akta PPAT didaftarkan dan telah terbit sertipikat hak, maka akan menyisakan akta PPAT sebagai alat bukti perbuatan hukum. Hak atas tanah pada era sekarang bersifat ekonomis sehingga tidak menutup kemungkinan akan dialihkan kepada pihak-pihak lain, dalam keadaan seperti ini akta PPAT tetap diperlukan sehingga terbit sertipikat hak sebagai bukti kepemilikan dan menyisakan kembali akta PPAT sebagai alat bukti perbuatan hukum. Tidak jarang dalam peralihan hak atas tanah menimbulkan permasalahan dikemudian hari dan melibatkan akta PPAT sebagai alat bukti perbuatan hukum.

Tidak terdapat kejelasan terhadap kedudukan hukum akta PPAT setelah terbitnya sertipikat hak, juga terhadap akta PPAT yang berikutnya apabila hak atas tanah dialihkan. Hal tersebut terkait dengan kewajiban PPAT dibidang administrasi yaitu menyimpan dan memelihara akta, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (3) huruf a PP No. 37 Tahun 1998 yaitu PPAT wajib

menyimpan akta lembar pertama 1 (satu) rangkap di kantornya.

Di dalam UUPA juga peraturan perundang-undangan lainnya tidak terdapat pengaturan terhadap kedudukan hukum akta PPAT yang dijadikan dasar penerbitan sertipikat setelah mengalami peralihan hak dan telah terbit perubahan sertipikat hak. Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 hanya menempatkan akta PPAT sebagai alat bukti daftar peralihan hak atas tanah, artinya dicukupkan keberlakuannya ketika telah memenuhi syarat sebagai alat pendaftaran. Demikian pula, tidak terdapat ketentuan lain yang mengatur mengenai kedudukan hukum akta PPAT setelah peralihan hak terkait dengan kewajiban dan batas tanggung jawab PPAT terhadap produk hukumnya, yang berarti terjadi kekosongan norma. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, maka penulis melakukan penelitian lebih lanjut dengan mengangkat judul “Kedudukan Hukum Akta PPAT Setelah Terbitnya Sertipikat Karena Peralihan Hak Atas Tanah”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah kedudukan hukum akta PPAT yang dijadikan dasar penerbitan sertipikat setelah mengalami peralihan hak berikutnya?

  • 2.    Bagaimanakah tanggung jawab PPAT terhadap akta yang telah mengalami peralihan hak berikutnya terkait dengan kewajibannya menyimpan akta?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut :

  • 1.3.1.    Tujuan Umum

Secara umum penelitian atas permasalahan di atas adalah untuk mengetahui kedudukan hukum akta PPAT setelah terbitnya sertipikat karena peralihan hak atas tanah.

  • 1.3.2.    Tujuan Khusus

Dalam penelitian ini, tujuan khusus yang ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni :

  • 1.    Untuk mengkaji mengenai kedudukan hukum akta PPAT yang dijadikan dasar penerbitan sertipikat setelah mengalami peralihan hak berikutnya.

  • 2.    Untuk     menganalisis     dan

mengetahui tanggung   jawab

PPAT terhadap akta yang telah mengalami peralihan    hak

berikutnya terkait dengan kewajibannya menyimpan akta.

  • 1.4.    Manfaat Penelitian

    1.4.1.    Manfaat Teoritis

Secara teoritis penulis berharap bahwa hasil dari penelitian ini dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran dalam    ilmu    pengetahuan

khususnya perkembangan ilmu hukum kenotariatan. Hal ini terkait dengan produk hukum PPAT yaitu akta-akta mengenai peralihan hak atas tanah dan juga terhadap      peraturan-peraturan

tentang jabatan PPAT.

  • 1.4.2.    Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis yang diharapkan dalam penulisan ini, antara lain: bagi Pemerintah, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kritis terkait dengan PPAT dan produk hukumnya. Bagi Praktisi hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat    dan    menambah

pengetahuan terhadap kepastian hukum dari kedudukan hukum akta PPAT yang dijadikan dasar penerbitan sertipikat setelah mengalami peralihan    hak

berikutnya dan tanggung jawab PPAT     terhadap     produk

hukumnya, setelah ditentukan sah dibuat dan sah digunakan ketika terjadi peralihan hak. Kemudian bagi     penulis,     diharapkan

penelitian ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan yang erat kaitannya dengan perkembangan ilmu kenotariatan.

