Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun  1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3019).

Undang-Undang Nomor  23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674).

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491).

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3050).

Acta Comitas (2017) 1 : 26 – 42

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

KEPASTIAN HUKUM HAK KOMUNAL DITINJAU DARI

PASAL 16 AYAT (1) h UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 Ni Ketut Ardani

ABSTRAK

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ataupun masyarakat yang berada dalam Kawasan tertentu, dalam hal ini masyarakat yang berada dalam kawasan hutan dan perkebunan dapat mengajukan Hak Komunal dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016. Keberadaan Hak Komunal apabila ditinjau dari UUPA tidak termasuk sebagai salah satu jenis hak atas tanah , khususnya dalam Pasal 16 ayat 1 h UUPA, di mana jenis hak atas tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu Hak atas tanah yang bersifat tetap, Hak atas tanah yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu hak atas tanah yang akan hadir kemudian yang akan ditetapkan oleh undang-undang dan Hak atas tanah yang bersifat sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA, karena Hak Komunal sendiri ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2015 yang kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, serta kemudian ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016, yang hampir 80 persen isinya sama dengan Permen Nomor 9 Tahun 2015. Kondisi ini dapat menimbulkan keraguan akan diperolehnya kepastian hukum atas kepemilikan Hak Komunal itu sendiri.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam tesis ini dikualifikasikan sebagai penelitian normatif dengan beberapa pendekatan yaitu Pendekatan Perundang-undangan, Pendekatan Konsep), Pendekatan Sejarah dan Pendekatan Perbandingan serta mempergunakan tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teori-terori yang dipergunakan dalam melakukan analisis adalah Teori Kepastian Hukum, Teori Negara Hukum, Teori Perjenjangan Norma, Teori Fungsional dan Teori Legitimasi dan Validitas serta Teori Kemanfaatan.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pengaturan Hak Komunal yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016 belum memberikan jaminan kepastian atas Hak Komunal itu sendiri baik dilihat dari dasar penetapannnya maupun dilihat dari beberapa isi pasal-pasalnya.Untuk itu baik Legislatif maupun Pemerintah Pusat perlu menetapkan Hak Komunal itu dalam bentuk undang-undang, sehingga sesuai dengan UUPA sebagai Hukum Pertanahan yang berlaku di Indonesia sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang Hak Komunal.

Kata Kunci : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Hak Komunal, Kepastian Hukum.

PENDAHULUAN

  • 1.    Latar Belakang Masalah.

Hak menguasai dari negara, dilihat dari sejarah pembentukan UUPA mengajarkan bahwa hak menguasai negara (yang mencakup kewenangan negara untuk menetapkan peruntukan dan pemanfaatan sumber daya agraria termasuk hak orang atau kelompok masyarakat atas tanah) merupakan abstraksi dari Hak ulayat. UUPA pada dasarnya merupakan penjabaran dari Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur kewenangan negara atas tanah, menyebutkan bahwa sebagai hukum tanah nasional, dalam UUPA dikenal adanya tiga entitas tanah yaitu :

  • a.    Tanah Negara, hubungan penguasaannnya disebut hak menguasai (oleh) Negara, kewenangannya bersifat publik;

  • b.    Tanah ulAyat, hubungan penguasaannya disebut Hak ulayat, subjeknya Masyarakat Hukum Adat dan kewenangannya bersifat publik dan keperdataan.

  • c.    Tanah Hak yang dapat dipunyai oleh orang perorangan atau badan hukum, kewenangannnya bersifat keperdataan. Macam-macam hak atas tanah diatur dalam Pasal 16 UUPA.1

Tanah pada Masyarakat Hukum Adat, sebagaimana masyarakat pada umumnya, merupakan kekayaan sekaligus merupakan tempat tinggal dan tempat bermata pencaharian. Dalam tataran mistis, Masyarakat Hukum Adat menganggap tanah merupakan tempat tinggal para leluhur serta tempat kuburan mereka saat meninggal nanti.

Di sisi lain negara secara tegas telah mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUPA yang menentukan bahwa :

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Ketentuan Pasal 3 di atas tetap harus dimaknai bahwa kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas dan hak ulayatnyapun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas.

Maria S.W Sumardjono mengemukakan bahwa dasar berpijak untuk pembuatan kebijakan di masa yang akan datang adalah : 2

  • 1.    Prinsip-prinsip dasar yang diletakkan oleh UUPA orientasinya perlu dipertegas dan dikembangkan,      sehingga     dapat

diterjemahkan sebagai kebijakan yang konseptual, sekaligus operasional dalam menjawab berbagai kebutuhan dan dapat menuntut ke arah perubahan yang dinamis.

  • 2.    Perlu adanya persamaan persepsi bagi pembuat kebijakan dengan berbagai hal yang prinsipiil, sehingga tidak akan menunda jalan keluar dari berbagai permasalahan yang ada. Dalam hal ini pembuat kebijakan harus senantiasa menghindari adanya pengaturan yang menimbulkan multi tafsir, sehingga dapat ditentukan dan dikembangkan kebijakan pertanahan sesuai dengan keberagaman permasalahan yang ada .

  • 3.    Perlu dilakukan prioritas dalam penerbitan kebijakan, untuk menghindari kesan adanya pembuatan kebijakan yang bersifat parsial.

  • 4.    Diperlukan adanya kebijakan di bidang pertanahan yang jelas yang menunjukkan hubungan antara prinsip kebijakan, tujuan serta sasaran yang hendak dicapai. Hal ini perlu mengingat setiap kebijakan yang dikeluarkan akan menimbulkan akibat hukum sebagai akibat dari kebijakan itu sendiri.

Salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam bidang agraria bagi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu adalah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015 (selanjutnya disebut Permen Nomor 9 Tahun 2015) yang mengatur tentang Tata Cara Penetapan Hak komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, peraturan mana saat belum genap berusia setahun telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku serta diganti Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 (selanjutnya disebut Permen Nomor 10 Tahun 2016) yang mengatur tentang Tata Cara Penetapan Hak komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam kawasan Tertentu, dengan pertimbangan antara lain untuk menjamin hak-hak hukum adat dan masyarakat yang berada

2Maria S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan (Antara Regulasi dan Implementasi), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, (selanjutnya disebut Maria S.W. Sumardjono I), hal. 46.

dalam kawasan tertentu, yang telah menguasai tanah dalam jangka waktu yang cukup lama serta untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat serta untuk menghindari terjadinya pemahaman.

Menurut Pasal 1 angka 1 Permen Nomor 10 Tahun 2016 dinyatakan bahwa hak komunal atas tanah adalah :

“hak milik bersama atas tanah suatu Masyarakat Hukum Adat, atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu”.

Dari Permen Nomor 10 Tahun 2016 ini jelas dinyatakan bahwa Hak komunal dapat diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat yang berada pada Kawasan Tertentu, dengan pengertian kawasan tertentu yang dimaksud di sini adalah daerah perkebunan dan kehutanan. Menyimak apa yang diatur dalam Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 dapat dikemukakan bahwa eksistensi Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat tradisional ini diakui dengan tiga syarat yaitu :

  • 1.    “Sepanjang Masih hidup”

  • 2.    Sesuai dengan perkembangan masyarakat

  • 3.    Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia

  • 4.    Diatur dengan undang-undang (merupakan syarat yang tercantum dalam Pasal 281 ayat (3) UUD NRI 1945).

Berkaitan dengan hak-hak atas tanah, hak atas tanah dan sumber daya alam adalah salah satu hak yang paling banyak dituntut oleh masyarakat adat. Ketergantungannya yang tinggi terhadap tanah dan sumber daya alam untuk menopang hak atas hidup adalah alasan utama.3 Hak atas tanah dari masyarakat yang berlaku di Indonesia, dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Macam-macam hak atas tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA diatas, dari pengaturan hak atas tanah di atas, maka jenis-jenis hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA dan Pasal 53 UUPA dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu

  • 1.    Hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu hak-hak atas tanah yang tetap ada dan berlaku selama UUPA berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Jenis hak atas tanah yang termasuk dalam

pengelompokan ini adalah hak milik, HGU, HGB, Hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.

  • 2.    Hak atas tanah yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu hak atas tanah yang akan hadir kemudian yang akan ditetapkan oleh undang-undang, misalnya hak atas tanah yang telah pernah dikeluarkan adalah Unsang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

  • 3.    Hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal dan bertentangan dengan UUPA. Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Berdasarkan pengelompokan di atas, dapat dilihat bahwa hak komunal tidak termasuk dalam salah satu dari ketiga pengelompokan yang telah disebutkan di atas. Hal ini dikarenakan dasar hukum lahirnya hak komunal adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Tata Ruang dan Kepala BPN. Apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) h UUPA mengenai maksud dari “hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53”, menyatakan bentuk lain selain “undang-undang”. Adanya     insinkronisasi

dalam pengaturan mengenai hak komunal di sini dapat menimbulkan keraguan akan jaminan tercapainya kepastian hukum dari Hak komunal. Di sisi lain hal yang masih dapat menjadi persoalan apakah politik pengakuan terhadap hak komunal tanah adat akan memberikan kepastian hukum setara dengan hak atas tanah yang selama ini diatur UUPA. Penafsiran atas ketentuan hak komunal dengan Pasal 16 ayat (1) h UUPA menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah bermaksud menjadikan Hak komunal sebagai hak yang bersifat sementara ataukah hak yang terpisah dari UUPA sebagai Undang-Undang Pokok di bidang keagrariaan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini ?.

