PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK
on
Acta Comitas (2017) 1 : 160 – 171
ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573
PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK
Oleh :
Putu Vera Purnama Diana*
NIM 1292461018
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana e-mail : veradianapurnama@gmail.com
Pembimbing I : Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum.**
Pembimbing II : Dr. I Gede Artha, SH.,MH.***
Abstract
NOTARY RESPONSIBILITY ON MAKING DEED BASED ON LETTER FORGERIES OF THE PARTIES
Law No. 30 of 2004 (UUJN) as well as in Law No. 2 of 2014 about Amendment of the Notary position law (UUJN Amendment) have not set the presence of legal sanctions on delinquency of article 15 of the UUJN Amendment in relation to the criminal aspect which is when the notary is not applying the article provisions will lead to the acts of falsifying letters or certificates as referred in article 263, 264, and 266 of the Criminal Code (KUHP) that will give disadvantage to the concerned parties. Therefore, this study attempts to analyze and answer issues concerning the responsibility of a notary in the case of letter forgeries committed by the parties on making deed according to the Notary law. And could notary asked to held for accountability when there disadvantages of either party as a result of false documents from other party
This research qualified as a normative legal study that starts from the nonexistent norm. The research source was obtained from primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Legal materials that have been gathered up later been systematized, analyzed and given argumentation to obtain conclusions on the issues discussed in this thesis.
The research results showed that the responsibility of Notary in case of letter forgeries committed by the parties to making notary deed according to UUJN and UUJN Amendment is when the notary running their duty proved to have violated, notary have to responsible in accordance with the action in terms of accountability of the Administrative Law, Civil Law, which is in accordance with the sanction provision set forth in Article 84 and 85 of UUJN Amendment and code of ethics, but in UUJN and UUJN Amendment did not yet provide criminal sanctions. In practice it is found the fact that this violation is classified as a crime act committed by a Notary. Notaries can not be asked to held the resposibilities when there is disadvantage of either party as a result of false documents from other party, because Notary only record what was presented by the parties to be poured into the deed. False information that submitted by the parties is the responsibility of the parties. In other words, which can be accounted for by a notary is fraud or trickery when it comes from notary own.
Keywords: Letter forgeries, Violation, Notary, Criminal Responsibility.
PENDAHULUAN
Notaris merupakan profesi hukum sehingga profesi notaris merupakan suatu profesi mulia (nobile officium). Akta yang dibuat oleh notaris dapat menjadi alas hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban seseorang. Kekeliruan atas akta yang dibuat notaris dapat menyebabkan tercabutnya hak
seseorang atau terbebaninya seseorang atas suatu kewajiban, oleh karena itu notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus mematuhi berbagai ketentuan yang tersebut dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.1 Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari
-
1Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal. 46.
istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 6 Nopember 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (UUJN) jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (UU Perubahan atas UUJN). Dalam Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN yang menegaskan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Dalam praktik banyak ditemukan, jika ada akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak ketiga lainnya, maka sering pula notaris ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta notaris.2 Dalam hal ini notaris secara sengaja atau tidak disengaja notaris bersama-sama dengan pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain harus dibuktikan di Pengadilan. Akta Notaris yang dibuat sesuai kehendak para pihak yang berkepentingan guna memastikan atau menjamin hak dan kewajiban para pihak, kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum para pihak. Akta notaris pada hakekatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Pejabat umum (Notaris). Notaris berkewajiban untuk memasukkan dalam akta tentang apa yang sungguh-sungguh telah dimengerti sesuai dengan kehendak para pihak dan membacakan kepada para pihak tentang isi dari akta tersebut. Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam akta Notaris.3
Sehingga dalam perkara perdata, Akta otentik merupakan alat bukti yang bersifat mengikat dan memaksa, artinya hakim harus menganggap segala peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta otentik adalah benar, kecuali ada alat bukti lain yang dapat menghilangkan kekuatan pembuktian akta tersebut. Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga jika ada orang atau pihak yang menilai atau menyatakan akta tersebut tidak benar, maka orang atau pihak yang menilai atau menyatakan tersebut
wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai dengan aturan hukum.