  • 1.5.    Landasan Teoritis

Adapun teori-teori dan konsep hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

  • 1.5.1.    Teori Negara Hukum

Negara Indonesia sebagaimana tersurat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, ditentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala tindakan dan perbuatan harus didasarkan atas hukum. Dalam kaitannya dengan hukum agraria, khususnya hak atas tanah, teori negara hukum terimplementasi di dalam hak menguasai tanah oleh negara. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan merupakan pelimpahan tugas bangsa. Negara Republik Indonesia telah meletakkan dasar politik agraria nasional, sebagaimana dimuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Bangsa Indonesia ataupun negara tidak bertindak sebagai pemilik tanah, tetapi negara adalah organisasi kekuasaan tertinggi dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku badan penguasa sebagaimana dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA.1 Ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf c UUPA, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara manusia dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah. Kewenangan negara dalam pasal ini adalah mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 19 UUPA jo. PP No. 24 Tahun 1997), mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah, dan mengatur kebebasan orang-orang dalam melakukan hubungan-hubungan dan perbuatan-perbuatan hukum yang dapat melahirkan akibat

hukum.2 Pengurusan tanah-tanah negara yang merupakan kekayaan negara secara yuridis administratif penguasaannya berada di bawah wewenang Menteri Negara Agraria/Kepala BPN.

  • 1.5.2.    Teori Kepastian Hukum

Menurut Peter Mahmud Marzuki, kepastian hukum mengandung 2 (dua) 3 pengertian, yaitu:

  • 1.    Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.

  • 2.    Berupa keamanan hukum bagi individu     dari     kesewenangan

pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu, individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Dari uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa salah satu tujuan hukum yaitu memberikan kepastian hukum.

Kepastian hukum dapat dikatakan sebagai keamanan hukum, artinya bahwa hal tersebut dapat melindungi para pihak dari adanya kemungkinan timbulnya kesewenang-wenangan     pemerintah.

Kepastian hukum terwujud salah satunya apabila terdapat aturan yang jelas dan konsisten. Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjek dan objeknya serta ancaman hukumnya.

  • 1. 5.3. Teori Penemuan Hukum

Menurut Paul Scholten bahwa yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan metode interpretasi maupun dengan metode argumentasi.4       Penelitian       ini

  • 2Urip Santoso, 2013, Hukum Agraria (Kajian Komprehensif), Cet. Ke-3, Kencana, Jakarta (selanjutnya disingkat Urip Santoso I), hal. 80

  • 3Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 137

  • 4Ahmad Rifai, 201 1, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 21

menggunakan Metode Argumentasi Analogi (argumentum per analogiam) yang berarti memperluas peraturan perundang-undangan yang terlalu sempit ruang lingkupnya, kemudian diterapkan terhadap peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang.5

  • 1. 5.4. Teori Tanggung Jawab

Mengenai          persoalan

pertanggung jawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegting ada dua teori yang melandasinya yaitu:6

  • 1.    Fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Beban tanggung jawab ditujukan pada manusia-pejabat selaku pribadi.

  • 2.    Fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebaskan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Beban tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula dengan apakah kesalahan yang dilakukan itu ringan atau kesalahan besar.

  • 1.5.5.    Konsep Peralihan Hak Atas Tanah

Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis berpendapat untuk memudahkan pemahaman praktis, maka “peralihan hak atas tanah” dapat ditafsirkan sebagai suatu perbuatan hukum yang dikuatkan dengan akta otentik yang diperbuat oleh dan di hadapan PPAT yang mengakibatkan beralihnya pemegang hak atas tanah kepada pihak lain.7 Dengan kata lain, peralihan hak atas tanah adalah berpindahnya hak atas tanah atau Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemegang hak kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain memperoleh hak tersebut.