Dengan demikian terbitnya Permen Nomor 10 Tahun 2016 diharapkan akan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi KMHA. Melihat pengaturan hak komunal yang didasarkan pada Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN yang berbeda dengan dasar pengaturan hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) h UUPA yang mengenal adanya hak atas tanah yang bersifat tetap, hak atas tanah yang ditetapkan oleh undang-undang, dan hak atas tanah yang bersifat sementara.

Berdasarkan pada uraian dalam latar belakang di atas, selanjutnya penulis akan melakukan pembahasan atas tesis dengan judul KEPASTIAN HUKUM HAK KOMUNAL DITINJAU DARI PASAL 16 AYAT (1) h UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960.

  • 2. Rumusan Masalah.

Dari uraian dalam latar belakang masalah, dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah kepastian hukum hak komunal ditinjau dari Pasal 16 ayat (1) h. UUPA?

  • 2.    Apakah sertifikat hak komunal atas tanah memberikan jaminan kepastian hukum yang sama dengan sertifikat hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA?

PEMBAHASAN

  • 1.    KEPASTIAN   HUKUM   HAK

KOMUNAL DITINJAU DARI PASAL 16 AYAT (1) h UUPA

  • a. Syarat-syarat   Kesatuan Masyarakat

Hukum Adat  sebagai Subjek Hak

Komunal

Menurut F.D. Holleman sebagaimana dikutip A. Suriyaman Mustari Pide, bahwa ada 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu4 :

  • 1.    Magis Religius, yang mengandung arti bahwa hukum adat pada dasarnya berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme (kepercayaan terhadap hal-hal gaib). Sifat magis religius diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada religiusitas yakni keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral.

  • 2.    Communal (Commun).

Asas commun mengandung arti mendahulukan kepentingan sendiri. Masyarakat hukum adat mempunyai pemikiran bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan dan setiap kepentingan individu sewajarnya disesuaikan     dengan     kepentingan-

kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakatnya.

  • 3.    Contan.Sifat ini mengandung arti sebagai keserta mertaan, utamanya dalam hal pemenuhan prestasi. Sifat kontan memberi pengertian bahwa suatu tindakan berupa perbuatan nyata, perbuatan simbolis atau pengucapan akan menyelesaikan tindakan hukum bersamaan dengan waktunya

manakala ia melakukan perbuatan menurut hukum adat.

Ciri-ciri lain dari masyarakat adat dinyatakan oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) menyatakan bahwa, masyarakat adat mempunyai sebagai berikut :

  • 1.    Sekelompok masyarakat yang memiliki identitas budaya yang sama dan kekhasan dalam bahasa, nilai spiritual, norma dan perilaku yang membedakan mereka dari kelompok masyarakat lain;

  • 2.    Berdiam di wilayah mereka yang mengandung sumberdaya tanah, hutan laut dan sumberdaya lainnya, yang mencakup bukan hanya kebutuhan kebendaan melainkan juga sistem sosio-kultural;

  • 3.    Pengetahuan atau “kearifan tradisional” tidak hanya terus dipelihara namun juga diperkaya dan dikembangkan selaras dengan kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan keberadaan mereka;

  • 4.    Memiliki kesatuan sistem peraturan dan pengurusan diri termasuk hukum dan kelembagaan adat untuk mengelola kehidupan mereka.

Menurut John Bamba, ada tiga elemen penting yang membentuk, menopang dan mengembangkan eksistensi masyarakat adat yaitu tanah, hutan dan air.5 Hal ini sejalan dengan kondisi, di mana hampir semua kesatuan masyarakat adat disatukan karena adanya kegiatan yang sama dalam pengelolaan tanah, hutan maupun air. Sedangkan A.P. Parlindungan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bumi adalah di atas bumi (hak atas tanah) kemudian ditanam di bumi (seperti kehutanan,     tanaman-tanaman).

Diartikan dengan air adalah pengertian pendalaman perairan lautan dan bumi di bawah perairan. Sehingga dengan demikian seluruh kekayaan alam yang terdapat di air, ataupun yang dapat ditambang dari air, termasuk yang ada di bumi di bawah perairan merupakan pengertian dari air tersebut.6

Dilihat dari hubungan hukum Masyarakat Hukum Adat (gerombolan) dengan tanah di mana mereka bertempat tinggal bersama mengandung beberapa prinsip yaitu bahwa tanah merupakan tempat mereka berdiam, memberikan mereka penghasilan yang dipergunakan untuk makan, merupakan tempat di mana mereka akan dimakamkan kelak, tanah merupakan tempat kediaman mahluk halus sebagai pelindung mereka beserta arwah

  • 5John Bamba, op.cit., hal 31.

  • 6A.P. Parindungan, 2015, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria, Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan III), hal. 3.

leluhurnya  serta tanah merupakan  tempat

mereka meresap daya-daya hidup.7

Pada bagian lain, Wayan P. Windia mengemukakan bahwa di Bali berkaitan dengan hak atas tanah, dikenal 2 (dua) macam hak atas tanah yaitu :   hak perseorangan atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yang sepenuhnya tunduk pada hukum tanah nasional, di antaranya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan lain sebagainya dan hak-hak masyarakat hukum adat (desa, pura), merupakan hak-hak masyarakat adat yang di samping tunduk kepada hukum nasional, masih terikat pula oleh ketentuan-ketentuan adat, seperti yang ditentukan melalui awig-awig, perarem dan dresta.8

Dalam perkembangannya, hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat mengalami perubahan dengan ditetapkannnya Permen Nomor 10 Tahun 2016 yang memberi kesempatan kepada KMHA maupun masyarakat yang berada pada Kawasan Tertentu sebagai pemegang hak komunal atas tanah, yang pengaturannya diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Permen Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa subjek dari pemohon hak komunal yaitu :

  • a.    Masyarakat Hukum Adat;

  • b.    Mayarakat yang berada dalam suatu Kawasan Tertentu;

  • c.    Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat berbentuk koperasi, unit atau bagian dari desa, atau kelompok masyarakat lainnya yang telah memenuhi persyaratan untuk dapat diberikan hak atas tanah menurut peraturan ini.

Syarat Masyarakat Hukum Adat yang dimaksudkan di sini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Permen Nomor 10 Tahun 2016 adalah adanya masyarakat masih dalam bentuk paguyuban hal    mana ditentukan oleh

pemerintah melalaui IP4T (Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah).      Syarat ini ditujukan

untuk dapat membuktikan bahwa benar-benar kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut ada dan masih merupakan satu kesatuan serta mereka berkumpul karena didasarkan pada persamaan tempat tinggal, kesamaan adat istiadat ataupun kesamaan latar belakang. Permasalahan yang mungkin timbul dalam menentukan ada tidaknya KMHA adalah akan mengalami kesulitan saat menentukan kelompok Masyarakat Hukum Adat mana yang mempunyai tanah, pada saat diajukannya tanah yang berbatasan dan saling klaim, dan kemungkinan KMHA yang sudah “mati” sebelumnya mengklaim hak yang kemudian diajukan oleh KMHA yang terakhir menempati

  • .7Arming Sorisi, op.cit., hal. 9.

  • 8Wayan P. Windia, op.cit, hal. 163.

wilayahnya. Sebagai syarat kedua adalah adanya     kelembagaan dalam perangkat

penguasa adatnya yang mensyaratkan di mana Masyarakat Hukum Adat itu hidup, mempunyai lembaga adat, pemangku adat sebagai pengaturan organisasi KMHA tersebut, adanya anggota, yang menunjukkan bahwa struktur organisasi dari kesatuan masyarakat adat yang bersangkutan harus jelas karena hal ini berkaitan dengan pertanggungjawaban atas tindakan hukum yang dilakukan dan agar terdapat kepastian hukum siapa yang berhak mewakili kesatuan masyarakat adat tersebut ke dalam maupun ke luar kesatuan. Syarat ketiga adalah adanya wilayah hukum adat yang jelas dengan demikian akan menjadi jelas batas-batas teritorial dari KMHA yang bersangkutan yang dapat dihindari terjadinya sengketa perbatasan, dan sebagai syarat terakhir adalah adanya pranata dan perangkat hukum yang masih ditaati dengan kata lain masih ada nilai-nilai yang diakui keberlakukannnya yang mengatur kehidupan anggota KMHA tersebut serta ditaati. Pengaturan hampir sama dapat dilihat dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan, yang menyatakan bahwa Masyarakat     Hukum    Adat     diakui

keberadaannnya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur, antara lain :

  • 1.    masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);

  • 2.    ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

  • 3.    ada wilayah hukum adat yang jelas;

  • 4.    ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan

  • 5.    masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jimly Assiddiqie secara garis besar menjabarkan menjadi delapan kemungkinan masih ada atau tidaknya KMHA yaitu :

  • 1. Masyarakatnya  masih  asli,  tradisinya

masih ada serta adanya catatan mengenai

tradisi tersebut.