Berbeda dengan perkara Pidana, akta Notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti yang tidak dapat mengikat penyidik dan hakim dalam pembuktian, atau bersifat bebas.4 Kekuatan pembuktian akta Notaris dalam perkara pidana, merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang dan bernilai sempurna. Namun nilai kesempurnaanya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi memerlukan dukungan alat bukti lain.5Notaris tidak menjamin bahwa apa yang dinyatakan oleh penghadap tersebut adalah benar atau suatu kebenaran, ini dikarenakan notaris tidak sebagai investigator dari data dan informasi yang telah diberikan oleh para pihak. Bahwa dalam Undang-undang Jabatan Notaris, sebagai pejabat umum Notaris dituntut untuk bertanggung jawab terhadap akta yang telah dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan notaris atau kesalahan para pihak tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya terhadap notaris, ataukah adanya kesepakatan yang telah dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Jika akta yang diterbitkan notaris mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan notaris baik kerena kelalaiannya maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban.
Pengaturan kewenangan notaris secara jelas diatur dalam Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN dari kewengan tersebut timbul tanggung jawab notaris sebagai pejabat yang bertugas membuat akta otentik. Notaris dalam menjalankan jabatannya apabila terbukti melakukan pelanggaran, maka sudah seharusnya Notaris bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik tanggung jawab dari segi Hukum Administrasi, Hukum Perdata, yaitu sesuai ketentuan sanksi yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UU Perubahan atas UUJN dan kode etik, namun di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana. Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris apabila melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya
-
4M, Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang di Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 283.
-
5Ibid, hal. 311.
perbuatan pemalsuan surat atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan.
Realitanya dalam masyarakat banyak ditemukan adanya para pihak yang memberikan data dan informasi tidak sesuai dengan kenyataannya kepada notaris dalam pembuatan suatu akta. Tugas seorang notaris adalah menuangkan data dan informasi yang diberikan oleh para pihak tanpa menginvestigasi lebih lanjut kebenaran data tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama, notaris tidak memiliki kewenangan melakukan investigasi atau mencari kebenaran materiil dari data dan informasi yang diberikan oleh para pihak (penghadap). Hal tersebut berdampak pada akta yang dibuatnya yang dikemudian hari menjadi bermasalah. Timbul persoalan dalam hal bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses pembuatan akta otentik yang data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak. UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Sehingga timbul kekosongan norma hukum dalam UU Perubahan atas UUJN yang berkaitan dengan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Berdasarkan latar belakang tersebut mendorong penulis untuk mengangkat suatu judul yang akan dibahas dalam tesis ini adalah “Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Pemalsuan Surat Oleh Para Pihak”.
Latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah tanggung jawab notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris?
-
2. Apakah notaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila muncul kerugian terhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak?
Asas kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena dapat memberikan pengaturan secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragu-raguan atau multi tafsir, dan logis dalam arti hukum tersebut menjadi suatu sistem norma
dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma ataupun adanya kekaburan dan kekosongan norma.
Asas ini dapat dipergunakan untuk dapat mengatasi persoalan dalam hal bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses pembuatan akta otentik yang data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak. Realitanya banyak permasalahan seperti ini timbul di masyarakat dan mengikutsertakan Notaris tetapi di dalam pengaturannya terutama di UUJN sendiri tidak mengatur mengenai tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Dengan asas kepastian hukum ini diharapkan dapat memberikan suatu bentuk kepastian bagi notaris apabila berhadapan dengan kasus seperti ini.
Notaris adalah Pejabat Umum yang berfungsi menjamin otoritas pada tulisan-tulisannya (akta). Notaris sebagai Pejabat Umum memiliki tanggung jawab atas perbuatannya terkait dengan pekerjaannya dalam membuat akta. Berkaitan dengan pertanggungjawaban Notaris sebagai Pejabat Umum maka sesungguhnya Notaris bila melakukan tindak pidana dapat dikenakan tuntutan pidana yang berdasarkan perbuatan pemalsuan surat, namun dalam hubungannya dengan kebenaran materiil atas akta yang dibuat, Notaris dalam menjalankan profesinya melalui kontruksi yuridis bahwa Notaris sejatinya hanya fasilitator dari para pihak dalam partij acte.