  • 1.5.6.    Konsep Pendaftaran Tanah

Sistem pendaftaran tanah yang digunakan oleh PP No. 24 Tahun 1997 adalah sistem pendaftaran hak (registration of titles) bukan sistem pendaftaran akta (registration of deeds). Sistem pendaftaran hak tampak dengan adanya Buku Tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar, sedangkan dalam pendaftaran akta, yang didaftar bukan haknya, melainkan justru aktanya, yaitu     dokumen-dokumen     yang

membuktikan diciptakannya hak yang bersangkutan     dan     dilakukannya

perbuatan-perbuatan hukum mengenai 8 hak tersebut kemudian.8

Di Indonesia menganut sistem yang saling bergandengan, artinya tidak ada pemisahan yang ekstrim antara pendaftaran hak dan pendaftaran akta. Dalam hal ini, dilakukan pendaftaran hak dengan perantara akta. Akta digunakan sebagai syarat formil pendaftaran peraalihan hak atas tanah, untuk mendapatkan sertipikat sebagai tanda bukti hak.

  • 1.5.7.    Konsep Kedudukan

Dalam ilmu sosiologi, apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya      sesuai      dengan

kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan.9 Tidak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Konsep kedudukan dalam ilmu sosiologi dielaborasi dalam ilmu hukum, maka kata dan makna dari seseorang diganti menjadi objek yang ditujukan pada hukum. Dalam penelitian ini, yang

  • 8Urip Santoso, 2014, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Ed. 1, Cet. Ke-4, Prenadamedia Group, Jakarta (selanjutnya disingkat Urip Santoso II), hal. 154

  • 9Soerjono Soekanto, 2015, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Cet. 47, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 211

menjadi objeknya adalah kedudukan dari akta PPAT setelah terbitnya sertipikat hak atas tanah.

  • 1.6. Metode Penelitian

    1.6.1.    Jenis Penelitian

Untuk menghimpun bahan yang dipergunakan guna penyusunan dan pembahasan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Jenis penelitian hukum normatif dipilih dalam penulisan tesis ini, karena beranjak dari kekosongan norma dalam Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 terkait dengan kedudukan akta PPAT yang dijadikan dasar penerbitan sertipikat setelah mengalami peralihan hak berikutnya. Dalam ketentuan tersebut hanya menentukan bahwa akta PPAT merupakan syarat formil guna pendaftaran dan perubahan data dalam peralihan hak atas tanah.

  • 1.6.2.    Jenis Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical conceptual approach).

  • 1.6.3.    Sumber Bahan Hukum

Untuk mengkaji dan membahas permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain : Bahan hukum primer yang bersumber dari beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang berasal dari buku-buku, jurnal-jurnal hukum, skripsi, tesis, disertasi hukum, juga pandangan ahli hukum, dan bahan hukum tertier merupakan penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia hukum, yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini. 10

  • 1.6.4.    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh melalui teknik studi kepustakaan (study document) dengan sistem kartu (card system). Dalam sistem kartu, bahan-bahan hukum yang sesuai dengan penelitian ini dicatat mengenai hal-hal yang dianggap penting, sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami.

  • 1.6.5.    Teknik Analisa Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah dikumpulkan dan klarifikasi pada tahap pengumpulan bahan hukum, kemudian dilakukan deskripsi dengan penguraian proposisi-proposisi hukum sesuai dengan pokok permasalahan yang dikaji. Dilanjutkan    dengan    teknik

evaluatif dengan menggunakan konstruksi hukum analogi, yaitu perluasan berlakunya undang-undang yang ruang lingkupnya terlalu sempit. Kemudian penulis menggunakan teknik argumentatif untuk memberikan pendapat dan alasan-alasan bersifat penalaran atau penjelasan yang masuk akal untuk memperoleh kesimpulan.

  • II. PEMBAHASAN

  • 2.1.    Akta PPAT Berdasarkan PP No.

    24 Tahun 1997 dan PP No. 37 Tahun 1998

Akta PPAT merupakan dasar agar suatu peralihan hak atas tanah dapat didaftarkan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu: “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindaham hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Kemudian akta PPAT

berdasarkan PP No. 37 Tahun 1998 ditentukan sebagai :

  • 1.    Akta PPAT sebagai akta otentik yang    membuktikan    telah

diadakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (Pasal 1 angka 1 jo. angka 4 PP No. 37 Tahun 1998);

  • 2.    Akta PPAT akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah ke Kantor Pertanahan     Kabupaten/Kota

(Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998).