  • 2. Masyarakatnya  masih  asli,  tradisinya

masih ada akan tetapi tidak   adanya

catatan mengenai tradisi tersebut.

  • 3.    Masyarakatnya masih asli, tapi tradisinya tidak dipraktekkan lagi, serta tersedianya rekaman atau catatan tertulis mengenai tradisi tersebut yang suatu saat dapat dipraktekkan kembali.

  • 4.    Masyarakatnya masih asli, tetapi tradisinya sudah tiada dan tidak ada catatan sama sekali.

  • 5.    Masyarakatnya sudah tidak asli lagi, tradisinya sudah tiada catatanya juga sudah tidak ada, kecuali hanya ada legenda-legenda yang tidak tertulis.

  • 6.    Masyarakatnya tidak asli lagi, tradisinya sudah menghilang dari praktek tetapi

catatannya masih tersedia dan sewaktu-waktu dapat kembali dihidupkan.

  • 7.    Masyarakatnya sudah tidak asli lagi, tetapi tradisinya masih dipraktekkan dan catatannya pun masih tersedia cukup memadai.

  • 8.    Masyarakatnya tidak asli lagi, tidak tersedia catatan mengenai hal itu tetapi tradisinya masih hidup dalam praktek.

Dari kedelapan katagori diatas, selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga yaitu :

  • 1.    Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang sudah mati sama sekali ;

  • 2.    Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang sudah tidak hidup dalam praktek, tetapi belum mati sama sekali, sehingga dapat diberi “pupuk’agar dapat hidup “subur” serta ;

  • 3.    Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang memang masih hidup.9

Dari ketiga pengelompokan kondisi Masyarakat Hukum Adat di atas, menurut peneliti dapat dikatakan bahwa yang masih dimungkinkan oleh Permen Nomor 10 Tahun 2016 sebagai pemohon pendaftaran hak komunal adalah KMHA yang berada pada kondisi kedua dan ketiga. Seharusnya pada kondisi KMHA masuk pada golongan kesatu, justru menjadi tugas pemerintah untuk “menghidupkan dan mendorong agar tetap hidup” KMHA yang berada dalam kondisi kedua bahkan golongan ketiga, sehingga apa yang menjadi tujuan UUPA dapat berjalan dengan baik karena Masyarakat Hukum Adat yang sudah dikatagorikan “mati” masih dapat dihidupkan kembali sepanjang memenuhi syarat yaitu :

  • 1.    sesuai perkembangan masyarakat menuju ke tingkat peradaban yang semakin maju ;

  • 2.    sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ;

  • 3.    diatur dilakukan menurut aturan yang ditentukan dalam UU.10

Sebagai konsekwensi terhadap adanya pengakuan atas hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam UUPA, maka negara wajib memberikan jaminan kepastian hukum atas hak atas tanah yang bersangkutan, sehingga akan menjadi lebih mudah bagi pemegang hak atas tanah untuk mempertahankan hak atas tanahnya dari gangguan maupun gugatan pihak lain. Pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat dan askes terhadap sumber daya alam juga dapat dilihat dalam konvensi internasional, yaitu dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 169 mengenai bangsa pribumi dan masyarakat adat di negara-

negara merdeka (Indigenous dan Tribal Peoples Convention) yang mulai berlaku pada tanggal 5 September 1991. Konvensi ini menetapkan bahwa pemerintah wajib menghormati kebudayaan dan nilai-nilai spiritual masyarakat asli yang dijunjung tinggi dalam hubungan dengan lahan (tanah) yang mereka tempati atau gunakan. Pasal 14 (Article 14) konvensi tersebut menyatakan :

  • 1.    The rights of ownership and possesion of the peoples concerned over the lands which they traditionally occupy shall be recognized. In addition, measures shall be taken in appropriate cases to safeguard the rights of the peoples concerned to use land not exclucively occupied by them, but to which they have traditionally bad acces for their subsistence and traditional activities. Particular attention shall be paid to the situation of nomadic peoples and shifting cultivatorsin this respect.

(Pengakuan hak kepemilikan dan barang-barang milik masyarakat yang peduli terhadap tanah yang bekerja secara tradisional. Selain itu sesuai dengan langkah-langkah yang akan diambil guna melindungi hak masyarakat yang peduli penggunaan tanah yang merupakan akses bagi kehidupannya dan aktivitas     tradisonal     mereka.

Perhatian khusus akan diberikan pada keadaan di mana masyarakat dan petani yang berpindah-pindah).

  • 2.    Governments ahall take steps as necessary to identifity the lands which the peoples concernedtraditionallu occupy and it guarrantee effective protection on their rights of ownership and possession. (Pemerintah akan mengambil langkah untuk mengidentifikasikan lahan yang dikerjakan masyarakat dan menjamin perlindungan yang efektif bagi hak kepemilikan).

  • 3.    Adequate procedure shall be established within the national legal system to resolve land by the peoples concerned (Ditetapkan prosedur yang memadai dalam sistem hukum warga negara, untuk menyelesaikan klaim warga atas tanah).11

Dilihat dari pengakuan negara terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan dikaitkan dengan pendapat Scheltema mengenai unsur-unsur dan asas-asas negara hukum, sudah terlihat adanya usaha untuk memberikan pengakuan serta perlindungan HAM serta bertujuan untuk lebih memberikan jaminan kepastian hukum, akan tetapi masih banyak perlu penyempurnaan karena melihat kondisi

  • 11Owen J.Lynch and Kirk Talbott, 1995, Balancing Act : Community-Based Forest Management and National Law in Asia and The Pacific, Work Resources Institute, hal. 122.

Masyarakat Hukum Adatnya    demikian

mejemuk berikut peraturan adatnya, sehingga akan sulit menyatukan dalam suatu aturan hukum, akan tetapi harus dapat menjadi pemersatu dari sekian banyak perbedaan.

  • 2. Kepastian Hak Komunal Ditinjau Dari

    Pasal 16 ayat 1 UUPA.

Hukum Adat merupakan sumber utama Hukum Tanah Nasional. Menurut H.M. Arba, hal ini mengandung arti bahwa pembangunan Hukum Tanah Nasional dilandasi konsepsi Hukum Adat, yang dirumuskan sebagai komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individul dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.12 Sedangkan Bernhard Limbong mengemukakan bahwa pertanahan secara umum adalah hal-hal yang bersangkut paut dengan tanah dari segi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya,.13

Hukum Adat yang disebut dalam UUPA sebagai dasar Hukum Tanah Nasional bukan Hukum Adat yang sebenarnya, dalam arti bukan Hukum Adat yang murni akan tetapi Hukum Adat yang sudah disaring dari unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang dan jiwa sosial Indonesia.14 Membicarakan Masyarakat Hukum Adat yang diakui sebagai salah satu subjek hak atas tanah, setiap saat menjadi penting, karena mengingat keberadaannnya dapat dikatakan sebagai sesuatu yang fundamen utama bagi pendirian Republik Indonesia, dengan keberagamannya yang unik. Sebagai masyarakat hukum, maka Masyarakat Hukum Adat merupakan subjek hukum yang berbeda dengan pribadi alamiah (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtpersoon) yang selama ini dikenal dalam kajian hukum di mana sebagai subjek hukum, maka Masyarakat Hukum Adat mempunyai kemampuan, sebagai penyandang hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum.15 Penerimaan secara tegas terhadap konsep hukum adat yang dapat dikatakan menjadi dasar dari hak komunal dapat dilihat dalam Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa :

“ hukum yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak beretentangan dengan kepentingan nasional dan negara.”

Menurut      Rizani      Puspawidjaja

sebagaimana dikutip oleh I Gede Yusa bahwa :

Customary law communities cannot be separated from land ownership because they have a genue right to mastery of the land. This right was the first to emerge compared with other right settings. Right issued by the goverment to indigenous peoples are a right that is regocnition. Theoritically, this right cannot be requested back by the state. Close relationship and are religious magical, causing indigenous peoples to have to right to control teh land. Given the importance of the position of land for the indigenous peoples, then at a simple culture level, every indigenous peoples, of course has away of setting about the land.16

Uraian di atas mengandung arti secara garis besar bahwa Masyarakat Hukum Adat tidak dapat dipisahkan dari kepemilikan tanah karena mereka memiliki hak asli untuk penguasaan tanah. Hak ini adalah yang pertama kali muncul dibandingkan dengan pengaturan hak-hak lainnya. Hak yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk masyarakat adat adalah hak yang pengakuan. Secara teoritis, hak ini tidak dapat diminta kembali oleh negara. Tertutupnya hubungan dan religius magis menyebabkan masyarakat adat untuk memiliki hak menguasai tanah (dalam hal ini dimaksudkan “menguasai” yang berbeda dengan hak menguasai dari negara). Maria A. Sardjono sebagaimana dikutip H.M. Arba, mengemukakan bahwa pengertian hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, beserta tubuh bumi dan air serta ruang udara di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.17 Melihat dari pengertian hak atas tanah menurut Maria A. Sardjono sebagaimana dikuti H.M. Arba bahwa unsur-unsur hak atas tanah terdiri dari 4 unsur yaitu :

  • 1.    Adanya subjek hak;

  • 2.    Adanya objek hak;

  • 3.    Adanya hubungan yang mengikat dengan pihak lain;

  • 4.    Memperhatikan peraturan perundang-undangan.18

  • 16I    Gede Yusa , “ Identification And

Analysis Of The Rights Of Indigenous Peoples In The Study Of Constitutional Law, 2016 ”Constitutional Review Volume 2, Number 1, The Constitutional Court Of The Republic of Indonesia, Jakarta, hal. 11.