Menurut Philipus M. Hadjon, kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Philipus menambahkan bahwa “Berbicara tentang delegasi dalam hal ada pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada. Apabila kewenangan itu kurang sempurna, berarti bahwa keputusan yang berdasarkan kewenangan itu tidak sah menurut hukum”.6 Pernyataan diatas, dapat dipahami bahwa atribusi dan delegasi merupakan suatu alat atau sarana yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu badan itu berwenang atau tidak dalam memberikan kewajiban-kewajiban kepada masyarakat. Mengenai mandat, Philipus menyatakan “Dalam hal mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalih tanganan kewenangan. Di sini menyangkut janji-janji kerja intern antara penguasa dan
-
6Philipus M. Hadjon, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Ketujuh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 110.
pengawal. Dalam hal-hal tertentu seorang pegawai memperoleh kewenangan untuk atas nama si penguasa”.7 Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh notaris merupakan kewenangan atribusi yang berasal dari peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa segala kewenangan notaris adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini secara tegas dapat ditemukan dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perubahan atas UUJN tentang kewenangan notaris. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa notaris berwenang untuk membuat akta otentik secara umum. Teori kewenangan ini digunakan untuk membahas dan menganalisis masalah tentang kewenangan notaris dalam memberikan jasanya kepada para pihak. Dengan mengetahui wewenang tersebut dapat memberikan kejelasan mengenai tanggung jawab notaris dalam membuat akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak.
Teori pertanggungjawaban menjelaskan bahwa sseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum. Ini berarti bahwa di bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang dilakukan itu bertentangan. Hans Kelsen membagi pertanggung jawaban menjadi 4 (empat) macam yaitu :
-
a. Pertanggungjawaban individu yaitu pertanggungjawaban yang harus dilakukan terhadap planggaran yang dilakukannya sendiri
-
b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain
-
c. Pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas
pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbukan kerugian.
-
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.
Teori tanggung jawab dalam hal ini dikaitkan dengan tanggung jawab Notaris dalam hal pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak yang dalam hal ini pemalsuan surat merupakan tindak pidana dimana di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang
telah dibuatnya berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Sehingga timbul kekosongan norma hukum dalam UU Perubahan atas UUJN yang berkaitan dengan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak.
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengembangkan kemampuan diri dalam menyampaikan dan menuliskan pikiran dalam suatu karya ilmiah serta lebih memahami mengenai aturan-aturan hukum yang berlaku terutama yang terkait dengan pengaturan jabatan notaries.
-
1. Untuk dapat mengetahui dan mengkaji lebih dalam mengenai tanggung jawab notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta notaris.
-
2. Untuk mengetahui dapat tidaknya Notaris dimintai pertanggungjawaban perdata bila muncul kerugian terhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak.
Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif. Jenis penelitian normatif digunakan dalam penelitian ini karena penelitian ini berangkat dari adanya kekosongan norma. Kekosongan norma yang dimaksud adalah tidak adanya norma yang mengatur mengenai pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak (dalam aspek tindak pidana) di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN .
Dalam pendekatan perundang-undangan (the statute approach) ini dilakukan penelitian sinkrunasi perundang-undangan baik vertical maupun horizontal. Sehingga di dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan Undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 6 Nopember 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (UUJN) jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (UU Perubahan atas UUJN) untuk mengetahui sejauh mana
pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta berdasarkan Pemalsuan Surat oleh para pihak baik dari aspek hukum perdata maupun pidana. Pendekatan Kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Pendekatan Sejarah (historical approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. Dalam penelitian ini, pendekatan historis digunakan untuk mengkaji perkembangan lembaga notaris di Indonesia, serta perkembangan pengaturan mengenai notaris di Indonesia.. Pendekatan Konsep (conseptual approach) dalam penelitian ini merujuk pada prinsip-prinsip hukum.. pendekatan ini digunakan untuk mengkaji konsep mengenai tanggung jawab notaris dalam dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak dengan beberapa asas, teori, dan konsep yaitu asas kepastian hukum, teori kewenangan, teori pertanggungjawaban hukum, dan konsep Notaris sebagai Pejabat Umum.
-
a. Sumber bahan hukum primer
Bahan hukum primer ini diperoleh dari sumber yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain
-
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117).
-
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3).
-
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
-
4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
-
5. Kode Etik Notaris.
-
b. Bahan hukum sekunder memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa literatur-literatur, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan.