Berikut disampaikan analisis tentang perbandingan akta PPAT ditinjau dari 2 (dua) Peraturan Pemerintah yaitu PP No. 24 Tahun 1997 dan PP No. 37 Tahun 1998 yang menjadi dasar dari jabatan PPAT maupun produk hukumnya.

Tabel 1.

Perbandingan Akta PPAT

PP No. 24 Tahun 1997

PP No. 37 Tahun 1998

asa

Peralihan hak   atas

asal

Akta PPAT

l

tanah dan

adalah

7

Hak Milik Atas

ang

akta  yang

dibuat

aya

Satuan

ka 4

oleh PPAT

t

Rumah

sebagai

(1)

Susun

bukti telah

melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasuka n  dalam

perusahaa n    dan

perbuatan hukum pemindah an    hak

lainnya, kecuali

dilaksanak annya perbuatan hukum tertentu mengenai hak   atas

tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

pemindah an    hak

melalui lelang hanya dapat didaftarka n     jika

dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenan g menurut ketentuan peraturan perundang -undangan yang berlaku.

asal

ayat (1) dan (2)

(1).   PPA

T   bertugas

pokok melaksanaka n   sebagian

kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti   telah

dilakukanny a perbuatan hukum tertentu mengenai hak     atas

tanah   atau

Hak   Milik

Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar   bagi

pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah  yang

diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2). Perbu atan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

  • a.    jual

beli;

  • b.   tuka

r menukar;

  • c.    hiba

h;

  • d.   pem

asukan ke dalam perusahaan (inbreng);

  • e.   pem

bagian hak bersama;

  • f.   pem

berian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas tanah Hak Milik;

  • g.   pem

berian Hak Tanggunga n;

  • h.   pem

berian kuasa membeban

kan  Hak

Tanggunga n.

asal

ayat (1)

Untuk melaksana kan  tugas

pokok sebagaima na dimaksud dalam Pasal    2

seorang PPAT mempunya i kewenanga n membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaima na dimaksu d   dalam

Pasal     2

ayat    (2)

mengenai hak   atas

tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

asal

1 ayat (1),

2), dan (3)

  • (1) . Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri.

  • (2) . Semu a jenis akta PPAT diberi satu nomor urut    yang

berulang pada permulaan tahun takwim.

  • (3) . Akta PPAT dibuat dalam bentuk   asli

dalam     2

(dua) lembar yaitu:

  • a.    lemb

ar   pertama

sebanyak  1

(satu) rangkap disimpan oleh  PPAT

yang bersangkutan , dan;

  • b.    lemb

ar     kedua

sebanyak  1

(satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak     atas

tanah   atau

Hak   Milik

Atas  Satuan

Rumah Susun  yang

menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau  dalam

hal      akta

tersebut mengenai pemberian kuasa membebanka n     Hak

Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar

pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepenting an     dapat

diberikan salinannya.

Jika dicermati tabel di atas maka terhadap kedudukan akta PPAT, substansi kedua peraturan tersebut terhadap objek yang sama yaitu akta PPAT sebagai akta otentik tidak jauh berbeda. Padahal, PP No. 37 Tahun 1998 merupakan dasar hukum dari Jabatan PPAT yang mestinya lebih mengatur bagaimana perilaku jabatan PPAT dalam rangka membuat produk hukumnya, bagaimana sanksinya apabila tata cara dan prosedur pembuatan akta dilanggar dan bagaimana kedudukan hukum aktanya apabila tidak terpenuhinya unsur-unsur suatu akta menjadi otentik.

Sebagai perbandingan di dalam UUJN secara tegas mengatur tanggung jawab Notaris dalam menjalankan jabatannya dengan sanksi administratif jika melakukan pelanggaran terhadap jabatannya. Demikian juga apabila akta yang dibuatnya tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan baik KUHPerdata, maupun UUJN itu sendiri, diancam dengan sanksi bahwa akta Notaris dapat terdegradasi mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan, atau bahkan dibatalkan.