17H.M.Arba, op.cit., hal 84.

18Ibid.

Cara pengaturan tanah antara masyarakat adat yang satu dengan yang lainnya berbeda, di mana ruang lingkup pertanahan meliputi hubungan fisik dan hubungan yuridis dan seringkali tidak sejalan beriringan menjadi rawan konflik, dengan bentuk konflik antara lain :

  • 1.    adanya bidang tanah yang dikuasai secara fisik namun tidak diikuti dengan hak kepemilikan atas tanah (sering disebut okupasi liar).

  • 2.    adanya bidang tanah yang dikuasai dengan hak kepemilikan atas tanah namun tidak diikuti dengan pemanfaatan sesuai dengan tujuan pemberian haknya (dikenal dengan sebutan tanah terlantar).

  • 3.    adanya bidang tanah yang digunakan dan dimanfatkan secara fisik namun tidak sesuai dengan arahan tata guna tanah maupun rencana tata ruangnya sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan tanah dan lingkungannya.19

Herman Soesangobeng yang menguraikan pendapat Ter Haar mengemukakan bahwa dilihat dari perkembanganmya maka lahirnya Hak milik dapat dirinci sebagai berikut : 20

  • 1.    Hak atas tanah tersebut terbagai atas dua katagori yaitu hak yang bersifat sementara, disebut dengan hak-hak agraria dan hak yang bersifat permanen yang disebut dengan hak atas tanah.

  • 2.    Dikelompokkan sebagai hak yang bersifat sementara atau hak-hak agraria adalah :

  • a.   Right of preference to choose yang

dapat diklasifikasikan  sebagai hak

membuka tanah;

  • b.   Right of preference  yang dapat

diklasifikasikan sebagai hak terdahulu

(voorkeursrecht);

  • c.   Right of enjoyment  yang dapat

diklasifikasikan sebagai hak untuk menikmati/menggunakan.

  • 2. Dikelompokkan sebagai hak permanen atau hak atas tanah yaitu :

  • a.    Right to use (gebruiksrecht) atau hak pakai dan;

  • b.    Right of ownership (het island bezitsrecht) atau hak milik.

Melihat hak atas tanah yang disebut di atas apabila dikaitkan dengan UUPA sebagai hukum keagrariaan yang di dalamnya juga mengatur tentang hak atas tanah, di mana pengaturannya di Indonesia adalah bersifat terbuka, artinya masih terbuka peluang adanya penambahan macam hak atas tanah selain yang sudah diatur dalam UUPA. Hal ini

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yang menentukan adanya hak-hak lain yang akan ditetapkan dengan undang-undang, serta adanya hak atas tanah yang bersifat tetap serta hak atas tanah yang bersifat sementara (Pasal 53 UUPA). Menurut Supriadi bahwa hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 jo Pasal 53 UUPA tidak bersifat limitatif, artinya di samping hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA, kelak kemungkinan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dalam undang-undang.21 Secara tegas telah diisyaratkan bahwa bentuk dari hak-hak lain itu dasarnya adalah undang-undang. Dimungkinkannya muncul hak-hak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) memberikan gambaran bahwa pembuat undang-undang      telah      memikirkan

perkembangan hak-hak atas tanah yang mungkin terjadi di kemudian hari, dengan memberi penekanan pada bentuk “undang-undang” sebagai dasar timbulnya hak baru.

Dilihat ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) h, keberadaan hak komunal dapat dikatakan tidak termasuk sebagai salah satu hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal ini, karena diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, yang tidak dikenal dalam Pasal 16 UUPA.

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa Kekuatan Hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Melihat Permen Nomor 10 Tahun 2016 dari Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 di atas telah menunjukkan bahwa Hak komunal tidak dapat diposisikan sebagai hak yang berkedudukan sama dengan hak atas tanah lainnnya yang disebutkan dalam Pasal 16 UUPA, karena undang-undang lebih tinggi daripada Peraturan Menteri. Dengan demikian akan berdampak pula kepada kepastian hukum yang akan diterima oleh pemegang hak komunal itu sendiri. Produk hukum yang diberlakukan terhadap masyarakat, dalam hal ini KMHA seharusnya tetap harus dikaitkan dengan asas-asas pemerintahan yang baik yang menurut Crince Le Roy terdiri dari :

  • 1.    Asas kepastian hukum (principle of legal security)

  • 2.    Asas keseimbangan   (principle   of

proportionality)

  • 3.    Asas bertindak cermat (principle of carefullness)

  • 4.    Asas motivasi untuk setiap keputusan badan pemerintahan   (principle   of

motivation)

  • 5.    Asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence)

21Supriyadi, 2007, Hukum Agraria, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 166.

  • 6.    Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality)

  • 7.    Asas permainan yang layak (principle of fair play)

  • 8.    Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonableness of prohibition or arbitration)

  • 9.    Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation)

  • 10.    Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of unnulled decisision)

  • 11.    Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life).22

Apabila terhadap kepastian hak komunal dikaitkan dengan jenis-jenis hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA dilakukan analisis berdasarkan teori-teori yang sudah dikemukakan, maka analisis yang dapat dikemukakan adalah bahwa ada beberapa syarat yang belum dipenuhi oleh Permen Nomor 10 dilihat dari Asas kepastian hukum (principle of legal security), di mana dilihat dari dasar pembentukannnya tidak didasarkan pada produk hukum yang dimaksudkan dalam UUPA khususnya Pasal 16 ayat (1) h, karena didasarkan pada Peraturan Menteri, Asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence), dalam hal ini asas ini tidak terpenuhi. Mengenai syarat lain yang disyaratakan oleh Crince Le Roy yaitu Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonableness of prohibition or arbitration), menurut peneliti belum terpenuhi, karena sebagaimana diketahui ada bermacam-macam masyarakat hukum adat, dan dalam Permen ini hanya memberikan hak kepada masyarakat dalam kawasan tertentu hanya yang menguasai perkebunan dan kehutanan. Di Bali ada dikenal tanah subak yang menguasai tanah sawah, mengenai hal ini tidak ada ketentuan ecara pasti.

Terbitnya Permen ini tentu dengan harapan apa yang menjadi tujuan dari diterbitkannya produk hukum tersebut tercapai serta      dapat      dihindari      terjadinya

ketidaksinkronan      dengan      peraturan

perundangan lainnya yang mengatur mengenai hal yang sama, akan tetapi dalam kenyataannya masih perlu banyak penyempurnaan, karena keberadaannnya belum memberikan jaminan kepastian hukum bagi penerima haknya.

  • 3.   KEPASTIAN HUKUM SERTIFIKAT

HAK KOMUNAL ATAS TANAH

  • a.    Prosedur Permohonan Hak Komunal.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) bahwasanya Masyarakat Hukum Adat yang memenuhi persyaratan dapat dikukuhkan hak atas tanahnya dan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa kelompok masyarakat yang berada dalam suatu kawasan tertentu yang memenuhi persyaratan dapat diberikan hak atas tanahnya. Mengenai tata cara pendaftaran hak komunalnya, Pasal 19 Permen Nomor 10 Tahun 2016 secara garis besar menentukan bahwa pendaftaran hak komunal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran, peraturan perundang-undangan mana yang berlaku saat ini di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya ditulis PP Nomor 24 Tahun 1997), sehingga dapat disimpulkan bahwa pendaftaran hak komunal mengikuti tata cara pendaftaran yang ditur dalam PP Nomor 24 Tahun

Dalam rangka menjamin kepastian hukum, maka pendaftaran tanah harus meliputi dua hal yaitu :

  • a.    Kadaster Hak, yaitu meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pendaftaran bidang-bidang tanah tersebut dalam daftar-daftar tanah. Bidang-bidang tanah hak adalah bidang-bidang tanah yang dimiliki orang atau badan hukum dengan sesuatu hak.

  • b.    Pendaftaran Hak yaitu kegiatan pendaftaran hak-hak dalam daftar-daftar buku tanah atas pemegang haknya.