-
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan-bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : artikel dalam format elektronik (internet).8
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari penelusuran melalui kegiatan studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan berbagai bahan hukum, baik berupa peraturan perundang-undangan, kode etik profesi, literatur, serta berbagai buku yang relevan yang terkait dengan
pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan
akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak. Mengenai Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah dengan melakukan kegiatan membaca secara kritis analisis lalu menemukan permasalahan dan isu hukum yang akan diteliti dan mengumpulkan semua informasi yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti, kemudian dipilih informasi yang relevan dan esensial.
Pertama “Teknik deskripsi yaitu menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, pernyataan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian dari analisa harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Hasil analisis selanjutnya diberikan argumentasi untuk mendapatkan kesimpulan atas pokok permasalahan yang dibahas pada penelitian ini.
-
III. TINJAUAN UMUM TERHADAP JABATAN NOTARIS DAN AKTA NOTARIS
-
3.1 Tinjauan Umum Terhadap Jabatan Notaris
-
3.1.1 Pengertian Notaris
-
-
Istilah Notaris pada dasarnya berasal dari perkataan "notarius" (bahasa Latin), yakni nama yang diberikan pada orang-orang Romawi dimana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis pada masa itu. Ada juga pendapat mengatakan bahwa nama "notaries'" itu berasal dari perkataan "nota literaria", berarti tanda (letter merk atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan9. Pada abad ke-lima dan keenam sebutan itu (notarius) diberikan kepada penulis (sekretaris) pribadi dari raja atau kaisar serta pegawai-pegawai dari istana yang melaksanakan pekerjaan administrasi. Para pejabat dinamakan notarius itu merupakan pejabat yang menjalankan tugasnya hanya untuk pemerintah dan tidak melayani publik atau umum. Terkait dengan tugas untuk melayani public dinamakan tubelliones yang fungsinya agak mirip dengan Notaris pada saat ini. Hanya saja tidak mempunyai sifat amblitjke, sifat jabatan negeri sehingga surat-surat yang dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik atau resmi.
Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN disebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
-
9Notodisoerjo, Soegondo, R, Hukum Notarial di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali Jakarta, 1982, hal. 13.
dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini. Batasan yang diberikan oleh Pasal 1 UU Perubahan atas UUJN mengenai Notaris pada hakekatnya masih dapat ditambahkan "yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum". Oleh karena grosse atau salinan dari akta tertentu dari Notaris yang pada bagian atasnya memuat perkataan: "Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan hakim. Notaris memperoleh kekuasaannya itu langsung dari kekuasaan eksekutif, sehingga Notaris dalam menjalankan tugasnya melakukan sebagian dari kekuasaan eksekutif.
Notaris merupakan pejabat yang diangkat oleh negara untuk mewakili kekuasaan umum negara dalam melakukan pelayanan hukum kepada masyarakat dalam bidang hukum perdata demi terciptanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Bentuk pelayanan keperdataan yang dilakukan oleh notaris adalah dengan membuat akta otentik. Akta otentik diperlukan oleh masyarakat untuk kepentingan pembuktian sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh. Hal-hal yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima, kecuali dapat dibuktikan hal yang sebaliknya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam penjelasan umum UUJN.
Tugas pokok dari Notaris ialah membuat akta-akta otentik. Adapun akta otentik itu menurut Pasal 1870 KUHPerdata memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian sempurna. Disinilah letak arti penting dari seorang Notaris, bahwa Notaris karena undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada bukti sebaliknya. Notaris mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembuatan akta-akta otentik. Bukan hanya karena ia memang disebut sebagai pejabat umum yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga karena adanya orientasi atas pengangkatan Notaris sebagai pejabat umum yang dimaksudkan untuk melayani kepentingan umum dan menerima penghasilan karena telah memberikan jasa-jasanya.
Kewenangan seorang Notaris dalam hal pembuatan akta nampak dalam Pasal Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN yaitu membuat akta otentik. Notaris tidak boleh membuat akta untuk ia sendiri, istrinya, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus tanpa perbedaan tingkatan dalam garis samping dengan tingkat ketiga, bertindak sebagai pihak baik secara pribadi maupun diwakili oleh kuasanya. Sehubungan dengan
kewenangan Notaris dalam membuat akta sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15 UU perubahan atas UUJN
Kewajiban notaris yang tercantum dalam Pasal 16 UU Perubahan atas UUJN jika dilanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Khusus untuk notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i dan k UU Perubahan atas UUJN selain dapat dijatuhi sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat di hadapan notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Hal tersebut juga dapat merugikan para pihak yang bersangkutan, sehingga pihak yang dirugikan tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 84 UUJN.