  • 2.2 Kedudukan Hukum Akta PPAT

  • 2.2.1.    Kedudukan Hukum Akta

PPAT Sebagai Akta Otentik

Pasal dalam Undang-undang yang merupakan pilar dari keberadaan akta otentik dan

pejabat umum di Indonesia yaitu ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang menentukan : “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Bila dikaji secara limitatif kata dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yang menentukan bahwa bentuk akta otentik dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (garis bawah oleh penulis), maka secara redaksional akta yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan akta otentik, karena akta yang dibuat oleh PPAT tidak ditetapkan oleh Undang-undang melainkan ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Selain dalam KUHPerdata, Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 101 huruf a ditentukan bahwa “akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau perbuatan hukum yang tercantum di dalamnya”. Atas dasar Pasal tersebut akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik sebab akta tersebut dibuat oleh PPAT yang merupakan pejabat umum, bentuk akta ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan (garis bawah oleh penulis), akta dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, dan akta dibuat untuk digunakan sebagai alat bukti tentang pemindahan hak (peralihan hak), pembebanan hak, dan pemberian hak.

  • 2.2.2.    Kedudukan Hukum Akta PPAT    Sebagai    Alat

Pendaftaran

Dalam Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 ditetapkan bahwa “peralihan hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan        yang

berlaku”. Kemudian pada Pasal 103 ayat (2) huruf c PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997, ditentukan bahwa akta yang dibuat oleh PPAT merupakan salah satu dokumen yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak atas tanah. Akta PPAT merupakan salah satu sumber data utama bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah.

  • 2.5.    Kedudukan Hukum Akta

PPAT Setelah Mengalami Peralihan Berikutnya

Akta      PPAT      dapat

dikategorikan sebagai suatu surat penyerahan (akte van transport), karena beranjak dari pendapat Subekti akta PPAT merupakan alat bukti bahwa benar terjadinya perbuatan hukum mengenai hak atas tanah yang berupa penyerahan nyata     (feitelijke     levering).11

Dibuatnya akta PPAT berupa penyerahan   kekuasaan   secara

nyata, barulah kemudian akta digunakan     sebagai     dasar

juridische levering (penyerahan secara hukum) dalam hal peralihan hak atas tanah yang masuknya hak menguasai tanah oleh negara untuk menolak ataupun menerima permohonan tersebut.

11Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum

Perdata, Cet. 29, Intermasa, Jakarta, hal. 71

Ketika telah didaftarkan kedudukan dan fungsi akta PPAT sebagai alat pendaftaran guna perubahan data dalam pendaftaran tanah telah selesai, maka menyisakan akta PPAT sebagai akta otentik berupa alat bukti perbuatan hukum peralihan hak atas tanah berdasar pada ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 4 PP No. 37 Tahun 1998. Ketika terjadi perbuatan hukum peralihan hak atas tanah kedua, ketiga maupun berikutnya, prosedur dari awal sebagaimana dijabarkan di atas dari tahap persiapan dan pembuatan akta sampai dengan proses pendaftaran dan akhirnya mendapat hasil akhir berupa sertipikat hak akan terulang kembali. Akta PPAT akan tetap diperlukan untuk peralihan hak berikutnya dan menyisakan kembali akta PPAT berikutnya sebagai alat bukti.

Akta PPAT merupakan arsip negara yang wajib disimpan dan dipelihara. Jika dikaji ketentuan UU Kearsipan dan PKBPN No. 8 Tahun 2009 tentang Tata Naskah Dinas dan Tata Kearsipan di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional, dikenal adanya Arsip dinamis dan Arsip statis, kemudian arsip dinamis dibedakan menjadi arsip vital, arsip aktif dan arsip inaktif. Arsip dinamis adalah arsip yang dipergunakan dalam perencanaan, pelaksanaan, penyelenggaraan kehidupan kebangsaan pada umumnya atau dipergunakan secara langsung dalam penyelenggaraan administrasi negara. Selanjutnya arsip dinamis, dirinci lagi menjadi arsip aktif yaitu arsip yang frekuensi penggunaannya masih tinggi, artinya masih digunakan untuk kelangsungan pekerjaan di lingkungan unit pengolahan data dari Kantor Pertanahan, sedangkan arsip inaktif yaitu arsip yang frekuensi penggunaannya sudah