Prosedur pendaftaran hak komunal sebagaimana dimaksud dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 dikaitkan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997, terlebih dahulu perlu diketahui bahwa menurut Pasal 5 Permen Nomor 10 Tahun 2016 yang dapat mengajukan permohonan tersebut adalah Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat yang berada dalam     kawasan     tertentu     kepada

Bupati/Walikota apabila Masyarakat Hukum Adat tersebut berada dalam satu wilayah, atau kepada 1997.ubernur apabila tanah yang dimohonkan berada di lintas kabupaten/Kota, permohonan mana dengan melengkapi syarat-syarat :

  • a.    riwayat Masyarakat Hukum Adat dan riwayat tanahnya apabila pemohon Masyarakat Hukum Adat;

  • b.    riwayat penguasaan tanah paling kurang 10 tahun atau lebih secara berturut-turut, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu;

  • c.    fotokopi identitas atau akta pendirian koperasi, unit bagian dari desa atau kelompok masyarakat lainnnya;

  • d.    surat keterangan dari kepala desa atau nama lain yang serupa dengan itu;

Selanjutnya atas permohonan sebagaimana pada ayat (2) Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk Tim IP4T untuk menentukan keberadaan Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu serta tanahnya.      Tim IP4T atas

permohonan yang berada dalam satu Kabupaten/Kota dengan pemohon terdiri dari (a) Kepala Kantor Pertanahan/Kabupaten/Kota sebagai ketua merangkap anggota; (b) Camat setempat atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; (c) Lurah/Kepala Desa setempat atau sebutan lain yang sama dengan itu sebagai anggota; (d) Unsur pakar hukum adat, apabila pemohon Masyarakat Hukum Adat; (e) Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Unsur Dinas/Badan Kabupaten /Kota yang menangani urusan di bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam Kawasan Hutan; (f) Perwakilan Masyarakat Hukum Adat setempat atau perwakilan masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu; (g) Lembaga Swadaya Masyarakat dan (h) Instansi yang mengelola sumber daya alam. Sedangkan untuk permohonan yang tanahnya berada dalam lintas Kabupaten/Kota, maka Gubernur membenrtuk Tim IP4T yang terdiri dari        (a) Kepala Badan

PertanahanNasional sebagai ketua merangkap anggota; (b) Unsur pakar hukum adat, apabila pemohon Masyarakat Hukum Adat; (c) Unsur Dinas Provinsi yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Unsur Dinas/Badan Provinsi yang menangani urusan di bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam Kawasan Hutan; (d) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota terkait sebagai anggota; (e) Camat setempat atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; (f) Lurah/Kepala Desa setempat atau sebutan lain yang sama dengan itu sebagai anggota; (g) Perwakilan Masyarakat Hukum Adat setempat atau perwakilan masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu; (h) Lembaga Swadaya Masyarakat dan (i) Instansi yang mengelola sumber daya alam. Selanjutnya Tim IP4T yang telah terbentuk akan melakukan kegiatan di antaranya :

  • a.    Identifikasi dan verifikasi pemohon, riwayat tanah, jenis, peguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah;

  • b.    Melakukan identifikasi dan verifikasi batas-batas tanah;

  • 1.    Mengadakan pemeriksaan di lapangan terhadap permohonan yang telah lengkap serta meminta kepada pemohon untuk

melengkapi berkas pabila berkas permohonan belum lengkap;

  • 2.    Melakukan analisa data yuridis dan data fisik bidang tanah; dimana hasil analisa ini dapat berupa jawaban berupa terdapat Masyarakat Hukum Adat dan tanahnya; terdapat Masyarakat Hukum Adat yang berada dalam kawasan hutan atau terdapat masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu;

  • c.    Apabila telah dilakukan pemeriksaan lapangan, selanjutnya membuat Berita Acara Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh seluruh Tim IP4T dan selanjutnya melaporkannnya kepada Bupati/Walikota atau Gubernur apabila hasil analisanya terdapat Masyarakat Hukum Adat dan tanahnya.

  • d.    Apabila hasil analisis diketahui bahwa tanah yang dimohon berada dalam Kawasan Hutan, Tim IP4T menyerahkan hasil analisis kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan cq. Direktur Jenderal yang mempunyai tugas di bidang planologi kehutanan, untuk dilepaskan dari kawasan hutan.

Khusus untuk permohonan atas kawasan hutan, perubahan peruntukan dan fungsi karena pelepasan kawasan hutan dapat dilaksanakan sebelum ditetapkannnya revisi rencana tata ruang wilayah. Apabila terjadi revisi rencana tata ruang wilayah provinsid atau kabupaten/kota, maka revisi ini dilakukan setelah proses peninjauan kembali yang menghasilkan rekomendasi perlunya revisi.

  • e.    Setelah dilepaskan dari kawasan hutan, selanjutnya Tim IP4T melaporkan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk mendapatkan penetapan. Sedangkan untuk permohonan oleh masyarakat yang berada dalam kawasan perkebunan yang tanahnya berada dalam kawasan Hak Guna Usaha, maka dilakukan pelepasan haknya terlebih dahulu oleh pemegang hak atas tanahnya dan dikembalikan menjadi tanah negara terlebih dahulu. Demikian pula apabila tanah yang dimohonkan masih berada dalam sengketa, maka Tim IP4T akan melakukan musyawarah mufakat terlebih dahulu untuk menyelesaikan sengketa atas tanah tersebut.

  • f.    Berdasarkan laporan akhir yang disampaikan oleh IP4T mengenai Masyarakat Hukum Adat dan tanahnya, maka Bupati/Walikota menetapkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan tanahnya dalam hal terletak pada 1 (satu) Kabupaten/Kota;     atau     Gubernur

menetapkan keberadaan   Masyarakat

Hukum Adat dan tanahnya dalam hal terletak pada lintas Kabupaten/Kota.

  • g.    Selanjutnya penetapan Masyarakat Hukum Adat melalui Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan atau kepada Kepala Wilayah BPN untuk ditetapkan dan didaftarkan hak komunal atas tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat.

Menurut Nurul Hermansyah,23 bahwa Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 2015 (demikian pula dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 (catatan dari peneliti)), mengunakan kelembagaan ad hoc, yaitu IP4T yang ditunjuk oleh Pemerintah daerah (Provinsi dan atau Kabupaten/Kota) untuk memastikan dan menentukan keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak dengan parameterparameter yang telah ditentukan. Hal ini menimbulkan ketidaksinkronan dengan pengaturan lain mengenai penetapan masyarakat hukum adat yang menghendaki penetapan dalam bentuk Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Kepala Daerah. Dalam Pasal 6 Permendagri    Nomor 52 Tahun 2014

disebutkan:

  • (1)    Panitia Masyarakat Hukum Adat

Kabupaten/Kota   menyampaikan

rekomendasi             kepada

Bupati/Walikota berdasarkan hasil verifikasi       dan       validasi

  • sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4);

  • (2)    Bupati/walikota       melakukan

penetapan    pengakuan     dan

perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah;

  • (3)    Dalam hal masyarakat hukum adat berada di 2 (dua) atau lebih Kabupaten/Kota, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala Daerah.

Adanya     ketidaksinkronan     dalam

memastikan serta menentukan keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak akan memberi dampak hukum pada ketidakpastian hukum mengenai eksistensi masyarakat hukum adat sebagai subjek hak, serta pada ketidakpastian akan adanya perlindungan hukum terhadap hak-haknya pada kawasan hutan dan sektor sumber daya alam lainnya.

Sebagai tindak lanjut penetapan akan adanya Masyarakat Hukum Adat ataupun masyarakat yang berada pada kawasan tertentu melalui Keputusan Bupati/Walikota atau

Gubernur adalah pengajuan permohonan hak komunalnya pada kantor pertanahan mengikuti apa yang berlaku pada pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Dalam proses penilaian terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, sangat diperlukan kecermatan baik mengenai kevalidan data yang diajukan maupun mengenai persyaratan lainnya, karena hasil penilaian yang berupa Surat Keputusan baik Surat Keputusan Bupati/Walikota maupun Surat Keputusan Gubernur tersebut akan mempengaruhi hidup matinya masyarakat hukum adat yang mengajukan permohonan, yang pada akhirnya akan berakibat pada hak atas tanah yang telah dikuasainya selama ini.

Menurut Hari Chand sebagaimana dikutip oleh Jimly Assiddiqie bahwa suatu norma valid harus memenuhi kondisi (1) harus merupakan bagian dari sistem norma dan (2) sistem norma tersebut harus berlaku efektif (efficacious). Lebih lanjut Chand mengutip pendapat Starke menyatakan bahwa konsep validitas dapat dipahami dengan mempelajari empat arti yang diberikan oleh Kelsen yaitu :

  • 1.    Suatu norma eksis dengan kekuatan mengikat;

  • 2.    Norma partikuler tersebut dapat diidentifikasikan sebagai bagian dari suatu tata hukum (legal order) yang berlaku (efficacious ;

  • 3.    Suatu norma dikondisikan oleh norma lain yang lebih tinggi dalam hirarki norma;

  • 4.    Suatu norma yang dijustifikasi kesesuaiannya dengan norma dasar.24 Apabila dicermati sebagaimana halnya

dalam UUPA, pasal-pasal dalam PP Nomor 24 Tahun 1997     tidak ditemukan adanya

penyebutan hak komunal sebagai salah satu jenis hak atas tanah sebagai objek pendaftarannya. Namun sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 19 Permen Nomor 10 Tahun 2016, maka pendaftaran hak komunal mengikuti tata cara yang diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, di mana menurut peneliti proses pendaftaran tanah yang berlaku umum selama ini pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau Kanwil Badan Pertanahan Nasional baru mulai dilakukan setelah diterimanya Surat Keputusan yang menyatakan adanya masyarakat hukum adat ataupun masyarakat yang berada pada Kawasan Tertentu serta tanahnya.