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya, selain memiliki kewajiban seperti yang tercantum dalam Pasal 16 UU Perubahan atas UUJN, juga terikat pada larangan-larangan. Adapun larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh Notaris diatur dalam Pasal 17 UU Perubahan atas UUJN . Larangan notaris merupakan suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh notaris. Jika larangan ini dilanggar oleh notaris, maka kepada notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN dapat dikenakan sanksi yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU Perubahan atas UUJN, yaitu berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat. Dan apabila Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan surat atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa wewenang Notaris adalah membuat suatu akta otentik. Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa para Notaris merealisir apa yang dikemukakan para pihak. Isi akta Notaris yaitu akta pihak atau partij-acte yang memuat sepenuhnya apa yang dikehendaki dan disepakati oleh para pihak. Hukum perjanjian bertitik tolak dari asumsi bahwa para pihak
yang membuat perjanjian kedudukannya adalah sama dan sederajat.
Menurut R. Soegondo, "akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum, oleh atau dihadapan penjabat umum, yang berwenang untuk berbuat sedemikian itu, di tempat dimana akte itu dibuat”10. Ketentuan dalam Pasal 1868 KUH Perdata, suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.
Akta otentik merupakan bukti sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya. Apa yang tersebut di dalamnya perihal pokok masalah dan isi dari akta otentik itu dianggap tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa apa yang oleh pejabat umum itu dicatat sebagai hal benar tetapi tidaklah demikian halnya.
Daya bukti sempurna dari akta otentik terhadap kedua belah pihak, dimaksudkan jika timbul suatu sengketa dimuka hakim mengenai suatu hal dan salah satu pihak mengajukan akta otentik, maka apa yang disebutkan di dalam akta itu sudah dianggap terbukti dengan sempurna. Jika pihak lawan menyangkal kebenaran isi akta otentik itu, maka ia wajib membuktikan bahwa isi akta itu adalah tidak benar. UU Perubahan atas UUJN menyebutkan bahwa akta otentik itu harus dianggap sah hanyalah bahwa apabila para pihak betul-betul sudah menghadap kepada pejabat umum (Notaris) termasuk pada hari dan tanggal dibukukan dalam akta itu dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Jabatan atau profesi Notaris dalam pembuatan akta merupakan jabatan kepercayaan yang harus
dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun secara etika profesi. Akta yang dibuat oleh Notaris adalah akta yang bersifat otentik, oleh karena itu Notaris dalam membuat akta harus hati-hati dan selalu berdasar pada peraturan. Pembuatan akta otentik, Notaris harus bertanggung jawab apabila atas akta yang dibuatnya terdapat kesalahan atau pelanggaran yang disengaja oleh Notaris. Sebaliknya apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para pihak penghadap, maka sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai peraturan. Notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan
oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta.
-
IV. TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK MENURUT UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS
-
4.1 Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris Menurut Undang-
Undang Jabatan Notaris
Dalam melaksanakan tugas jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh kepada Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan atas UUJN) dan Kode Etik Notaris, karena tanpa itu harkat dan martabat profesionalisme seorang Notaris akan hilang sama sekali. Sejak tahun 1987 oleh Departemen Kehakiman sekarang Departemen Hukum dan HAM diisyaratkan, bahwa seseorang untuk dapat diangkat sebagai Notaris selain harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 UU Perubahan atas UUJN harus dapat membuktikan pula bahwa ia telah lulus ujian kode etik yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Departemen Hukum dan HAM kepada INI. Khusus bagi para Notaris tentang etika telah diatur dalam UU Perubahan atas UUJN, namun untuk mengetahui ketentuan mana yang ada dalam UU Perubahan atas UUJN yang termasuk dalam ruang lingkup kode etik kiranya perlu ada penafsiran tersebut, agar dapat diketahui dengan jelas hukuman-hukuman dalam arti teknis dari KUHP yang merupakan hukuman pidana dan merupakan displinair dari ketentuan Pasal 84 dan Pasal 85 dari UU Perubahan atas UUJN.