jarang, atau hanya dipergunakan sebagai referensi saja. 12

Berdasarkan metode analogi, maka akta PPAT juga dapat dikategorikan demikian, bahwa akta PPAT merupakan arsip dinamis yang dibuat sebagai bukti perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan dipergunakan secara langsung sebagai dasar untuk perubahan data pendaftaran tanah. Dalam frekuensi penggunaannya, akta PPAT dapat klasifikasikan sebagai arsip aktif selama pemrosesan hingga terbit sertipikat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah. Hal demikian karena sebelum terbitnya sertipikat, akta PPAT digunakan secara langsung dalam unit pengolahan data di lingkungan BPN sebagai sumber data yuridis yang akan digunakan untuk perubahan data pendaftaran tanah sampai akhirnya terbit sertipikat hak.

Selanjutnya jika dikaji dalam UU Kearsipan dan PKBPN No. 8 Tahun 2009 kedudukan akta PPAT setelah terjadinya peralihan hak dan telah terbit sertipikat dalam fungsi internal yaitu lingkungan BPN dapat ditentukan sebagai arsip statis yaitu arsip yang berasal dari arsip dinamis namun tidak lagi dipergunakan secara langsung atau terus menerus di lingkungan BPN tapi karena nilai informasinya cukup tinggi tetap disimpan dan dipelihara. Dapat dipahami berdasarkan uraian tersebut di atas, sesungguhnya kedudukan akta PPAT untuk peralihan hak atas tanah berikutnya adalah sama. Hal demikian karena akta PPAT berkedudukan sebagai suatu arsip dinamis yang aktif hanya selama pemrosesan data di lingkungan BPN.

  • 12Sedarmayanti, 2015, Tata Kearsipan-Dengan Memanfaatkan Teknologi Modern, Edisi Revisi, Cet Ke-5, Mandar Maju, Bandung, hal. 33

Dari segi fungsional dalam kepentingan internal yaitu di lingkungan BPN, kedudukan akta PPAT adalah statis setelah sertipikat hak atas tanah terbit, karena sertipikat hak merupakan bukti kepemilikan yang kuat, namun dalam kepentingan eksternal, akta PPAT dapat dikategorikan sebagai dokumen hidup atau aktif. Artinya, kepentingan eksternal ini merupakan konsekuensi yuridis dari kedudukan akta PPAT sebagai akta otentik berupa alat bukti perbuatan hukum akan digunakan apabila ada pihak yang memerlukan atau sebagai contoh bilamana terjadi sengketa ataupun gugatan di pengadilan terhadap sertipikat yang diterbitkan atau pemilikan hak atas tanah, maka akta tersebut akan dijadikan sebagai bukti dipersidangan.

  • 2.4.    Kewajiban dan Jangka Waktu Penyimpanan Akta PPAT yang Telah Mengalami Peralihan Hak Berikutnya

Pasal 21 ayat (3) huruf a PP No. 37 Tahun 1998 yang menentukan bahwa “lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan”. Dalam penjelasan pasal tersebut, tidak dijelaskan bagaimana cara penyimpanan juga jangka waktu penyimpanan akta tersebut. Dalam ketentuan Pasal 21 ayat (3) huruf a PP No. 37 Tahun 1998 maupun penjelasannya tidak disebutkan tata cara penyimpanan maupun jangka waktu penyimpanan yang berimplikasi pada tanggung jawab dari PPAT itu sendiri.

Terkait dengan kedudukan hukum akta PPAT dalam kaitannya dengan kewajiban PPAT dalam menyimpan protokolnya, maka akta PPAT yang telah didaftarkan dan telah terbit sertipikat hak akan berkedudukan sebagai alat bukti perbuatan hukum karena tugasnya

sebagai alat pendaftaran telah selesai. Dalam fungsi internal yaitu di lingkungan BPN akta PPAT dapat dikategorikan berkedudukan sebagai arsip yang statis, namun dalam fungsi eksternal akta PPAT tetap dapat dikategorikan sebagai dokumen hidup atau aktif disebabkan konsekuensi yuridisnya sebagai akta otentik berupa alat bukti perbuatan hukum.