Mustofa dan Suratman mengemukakan dalam upaya melakukan pembaruan agraria, maka setiap keputusan atau langkah yang diambil di bidang pertanahan, perairan, mineral dan sebagainya seharusnya mengingat tiga hal yaitu :

24Jimly Asshidiqie I, op. cit., hal. 98.

  • 1.    Suatu proses yang berkesinambungan, yakni adanya kebijakan yang telah diambil secara konsisten dan terus menerus dilaksanakan. Perubahan kebijakan yang terlalu sering dilakukan akan menimbulkan ketidakpastian hukum;

  • 2.    Proses tersebut berupa penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria ;

  • 3.    Ketidakpastian hak Masyarakat Hukum Adat atas wilayah adatnya dalam hukum agraria Indonesia dapat dikatakan belum menemukan solusinya, baik pada tataran kebijakan       hingga       instrumen

pemerintahan.25

Dikaitkan dengan hak komunal, maka program pembaruan keagraraian dari pemerintah seharusnya mampu merangkul serta menyayomi tanah komunal yang beragam jenis maupun aturan adat yang berlaku di dalamnya.

Menurut Jan Michiel Otto, untuk menciptakan adanya kepastian, maka hukumnya harus memenuhi syarat-syarat yaitu :

  • 1.    Ada aturan hukum yang jelas dan konsisten.

  • 2.    Instansi pemerintah menerapkan aturan hukum secara konsisten, tunduk dan taat terhadapnya.

  • 3.    Masyarakat menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan hukum tersebut.

  • 4.    Hakim-hakim yang mandiri, tidak berpihak dan harus menerapkan aturan hukum secara konsisten serta jeli sewaktu menyelesaikan sengketa hukum.

  • 5.    Putusan Pengadilan secara konkret dilaksanakan.26

Dalam syarat di atas jelas disebutkan adanya aturan hukum yang jelas dan konsisten sebagai salah satu syarat tercapainya kepastian. Apabila diperhatikan Permen Nomor 10 Tahun 2016, terbitnya sebagai pengganti Permen Nomor 9 Tahun 2015 di mana dengan rentang waktu berlakunya yang belum setahun, dapat dikatakan belum efektif pelaksanaannya dan kondisi      ini      telah      menunjukkan

ketidakkonsistenan pemerintah terhadap penerapan suatu aturan hukum. Dilihat dari substansi atau isi kedua Permen yang hampir sama, seharusnya bukannya pencabutan yang dilakukan, akan tetapi perubahan, sehingga dampak pencabutan atas segala akibat hukum yang telah timbul karena keberlakuan Permen Nomor 9 Tahun 2015 dapat diperkecil dan hanya melakukan perubahan terhadap pasal-pasal yang dipandang perlu saja.

Menurut Urip Santoso, pemberian jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, yang menjadi salah satu tujuan diundangkan UUPA dapat terwujud melalui dua upaya yaitu : 27

  • 1.    Tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan ketentuan-ketentuannya.

  • 2.    Penyelenggaraan pendaftaran tanah memungkinkan bagi pemegnag hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya dan baik pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan serta bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan pertanahan.

Prinsip dasar dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan

adalah pemahaman terhadap adanya keterkaitan antara peraturan-peraturan dalam satu sistem yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan bahwa operasionalisasi suatu peraturan harus dapat dikembalikan pada konsepnya, yakni asas hukum yang mendasarinya.28 Menurut Sir Charles Fortescue Brickdate sebagaimana dikutip oleh Supriadi dikemukakan ada 6 hal yang harus digabungkan dalam pendaftaran tanah yaitu29 : a. Security, dalam hal ini bertolak dari kemampuan sitem yang dipergunakan dalam pendaftaran tanah, sehingga seseorang akan merasa aman atas hak tersebut baik karena membeli tanah tersebut ataupun mengikatkan tanah tersebut untuk suatu jaminan atas hutang; b. Simplicity, sederhana sehingga setiap orang dapat mengerti; Dalam hal ini apa yang diatur dalam prosedur ataupun tata cara pendaftaran tanah harusnya mudah dimengerti bagi pemohon; c. Accuracy bahwa terdapat ketelitian dari sitem pendaftaran tersebut secara lebih efektif; d. Expedition artinya dapat lancar dan segera sehingga menghindari ketidakjelasan yang dapat berakibat berlarut-larut dalam pendaftaran tanah tersebut; e. Cheapness yaitu agar biaya tersebut dapat semurah mungkin; f. Suitability to circumstances bahwasanya pendaftaran tersebut akan tetap berharga baik saat ini maupun dikemudian hari; dan g. Completeness of the record, yang terdiri atas : 1. Perekaman tersebut harus lengkap lebih-lebih pasal saat masih adanya tanah-tanah yang belum terdaftar ; 2. Demikian pula halnya pendaftaran dari setiap tanah tertentu dengan berdasarkan keadaan pada saat dilakukannnya pendaftaran.

Apabila Permen Nomor 10 Tahun 2016 dilihat dari perjenjangan di atas dan dikaitkan dengan UUPA khususnya Pasal 16 ayat (1) h, maka seharusnya produk hukum yang dipergunakan sebagai dasar dari terbitnya hak komunal adalah undang-undang, sehingga terjadi kesejajaran dalam perjenjangan aturan hukum yang menjadi dasar terbitnya hak

  • 28 Maria S.W. Sumardjono II, op.cit., hal.3. 29Supriyadi, loc.cit.

dikaitkan dengan jenis hak atas tanah lain yang berlaku selama ini, dengan demikian diharapkan akan memberikan kepastian atas hak komunal itu sendiri.

b.Kepastian Hukum Sertifikat Hak komunal

Kepastian hukum dalam bidang keagrariaan dapat diperoleh dengan melakukan pendaftaran atas suatu hak atas tanah, baik itu karena peralihan, pelepasan, pembebanan atau dengan cara lain yang telah ditentukan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997. Sebagai subjek hak komunal yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 permen Nomor 10 Tahun 2016, maka Masyarakat Hukum Adat maupun kelompok masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 4 Permen Nomor 10 Tahun 2016. Pasal 4 ayat (2) a Permen Nomor 10 Tahun 2016 menentukan adanya penguasaan fisik paling kurang 10 (sepuluh) tahun atau lebih secara berturut-turut bagi pemohon hak komunal apabila pemohon merupakan kelompok masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu, sedangkan disisi lain sebagai ketentuan pendafataran tanah yang berlaku atas permohonan hak konumal yang diberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal 19 Permen Nomor 10 Tahun 2016, dalam Pasal 24 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 ditentukan adanya syarat 20 (duapuluh) tahun berturut-turut yang dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka. Terdapat perbedaan prinsip sebagai syarat pengajuannnya, di mana dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016, ada syarat adanya jangka waktu penguasaan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun berturut-turut serta tidak adanya syarat itikad baik dalam menentukan syarat kelompok masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu sebagai bahan pertimbangan dari Tim IP4T, sedangkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 adanya syarat penguasaan fisik selama 20 (duapuluh) tahun berturut-turut dan adanya syarat penguasaan dengan itikad baik. Kondisi ini memberi peluang akan adanya gugatan atas hasil penilaian Tim IP4T oleh pihak lain yang merasa lebih berhak karena telah menguasai tanah yang bersangkutan dengan itikad baik.30 Pada akhirnya kondisi ini akan berimbas pula pada kepastian hukum akan sertifikat hak komunal yang diterima oleh pemohon hak komunal.

Atas permohonan pendaftaran hak atas tanah dengan hasil akhir berupa sertifikat, dalam Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa sertifikat merupakan surat tanda buki hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam

surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Selanjutnya dalam penjelasan pasal di atas dijelaskan bahwa sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti selama tidak dapat dibuktikan sebaiknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sertifikat hak atas tanah merupakan :

  • 1.    Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yakni Kepala Kantor Pertanahan;

  • 2.    Maksud isi tulisan sertifikat intinya berisi jenis hak;

  • 3.    Tulisan itu ditujukan kepada orang, sekumpulan orang atau badan hukum sebagai pemegang hak atas tanah.

Sertifikat itu sendiri mempunyai kekuatan berlaku, yang menurut Adrian Sutedi, mengenai kekuatan berlakunya sertifikat sangat penting setidak-tidaknya karena beberapa hal yaitu :

  • 1.    Sertifikat memberikan kepastian hukum pemilikan tanah bagi orang yang namanya tercantum dalam sertifikat. Penerbitan sertifikat dapat mencegah sengketa tanah.

  • 2.    Pemberian sertifikat dimaksudkan untuk mencegah sengketa kepemilikan tanah.