Apabila Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan kewenangannya membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka Notaris sebagai pejabat umum tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban dari segi hukum atas akta yang dibuatnya tersebut. Namun apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 84 UUJN, akta yang dibuat oleh Notaris tersebut tidak mempunyai kekuatan notariil sebagai akta otentik, melainkan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan, apabila akta tersebut tidak atau kurang syarat subyektifnya diantaranya pihak-pihak atau para penghadap tidak cakap bertindak dalam hukum, sedangkan akta menjadi batal demi hukum jika akta tersebut dibuat tidak memenuhi syarat obyektif, misalnya tidak ada obyek yang diperjanjikan atau akta tersebut dibuat bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan. Pada kondisi yang demikian ini, Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban dari segi hukum. Mengenai pertanggungjawaban Notaris dari segi hukum tidak lepas dari pertanggungjawaban dari segi hukum pidana, perdata maupun Hukum Administrasi. Hal ini sejalan dengan asas yang berlaku bahwa siapa saja yang dirugikan berhak melakukan tuntutan atau gugatan. Gugatan terhadap Notaris dapat terjadi jika terbitnya akta Notaris tidak sesuai dengan prosedur sehingga menimbulkan kerugian. Pada pihak lain, jika suatu akta sampai dibatalkan, maka Notaris yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan menurut Hukum administrasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana.
Notaris adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan dalam pembuatan akta tersebut, untuk itu jika terjadi baik karena disengaja maupun kelalaiannya Notaris melakukan kesalahan, maka dapat dimintakan tanggung jawab baik dari segi hukum pidana, perdata maupun administratisi. Mengenai sanksi Hukum Administrasi berupa teguran lisan, tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam keadaan bagaimana Notaris diberikan sanksi dengan kualifikasikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Sanksi Hukum Administrasi terhadap Notaris karena kesalahannya yang membuat akta otentik menurut Pasal 85 UUJN dapat dikenai sanksi berupa: Teguran lisan, Teguran tertulis, Pemberhentian sementara, Pemberhentian dengan hormat:, Pemberhentian dengan tidak hormat.
Akta yang dibuat oleh Notaris berkaitan dengan masalah keperdataan yaitu mengenai perikatan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih meskipun memungkinkan dibuat secara sepihak (sifatnya hanya menguatkan). Sifat dan asas yang dianut oleh hukum perikatan khususnya perikatan yang lahir karena perjanjian, bahwa undang-undang hanya mungkin dan boleh diubah atau diganti atau dinyatakan tidak berlaku, hanya oleh mereka yang membuatnya, maksudnya kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam suatu akta otentik mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang..
Pasal 84 UUJN menetapkan bahwa "dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris". Dalam hal ini, Notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik, jika terjadi kesalahan baik disengaja maupun karena kelalaiannya mengakibatkan
orang lain (akibat dibuatnya akta) menderita kerugian, yang berarti Notaris telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 84 UUJN, bahwa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam beberapa pasal, maka jika salah satu pasal tersebut dilanggar berarti terjadi perbuatan melanggar hukum, sehingga unsur harus ada perbuatan melanggar hukum sudah terpenuhi.
Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya tidak diatur dalam UU Perubahan atas UUJN namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila Notaris melakukan perbuatan pidana. Notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak11. Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri12. UU Perubahan atas UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap UU Perubahan atas UUJN sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Demi tegaknya hukum Notaris harus tunduk pada ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam KUHP, dan terhadap pelaksanaannya mengingat Notaris melakukan perbuatan dalam kapasitas jabatannya untuk membedakan dengan perbuatan Notaris sebagai subyek hukum orang Pasal 50 KUHP memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris yang menyebutkan bahwa : “barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum”.13 Pengertian penerapan Pasal 50 KUHP terhadap Notaris tidaklah semata-mata melindungi Notaris untuk membebaskan adanya perbuatan pidana yang dilakukannya tetapi mengingat Notaris mempunyai
-
11Andi Mamminanga, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, Tesis yang ditulis pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2008, hal. 32.
-
12Notodisoerjo, Hukum Notarial di Indonesia (suatu penjelasan), Rajawali Pers, Jakarta, 1982, hal. 229.
-
13R. Soesilo, Kitab Undang -Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1993, hal. 66
kewenangan sebagaimana diatur dalam UU Perubahan atas UUJN apakah perbuatan yang telah dilakukannya pada saat membuat akta Notaris sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.14
Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Aspek tersebut sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UU Perubahan atas UUJN dan kode etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata berdasarkan UU Perubahan atas UUJN suatu pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UU Perubahan atas UUJN dan kode etik jabatan Notaris.