Kelemahan sistem publikasi pendaftaran tanah di Indonesia yang menganut sistem positif bertenden negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Dalam keadaan seperti ini, akta PPAT akan digunakan sebagai bukti dipersidangan baik mengenai kepemilikan hak atas tanah maupun terkait dengan penerbitan sertipikat hak.

Adanya suatu prinsip hukum yaitu rechtsverwerking yang berasal dari bahasa belanda yaitu “pelepasan hak” yang merupakan suatu prinsip yang intinya, hilangnya hak bukan hanya karena lewatnya waktu, tetapi juga karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan sesuatu hak.13 Adakalanya undang-undang memberikan hak hanya untuk suatu waktu tertentu. Apabila tidak dipergunakan dalam jangka waktu tersebut, gugurlah hak tersebut.

Apabila ditelusuri konsep rechverwerking dalam akta dapat disebutkan sebagai suatu perlindungan terhadap kekuatan hukum produk pemerintah. Sebagai perbandingan dengan mengacu pada UUJN Pasal 63 ayat

13Urip Santoso II, op.cit. hal. 278

  • (5)    yang menentukan “Protokol Notaris dari Notaris lain yang pada    waktu    penyerahannya

berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih diserahkan oleh Notaris penerima Protokol Notaris kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD)”. Menggunakan metode analogi (argumentum per analogiam), ketentuan dalam UUJN diterapkan terhadap peristiwa yang serupa, yaitu protokol PPAT maka akta PPAT      dapat      dikatakan

berkedudukan    sebagai    suatu

dokumen aktif selama 25 (dua puluh lima) tahun.

  • 2.5.    Tanggung Jawab PPAT terhadap Akta yang Telah Mengalami Peralihan Hak Berikutnya

Warga negara sebagai pemilik sertipikat dilindungi atas hak-haknya, maka negara juga wajib hadir untuk melindungi jabatan PPAT, selama PPAT yang bersangkutan telah mengikuti tata cara    dan    prosedur    yang

ditentukan. Akta PPAT sebagai alat bukti perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah, tidak menjamin pihak-pihak atau penghadap berkata benar, tetapi yang dijamin oleh akta, pihak-pihak benar berkata seperti yang termuat di dalam akta.

Berakhirnya tanggung jawab PPAT     secara    administratif

terhadap akta yang dibuatnya adalah      mengacu      pada

kedudukannya sebagai dokumen aktif dalam kepentingan eksternal yaitu 25 (dua puluh lima), namun tidak serta merta mengacu pada ketentuan itu tetapi telah sempurna    dan    berakhirnya

perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan  akta  itu. Artinya,

sekalipun sertipikat  hak tidak

mengalami peralihan berikutnya akan mengacu pada ketentuan bertanggung jawab dalam batas

waktu 25 (dua puluh lima) tahun, terlebih lagi apabila telah

mengalami     peralihan     hak

berikutnya, berarti demi hukum tanggung jawabnya telah berhenti.

Tanggung    jawab    PPAT

menurut    jabatannya,    secara

administratif     terhadap      isi

perbuatan hukum yang sudah final menghentikan    tugas    produk

hukumnya. Dengan kata lain, walaupun sertipikat hak tidak dialihkan, maka batas tanggung jawab PPAT adalah 25 (dua puluh lima) tahun. Sementara itu, akan tetap menyisakan tanggung jawab kepada PPAT sebagai pemegang dokumen      negara      yang

membuktikan memang benar telah terjadinya perbuatan hukum dalam akta.

  • III. PENUTUP

  • 3.1.    Simpulan

Dari seluruh uraian pembahasan dalam penulisan tesis ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

  • 1.    Kedudukan hukum akta PPAT sebagai akta otentik setelah terjadinya peralihan hak adalah berhenti sebagai alat bukti daftar dan menyisakan kedudukannya sebagai alat bukti perbuatan hukum. Dalam kepentingan internal akta PPAT ditentukan sebagai arsip statis, karena akta PPAT berkedudukan sebagai arsip dinamis aktif hanya selama pemrosesan hingga terbit sertipikat. Demikian pula halnya dalam peralihan hak berikutnya, namun dalam kepentingan eksternal akta PPAT merupakan dokumen hidup atau aktif sebagai konsekuensi yuridis kedudukannya sebagai alat bukti perbuatan hukum.