  • 3.    Dengan pemilikan sertifikat pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

  • 4.    Sertifikat tanah mempunyai nilai ekonomi.31

Sebagai alat pembuktian yang kuat dalam bukti pemilikan, sertifikat menjamin kepastian hukum mengenai orang yang namanya tercantum menjadi pemegang suatu hak atas tanah, kepastian hukum mengenai letak dan lokasi dari tanahnya, batas serta luas suatu bidang tanah serta kepastian hukum mengenai hak atas tanah pemiliknya yang tercantum dalam sertifikat sepanjang data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat adalah sama dengan data fisik dan data yuridis yang ada dalam buku tanah yang tersimpan pada kantor pertanahan setempat. Dengan kepastian hukum tersebut dapat diberikan perlindungan hukum kepada orang yang tercantum namanya dalam sertifikat dari ganggungan pihak lain serta menghindari sengketa dengan pihak lain. Jaminan kepastian hukum bagi yang namanya tercantum dalam sertifikat tidak hanya ditujukan terhadap orangnya sebagai pemilik tanah, tetapi juga merupakan kebijakan pemerintah    dalam   menciptakan    tertib

administrasi pertanahan yang meletakkan kewajiban    kepada    pemerintah    untuk

melaksanakan pendaftaran tanah-tanah yang ada di seluruh Indonesia. Urip Santoso mengemukakan ada 2 (dua) macam sifat pembuktian sertifikat sebagai tanda bukti hak yaitu :

31Adrian Sutedi, op.cit., hal. 2.


  • 1.    Sertifikat sebagai tanda bukti hak yang bersifat kuat.

  • 2.    Sertifikat sebagai tanda bukti hak yang bersifat mutlak.32

Menurut Adrian Sutedi bahwa kepastian hukum yang diperoleh dari sertifikat mengandung makna bahwa hukum hanya memberikan jaminan     atas bukti hak

kepemilikan tersebut kepada seseorang. Hukum bukan memberikan hak kepemilikan, sehingga sering masih dianggap kurang melindungi pemiliknya seakan bukti hak itu hanya mengokohkan seserorang dengan tanahnya saja, seharusnya selain pendaftaran tanah itu memberikan hak kepada seseorang pemilik tanah juga harus mengokohkannya sebagai pemegang hak yang ada.33

Sertifikat yang diperoleh dalam pendaftaran hak atas tanah diharapkan akan memberikan kekuatan akan berlakunya, karena sertifikat sangat penting dalam hal :

  • 1.    Sertifikat memberikan kepastian hukum bagi mereka yag namanya tercantum dalam sertifikat;

  • 2.    Pemberian sertifikat ditujukan untuk mencegah terjadinya sengketa lahan;

  • 3.    Pemilik sertifikat dapat melakukan tindakan hukum atas objek yang tercantun dalam sertifikat sepanjang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.34

Agar kepastian hukum atas sertifikat komunal diperoleh, maka sejak awal permohonan harus sudah memenuhi aturan-aturan yang ditentukan, karena setiap proses akan mempunyai dampak hukum atas hasil sertifikat yang diperoleh sebagai hasil akhir dari permohonan hak komunal. Namun tidak pentingnya untuk diperhatikan adalah kepemilikan    sertifikat    tanpa    dibekali

pengetahuan    tentang    kegunaan dan

kemungkinan penyalahgunaannya, dapat menimbulkan permasalahan lain di luar kepastian hukum dari sertifikat itu sendiri. Adanya sertifikat sebagai hasil akhir pendaftaran hak atas tanah, diharapkan sesai degan teori kemanfaatan akan memberikan manfaat atau kebahagiaan, di mana penanganannya didasarkan pada filsafat sosial bahwa warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukummeruakan salah satu alatnya.

Berkaitan dengan bukti kepemilikan hak komunal, Pasal 18 ayat (2) Permen Nomor menetapkan bahwa Penetapan Masyarakat Hukum    Adat    melalui    Keputusan

Bupati/Walikota atau Gubernur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala Kantor Wilayah BPN untuk ditetapkan dan didaftarkan hak komunal atas tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat. Ketidakpastian ini

menurut Noer Fauzi Rachman bahwa masalah ketidakpastian hak Masyarakat Hukum Adat atas wilayah adatnya dalam Hukum Agraria Indonesia, belum menemukan solusinya, baik pada tataran kebijakan hingga instrumen pemerintahan. Penguasaan Masyarakat Hukum Adat atas keseluruhan wilayah adat yang disebut “hak ulayat” dalam Pasal 3 UUPA, dikatagorikan bukanlah sebagai suatu hak atas tanah yang dapat diadministrasikan melalui pendaftaran tanah dan pemerintah tidak menyediakan suatu layanan yang dapat memberikan kepemilikan tertentu.35

Dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 tidak ditemukan pengaturan secara khusus mengenai tujuan diberikannya kepastian hukum kepada pemohon hak komunal. Menurut Kurnia Warman, Beberapa pasal dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 berpotensi tidak terjaminnya kepastian hukum hak komunal dan ada beberapa kelemahan-kelemahan yang dapat menjadi pemicu adanya permasalahan dalam pengajuan permohonan menurut analisa peneliti, antara lain:

  • 1.    Ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a Permen Nomor 10 Tahun 2016 dikaitkan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 mengenai minimal jangka waktu penguasaan tanah yang dimohonkan hak komunal oleh masyarakat yang berada dalam Kawasan tertentu sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun berturut-turut dan tidak ada ditentukan adanya itikad baik, sedangkan dalam Pasal 24 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat :

  • a.    penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

  • b.    penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

  • 2.    Pasal 19 yang menyatakan bahwa :

“Pendaftaran hak komunal atas tanah untuk Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu atau hak komunal lainnnya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran tanah. “

  • 35 Noer Fauzi Rachman, loc.cit.

Dari ketentuan di atas dapat dikelompokkan ada 3 jenis hak komunal yaitu:

  • a.    Hak komunal untuk Masyarakat Hukum Adat;

  • b.    Hak komunal untuk masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu (dalam Pasal 1 angka 2 Permen Nomor 10 Tahun 2016 dimaksudkan adalah kawasan hutan dan perkebunan);

  • c.    Hak komunal lainnnya. Hak komunal lainnya yang dimaksudkan di sini tidak ditemukan      penjelasannya      atau

pengaturannya secara lebih khusus lagi dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016. Hal ini akan berdampak timbulnya penafsiran yang berbeda bagi pemohon pendaftaran hak komunal yang tidak termasuk dalam nomor 1 dan nomor 2 di atas, karena berkaitan dengan subjek hak atas tanah yang dapat mengajukan hak komunal;

  • 3.    Pasal 23 ayat (1) yang menyatakan bahwa hak komunal Masyarakat Hukum Adat peralihannnya berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku pada Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan; Terdapat tumpang tindih mengenai pengaturan peralihan haknya, di mana Pasal 19 bahwa perdaftaran hak komunal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ( dalam hal ini PP Nomor 24 Tahun 1997), dalam hal ini melalui Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, maupun Kantor Wilayah setempat sedangkan dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 didasarkan pada ketentuan hukum adat yang bersangkutan. Dari penjelasan ini nampak Permen Nomor 10 Tahun 2016 sendiri masih belum sejalan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 yang ketentuannya dipergunakan dalam proses pendaftaran hak komunalnya.

  • 4.    Pasal 24 yang menyatakan bahwa (a) Masyarakat Hukum Adat dan hak atas tanahnya yang sudah ada dan telah ditetapkan sebelum peraturan ini berlaku, tetap sah dan dapat diberikan hak komunal atas tanahnya. Dan (b) proses penetapan Masyarakat Hukum Adat dan hak atas tanahnya yang sedang dilaksanakan sebelum berlakunya peraturan ini dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan sebelum berlakunya peraturan ini. Melihat apa yang dirumuskan dalam pasal ini, maka yang termasuk hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah yang telah ada meliputi pula hak ulayat serta hak komunal yang telah diterima berdasarkan Permen Nomor 9 Tahun 2015 yaitu berupa sertifikat hak komunal atas tanah.

  • 5.    Antara Pasal 20 dan 21 terdapat kontradiktif, di mana dalam Pasal 20 ditentukan bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanahnya dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 21 ditentukan bahwa hak komunal wajib dikerjakan dan

diusahakan sendiri oleh masyarakat dan hutan wajib menjaga kelestarian hutan di sekitarnya.

Permen Nomor 10 Tahun 2016 apabila dikaitkan dengan Pasal 16 ayat (1) h UUPA yang mensyaratkan dalam bentuk undang-undang, dilihat dari kaidah nonkontradiksi dan kaidah derivatif, keberadaan Permen Nomor 10 tidak terpenuhi, karena tidak mengacu pada ketentuan Pasal 16 UUPA sebagai Hukum Pertanahan yang berlaku di Indonesia dan apabila dikaitkan sebagai sebuah sistem secara keseluruhan, antara Pasal 16 ayat (1) h UUPA dengan Permen Nomor 10 Tahun 2016 belum berada pada satu garis lurus dilihat dari produk hukumya, walaupun nilai sosiologis yang disyaratkan telah terpenuhi, bahwa Permen ini diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) serta dilihat dari nilai filosofis artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi, meskipun untuk ini masih perlu menunggu hasil keberadaannya karena Permen Nomor 10 Tahun 2016 berlaku dalam waktu yang relatif baru, serta apabila dicermati dengan seksama masih ada pasal-pasal yang saling kontrakdiktif dengan pasal lainnya maupun dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 yang dipergunakan sebagai dasar dalam pendaftaran hak komunalnya, dengan berdasarkan analisis dari dasar hukum terbitnya, kajian pasal-pasalnya serta dikaitkan dengan aturan pendaftaran tanah yang dijadikan dasar permohonan hak komunalnya, dapat dikatakan bahwa sertifikat hak komunal     belum

memberikan jaminan kepastian hukum yang sama dengan sertifikat hak atas tanah sesuai dengan jenis hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA, mengingat dalam tahapan yang harus dilalui oleh pemohon hak komunal masih banyak terdapat ruang yang menimbulkan ketidakpastian yang akan berimbas pada sertifikat sebagai hasil dari pendaftaran hak komunal itu sendiri. Demikian pula terhadap sertifikat hak komunal yang telah diterbitkan berdasarkan ketentuan dalam Permen Nomor 9 Tahun 2015.