-
V. TANGGUNG JAWAB PIDANA OLEH NOTARIS APABILA MUNCUL KERUGIAN TERHADAP SALAH SATU PIHAK SEBAGAI AKIBAT
ADANYA DOKUMEN PALSU
-
5.1 Unsur-unsur Perbuatan Pidana terhadap Pemalsuan Akta
Otentik
Berdasarkan Perumusan unsur-unsur pidana dari bunyi pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan akta otentik yang dilakukan oleh Notaris tidak bisa diterapkan kepada pelaku yakni Notaris yang memalsu akta otentik. Akan tetapi Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi dari pasal 264 KUHP, sebab pasal 264 KUHP merupakan Pemalsuan surat yang diperberat dikarenakan obyek pemalsuan ini mengandung nilai kepercayaan yang tinggi. Sehingga semua unsur yang membedakan antara pasal 263 dengan pasal 264 KUHP hanya terletak pada adanya obyek pemalsuan yaitu “Macam surat dan surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya”.15
Nyatalah bahwa yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat pasal 264 diatas terletak pada faktor macam-macamnya surat.16 Diruang lingkup Notaris kita mengenal adagium bahwa “Setiap orang yang datang menghadap Notaris telah benar berkata. Sehingga benar berkata berbanding lurus dengan berkata benar”. Jika benar berkata, tidak berbanding lurus dengan berkata benar yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan palsu, maka hal itu menjadi tanggungjawab yang bersangkutan. Jika hal seperti itu terjadi, maka seringkali Notaris dilaporkan kepada pihak yang berwajib dalam hal ini adalah Aparat Kepolisian. Dalam pemeriksaan Notaris dicercar dengan berbagai pertanyaan yang intinya Notaris digiring sebagai pihak yang membuat keterangan palsu.17
Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut diatas dilanggar, artinya disamping memenuhi rumusan pelanggaran yang disebutkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan atas UUJN) dan Kode Etik profesi Jabatan Notaris yang juga harus memenuhi rumusan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
-
5.2 Pertanggungjawaban Pidana oleh
Notaris Apabila Muncul Kerugian Dari Salah Satu Pihak Akibat Adanya Dokumen Palsu
Terjadinya suatu pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 15 dan 16 UU Perubahan atas UUJN oleh Notaris di dalam menjalankan jabatannya sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya perbuatan pemalsuan atas akta yang dibuat dihadapan oleh para pihak (penghadap). Akan tetapi perbuatan Notaris tersebut sangat sulit untuk membuktikannya. Hal ini mengingat bahwa di dalam akta Notaris selalu disebutkan pada awal akta bahwa penghadap menghadap pada Notaris dan pada akhir akta selalu disebutkan bahwa akta tersebut dibacakan oleh Notaris kepada para penghadap dan saksi dihadapan Notaris. Namun dalam kenyataannya baik pembacaan dan penandatanganan tidak perah dilakukan dihadapan Notaris sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU Perubahan atas UUJN, maka Notaris dianggap telah melakukan pelanggaran membuat akta palsu sebagaimana dimaksud Pasal 263 juncto Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP. Akan tetapi untuk menyatakan tentang adanya kebenaran Notaris melakukan perbuatan tersebut tentu harus melalui proses pembuktian yang dalam sistem pembuktian acara pidana
-
16Adamichazawi, Op.Cit, hal. 108.
-
17HabiebAdjie,http://google.co.id,Notaris_ Indonesia Majelis Pengawas Sebagai Pelapor Tindak Pidana, diambil tanggal 28.03.12.
disebut dengan sistem negatif yaitu suatu sistem pembuktian dengan mencari kebenaran materiil yaitu seorang hakim dalam suatu sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan harus memenuhi dua syarat mutlak meliputi adanya alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim.18
Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan profesinya wajib mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya tersebut. Besarnya tanggung jawab Notaris dalam menjalankan profesinya mengharuskan Notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap tindakannya. Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat merugikan pihak lain. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi yaitu perbuatan Notaris harus memenuhi rumusan perbuatan itu dilarang oleh undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan Notaris tersebut serta perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, baik formil maupun materiil. Secara formal disini sudah dipenuhi karena sudah memenuhi rumusan dalam undang-undang, tetapi secara materiil harus diuji kembali dengan kode etik, UU Perubahan atas UUJN.