  • 2.    Tanggung jawab PPAT secara administratif terhadap isi perbuatan hukum dalam akta yang sudah final, menghentikan tugas produk hukum tersebut. Dalam hal akta PPAT telah mengalami peralihan hak berikutnya maka demi hukum berhenti tanggung jawab PPAT, sekalipun tidak beralih mengacu pada 25 (dua puluh lima) tahun. Selanjutnya PPAT tetap bertanggung jawab sebagai pemegang

dokumen negara, karena akta PPAT merupakan bagian dari arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara.

  • 3.2 Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan            berdasarkaan

kesimpulan di atas adalah sebagai berikut :

  • 1.    Akta PPAT setelah terjadinya peralihan hak atas tanah, dalam kepentingan eksternal merupakan dokumen hidup atau aktif, yaitu sebagai alat bukti atas perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam akta tersebut. Disarankan kepada para praktisi hukum agar memaknai keberadaan dari kedudukan akta PPAT hanya sebagai dokumen yang berisikan tentang bahwa pernah terjadi perbuatan-perbuatan hukum atas tanah dan bangunan saja diantara pihak-pihak tanpa memerlukan pertanggung jawaban PPAT sebagai pemegang dokumen kecuali didalamnya terbukti ada tindakan kesengajaan dari PPAT yang        dapat        melahirkan

pertanggungjawaban pidana maupun perdata.

  • 2.    Terkait dengan belum atau tidak adanya kepastian hukum perihal batas tanggung jawab PPAT secara limitatif atas produk hukumnya (akta PPAT) sebagai alat bukti perbuatan hukum, maka disarankan kepada pembuat undang-undang yaitu DPR agar menjadikan PP No. 37 Tahun 1998 sebagai undang-undang,   sehingga

dapat ditentukan batas  tanggung

jawabnya. Sebagaimana  Undang-

Undang Jabatan Notaris yang telah mengatur tentang tanggung jawab Notaris     dalam    melaksanakan

jabatannya, produk hukumnya dan konsekuensi hukum jika akta yang dibuat dihadapannya atau oleh Notaris tidak memenuhi syarat yang ditentukan.

  • 3.    Terkait dengan sistem pendaftaran tanah di Indonesia yaitu sistem publikasi     pendaftaran     negatif

bertenden positif, ada baiknya diubah menjadi sistem publikasi pendaftaran positif untuk memberikan jaminan kepastian hukum yang lebih baik dan sistematis.

DAFTAR PUSTAKA

  • A.    Literatur

HR, Ridwan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Ed. 1, Cet. 4, Rajawali Pers, Jakarta.

Ismaya, Samun, 2013, Hukum Administrasi Pertanahan, Ed. 1, Cet. 1, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Ishaq, 2016, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Ed. Revisi, Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta.

Lubis, Mhd. Yamin dan Lubis, Abd. Rahim, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Cetakan Kesatu, CV. Mandar Maju, Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, Cet. Ke-3, Alumni, Bandung.

Rifai, Ahmad, 201 1, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Santoso, Urip, 2013, Hukum Agraria (Kajian Komprehensif), Cet. Ke-3, Kencana, Jakarta.

_______, 2014, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Ed. 1, Cet. Ke-4, Prenadamedia Group, Jakarta.

Sutiyoso, Bambang, 2015, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Edisi Revisi, UII Press, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, 2015, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Cet. 47, Rajawali Pers, Jakarta.

Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 29, Intermasa, Jakarta.

  • B.    Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Burgerljik Wetboek, Stb. 1847 : 23

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diubah oleh Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana diubah lagi oleh Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 yang disempurnakan dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491)

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (Lembaran Negara Nomor 152 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5071)

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696)

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746)

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2009 tentang Tata Naskah Dinas dan Tata Kearsipan di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2017-2018

40