PENUTUP a. Simpulan

Berdasarkan pada`pemaparan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu :

  • 1.    Hak komunal sebagaimana diatur dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016, belum memberikan jaminan kepastian hukum apabila ditinjau dari Pasal 16 ayat (1) h UUPA, karena hak komunal ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN berbeda dengan pengaturan hak atas tanah yang dikenal sebelumnya dalam UUPA, serta tidak termasuk dari salah satu dasar

terbitnya jenis hak-hak atas tanah lain yang dikenal dalam Pasal 16 UUPA.

  • 2.    Sertifikat Hak komunal      belum

memberikan jaminan kepastian hukum yang sama dengan sertifikat atas jenis hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA, selain karena terbitnya hak komunal didasarkan pada Peraturan Menteri, juga terdapat perbedaan syarat pendaftaran haknya antara Permen Nomor 10 Tahun 2016 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berlaku pula atas permohonan hak komunal berdasarkam Pasal 19 Permen Nomor 10 Tahun 2016.

  • b. Saran-Saran

Berdasarkan pada pemaparan, pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat maka untuk dapat mencapai tujuan dari penelitian ini dapat diberikan saran-saran sebagai berikut :

  • 1.    Pemerintah perlu segera mengajukan usulan kepada DPR RI dalam rangka memberi DAFTAR

kepastian hukum akan keberadaan Hak komunal yang dapat dimiliki oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat maupun Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu, sehingga peraturan perundangan yang menjadi dasar terbitnya hak komunal mempunyai dasar hukum yang sama kuat dengan jenis-jenis hak-atas tanah lain yang diatur dalam UUPA.

  • 2.    Pemerintah hendaknya melakukan sosialisasi secara rutin kepada masyarakat mengenai keberadaan hak komunal, mengingat tanah-tanah adat yang ada di Indonesia jumlahnya cukup banyak, namun masih belum dibarengi dengan kemampuan masyarakat untuk memahami tata cara permohonannya, sehingga partisipasi masyarakat untuk mensertifikatkan tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat mencapai hasil yang maksimal.

    PUSTAKA


A.P. Parindungan, 2015, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria, Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan III),

Asshiddiqie, Jimly, 2008, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Sorisi, Arming, Lex Administratum, Vol. 39/No. 7/Sep/2015, available from :URL : http://www.journal.Unsrat.ac.id, diakses tanggal 20 Pebruari 2016.

Limbong, Bernhard, 2014, Politik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta.

Boedi Harsono, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta

H.M. Arba, Penguatan Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Guna Restorasi Sosial Indonesia”, Round Table Discussion dalam rangka Ketahanan Nasional, Lemhanas, 1 Juni 2016.

Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, 2010, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi), Salemba Humanika, Jakarta

Herman Soesangobeng, 2004, “The Possibility and Mode of Registering Adat Title on Adat Land”, Paper for 3rd FIG Regional Conference in Jakarta, 3-4 October

I Gede Yusa , “ Identification And Analysis Of The Rights Of Indigenous Peoples In The Study Of Constitutional Law, 2016 ” Constitutional Review Volume 2,

Number 1, The Constitutional Court Of The Republic of Indonesia, Jakarta

Bamba, John, 2006, Pola Hubungan Struktural Antara Kolektivitas Masyarakat Hukum Adat Di Tingkat Desa dengan Suku Bangsa Induknya dari Perspektif Suku Bangsa.

Maria S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan ( Antara Regulasi dan Implementasi), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, (selanjutnya disebut Maria S.W. Sumardjono I)

Rachman, Noer Fauzi, 2015, “Masyarakat Hukum Adat Dan Hak komunal AtasTanah ”, Digest Epistema (Berkala Isu Hukum Dan Keadilan Sosial), Volume 6/2016, Jakarta.

Nurul Hermansyah, 2015, “Jauh Panggang Dari Api: Menyoal Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek Hak Komunal”, Digest Epistema (Berkala Isu Hukum Dan Keadilan Sosial), Volume 5/2015 Dan Volume 6/2016, Jakarta.

Owen J.Lynch and Kirk Talbott, 1995, Balancing Act : Community-Based Forest Management and National Law in Asia and The Pacific, Work Resources Institute, hal. 122.

Effendie Lotulung, Paulus, 1994, Himpunan Makalah Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Pide , A. Suriyaman Mustari, 2014, Hukum Adat, Dahulu, Kini Dan Akan Datang, Cetakan I, Jakarta

Supriyadi, 2007, Hukum Agraria, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta

Sutedi, Adrian, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar

Grafika, Jakarta.

Santoso, Urip, 201 0, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Cet ke 3, Kencana Prenada Media Group, Surabaya.

Windia, Wayan P., 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Cetakan Kedua, Kerjasan Swastu Nulus dengan “Bali Shanti” Pusat Pelayanan Konsultasi Adat dan Budaya Bali LPPM Unud dan Puslit Hukum Adat LPPM Unud

*****                     Acta Comitas (2017) 1 : 42 – 57

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

HAK PAKAI ATAS RUMAH HUNIAN WARGA NEGARA ASING DALAM PERKAWINAN CAMPURAN TANPA PERJANJIAN KAWIN

Oleh

Eddy Nyoman Winarta*

NIM: 1592461015

Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana e-mail : eddywinarta@yahoo.co.id

Pembimbing I : Prof. Dr. I Gst, Ngr. Wairocana, SH., MH.**

MH.


Pembimbing II: Dr. I Made Sarjana, SH.,    ***

Abstrak

Di Indonesia peraturan mengenai pertanahan diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, dimana dalam UUPA diatur mengenai larangan atas kepemilikan tanah hak milik bagi orang asing. Sebagai solusi untuk memenuhi keinginan dari orang asing (WNA) untuk memiliki rumah dan tanah di Indonesia, Pemerintah telah mengaturnya dalam Pasal 41 dan Pasal 42 UUPA) dan diatur secara lebih khusus lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia. Peraturan Pemerintah ini salah satunya mengatur pemilikan rumah tempat tinggal untuk pasangan perkawinan campuran.

Berdasarkan kondisi tersebut, isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah pengaturan Hak Pakai atas Rumah Hunian bagi Warga Negara Asing yang melakukan perkawinan campuran?; dan (2) Bagaimanakah akibat hukum dari perkawinan campuran terhadap tanah yang telah dimiliki atas nama Warga Negara Indonesia tanpa membuat perjanjian kawin sebelumnya?

Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan teknik studi kepustakaan. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif , interpretatif, evaluatif dan argumentatif analisis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pengaturan hak pakai atas tanah bagi Warga Negara Asing yang melakukan perkawinan campuran, jika mereka menikah dengan perjanjian perkawinan maka Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya, hak atas tanah ini bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris. Sebaliknya, apabila pasangan perkawinan campuran tersebut tidak memiliki perjanjian perkawinan maka harta yang dimiliki selama perkawinan menjadi harta bersama pasangan tersebut, pihak Warga Negara Asing ikut memiliki setengah dari harta tersebut; dan (2) Akibat hukum bila dalam perkawinan campuran telah memiliki tanah atas nama warga negara Indonesia tanpa membuat perjanjian kawin sebelumnya, yang dalam hal ini tidak ada pemisahan harta, maka bagi Warga Negara Indonesia yang sudah memiliki tanah dengan status Hak Milik, dalam masa setahun perkawinannya harus melepaskan Hak Miliknya menjadi tanah negara dan kemudian mengajukan permohonan kembali untuk dijadikan Hak Pakai.

Kata Kunci: Kepemilikan Tanah, Orang Asing, Perkawinan Campuran.

Abstract

In Indonesia regulations on land use set forth in the Law of Agrarian Tree (UUPA ) No . 5 Year 1960 , in which arranged UUPA prohibition on ownership of land ownership for foreigners. As a solution to fulfill the wish of foreigners to have a house and land in Indonesia, the Government had already set in Article 41 and Article 42 of UUPA and more specifically regulated in Government Regulation No. 41 Year 1996 which was then replaced by Government Regulation No. 41 Year 1996 on Ownership of Dwelling or Residential by Foreigners Domiciled in Indonesia. This Government Regulation one of which regulated ownership of dwelling house for couples of intermarriages.

Based on that condition, the legal issues raised in this research are (1) How the regulation of Right of Used of residential by foreigners who carry out inter

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2016-2017

42