-
5.3 Akibat Hukum Terhadap Adanya Dokumen Palsu Dalam
Pembuatan Akta Otentik
Akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris secara melawan hukum sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah tangan serta akta tersebut dapat dibatalkan telah sejalan dengan teon kewenangan dan konsep perlindungan hukum. Seperti dikemukakan dalam teori kewenangan, Notaris dalam membuat akta otentik tennasuk dalam kewenangan secara atribusi, berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN. Terjadinya suatu akibat hukum yaitu berupa akta otentik menjadi akta dibawah tangan dan akta tersebut dibatalkan diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Notaris, dimana Notaris dalarn menjalakan wewenangnya telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang
mengakibatkan kenlgian bagi para pihak dan mengakibatkan berubahnya kekuatan
pembuktian akta dan adanya pembatalan akta otentik tersebut oleh pengadilan.
-
VI. PENUTUP
-
1. Adapun tanggung jawab Notaris dalam hal
terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta Notaris menurut UUJN dan UU Perubahan atas UUJN adalah ketika Notaris dalam menjalankan jabatannya terbukti
melakukan pelanggaran, maka Notaris bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik tanggung jawab dari segi Hukum Administrasi, Hukum Perdata, yaitu sesuai ketentuan sanksi yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UU Perubahan atas UUJN dan kode etik, namun di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan.
-
2. Notaris tidak dapat diminta
pertanggungjawabannya pidana apabila muncul kerugian trhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak. Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri. Oleh karena itu demi tegaknya hukum Notaris harus tunduk pada ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam KUHP, dan terhadap pelaksanaannya mengingat Notaris melakukan perbuatan dalam kapasitas jabatannya untuk membedakan dengan perbuatan Notaris sebagai subyek hukum orang Pasal 50 KUHP memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris Pengertian penerapan Pasal 50 KUHP terhadap Notaris tidaklah semata - mata melindungi Notaris untuk membebaskan adanya perbuatan pidana yang dilakukannya tetapi mengingat Notaris mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN apakah perbuatan yang telah
dilakukannya pada saat membuat akta Notaris sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan di atas terhadap pertanggungjawaban Notaris dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak adalah sebagai berikut :
-
1. Agar pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif merekontruksi kcmbali pengaturan dalam UUJN juncto UU Perubahan atas UUJN mengenai tidak adanya komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang Notaris, karena pengaturan komulasi atau penggabungan penerapan sanksi ini tentunya akan lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang dirugikan termasuk Notaris itu sendiri. Dan perlu
disempurnakan kembali UU Perubahan atas UUJN untuk mempertegas tindakan-tindakan yang dilarang oleh Notaris dalam melaksanakan tugasnya, termasuk
ketentuan- ketentuan dalam pembuatan akta baik bagi Notaris dan para pihak yang ingin membuat akta, baik dalam perspektif tindakannya yang berkaitan dengan Hukum Administrasi, Hukum Perdata, maupun Hukum Pidana.
-
2. Agar Notaris yang melaksanakan tugas mulia membantu masyarakat
menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapinya untuk selalu bertindak cermat, hati-hati, dan belajar meningkatkan pengetahuannya untuk mendalami mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan baik selama menjalankan jabatannya sebagai notaris, sehingga dapat seminimal mungkin terjadinya perbuatan atau akta yang dilahirkan dipersengketakan oleh para pihak yang berkepentingan;
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Habib, 2008, Hukum Notariat di Indonesia-Tafsiran Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung.
Ghofur Anshori, Abdul, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta.
Hadjon, Philipus M., 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Ketujuh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Mamminanga, Andi, 2008, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, Tesis yang ditulis pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Notodisoerjo, 1982, Hukum Notarial di Indonesia (Suatu Penjelasan), Rajawali Pers, Jakarta.
Soegondo, R., 1991 “Hukum Pembuktian”, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Soesilo, R., 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor.
Yahya Harahap, M, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang di Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
Adjie Habieb, http://google.co.id,Notaris_Indonesia Majelis Pengawas Sebagai Pelapor Tindak Pidana, diambil tanggal 28.03.12.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 1 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tntang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491
Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2016-2017
171
Discussion and feedback