Acta Comitas (2016) 1 : 65 – 76

ISSN : 2502-8960 I e-ISSN : 2502-7573

KESAKSIAN NOTARIS MENGENAI AKTA PERJANJIAN KREDIT BERKAITAN DENGAN RAHASIA JABATAN NOTARIS DALAM PERADILAN PIDANA

Oleh

I Gusti Ayu Made Semilir Susila*, Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum**, Dr. Gde Made Swardhana,SH.,MH**

Magister Kenotariatan Universitas Udayana E-mail : semilirsurabi@yahoo.com

ABSTRACT

EVIDENCE OF NOTARY REGARDING BANK CREDIT AGREEMENT DEED IN ACCORDANCE WITH POSITION SECRET OF NOTARY IN CRIMINAL JUDICATURE

Notary in performing his position must be able to keep the trust given by the parties in the form of notary position secret as set out in Law Number 30 Year 2004 and Law Number 2 Year 2014. Notary gives his service in many fields of civil law, including in banking field. Banking institution in performing its business activity is also obliged to keep its customer secret in the form of bank secret, as set out in Law Number 10 year 1998. Notary ’s position in the case of giving his service to make bank credit agreement deed does not set clearly in Banking Law. Later this also causes unclear thing in limiting notary’s responsibility in giving evidence regarding credit agreement deed in the case that the bank has been excluded for the interest of criminal judicature.

The type of this research is normative law research which starts from the existence of haziness regarding notary position in Banking Law and its amendment, and norm haziness regarding notary responsibility in giving evidence about credit agreement deed in criminal judicature. This research uses law, conceptual, and historical approach. The law material used in this research is primary law material, secondary law material, and tertiary law material. The law material collection technique used is literature study.

The result shows that notary in giving his service to make bank credit agreement deed has position as affiliated party. It brings consequence that notary responsible to keep the things set as bank secret. In his position as witness in criminal judicature, notary responsible and shall to give evidence related to the things set in the beginning or head of the deed and the things related to the making process of a bank credit agreement deed to be able to be said as authentic deed that has perfect verification authority, but notary does not responsible in giving evidence in accordance with the things including bank secret category.

Key words: Notary Evidence, Credit Agreement Deed, Notary Position Secret, Criminal Judicature

BAB I. PENDAHULUAN

  • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Notaris sebagai pejabat yang berwenang dalam ranah ranah hukum berkewajiban    untuk    mendukung

kelancaran proses hukum baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses hukum yang dimaksud selain proses dalam bidang hukum perdata, khususnya hukum pembuatan akta otentik, juga

proses hukum yang terkait dengan proses peradilan, baik peradilan perdata maupun peradilan pidana.

Notaris memiliki kewenangan membuat akta otentik secara umum, termasuk berwenang untuk membuat akta perjanjian kredit bank. Sebagai pihak yang memberikan jasa membuat akta otentik kepada bank, notaris tunduk pula kepada beberapa ketentuan perundang-undangan tentang perbankan.

Dalam hal terjadi perkara pidana yang terkait dengan akta perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan-P), rahasia bank mengenai nasabah yang bersangkutan dapat dibuka. Hal ini dapat berarti bahwa notaris sebagai pihak yang membuat akta perjanjian kredit tersebut dapat dimintai keterangannya dalam proses peradilan pidana.

Notaris dapat dipanggil sebagai saksi dalam proses peradilan pidana oleh jaksa, hakim, maupun pihak-pihak lain yang terkait dengan proses tersebut, dalam hal dianggap perlu dan terkait dengan akta yang dibuatnya. Keberadaan notaris sebagai saksi terkait dengan jabatannya yang berkaitan dengan ranah hukum yang wajib mendukung proses hukum dalam peradilan, tentu bukan merupakan suatu masalah. Demikian pula dalam hal notaris memberikan jasanya kepada bank. Namun notaris memiliki sisi lain

dalam kedudukannya sebagai pejabat umum yang memiliki kewajiban untuk menjaga kerahasiaan isi akta yang dibuatnya beserta keterangan yang diperoleh selama proses pembuatan akta tersebut.

Permasalahan kemudian timbul karena dalam proses peradilan pidana yang dicari adalah kebenaraan materiil. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa notaris wajib memberikan kesaksian mengenai apa yang dilihat dan diketahui mengenai suatu peristiwa.

Dalam hal tersebut terkesan bahwa seorang notaris bisa memberitahukan isi akta dan hal-hal yang berkaitan dengan akta tersebut kepada pihak yang berkepentingan terhadapnya dalam peradilan pidana. Padahal sesungguhnya notaris memiliki instrumen berupa kewajiban ingkar dan hak ingkar yang melekat pada jabatannya, hanya saja pengaturannya masih kabur.

Notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh selama proses pembuatan akta, kecuali undang-undang memerintahkan bahwa notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan terkait dengan akta tersebut. Baik UUJN dan UUJN-P maupun UU Perbankan dan perubahannya pada dasarnya sejalan dalam mengatur mengenai kerahasiaan hal-hal yang berkaitan dengan keadaan keuangan nasabah yang sekaligus juga merupakan pihak dalam akta notaris. Namun peraturan perundang-undangan tersebut belum memberikan pengaturan yang jelas mengenai tanggung jawab notaris dalam memberikan kesaksian mengenai akta perjanjian kredit yang dibuatnya dalam peradilan pidana. Dengan melihat permasalahan-permasalahan tersebut maka Penulis terdorong untuk mengangkat masalah ini ke dalam Penelitian Hukum yang berjudul “KESAKSIAN NOTARIS MENGENAI AKTA PERJANJIAN KREDIT BERKAITAN RAHASIA JABATAN NOTARIS DALAM PERADILAN PIDANA”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Apakah kedudukan notaris dalam membuat akta perjanjian kredit adalah merupakan pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam UU Perbankan dan perubahannya?

  • 2.    Bagaimana tanggung jawab notaris dalam memberi kesaksian mengenai akta perjanjian kredit yang dibuatnya dalam peradilan pidana?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

  • 1.3.1.    Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk      mengembangkan      ilmu

pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum Kenotariatan mengenai kesaksian notaris mengenai akta perjanjian kredit berkaitan dengan rahasia jabatan notaris dalam peradilan pidana.

  • 1.3.2.    Tujuan khusus

Penulisan ini bertujuan khusus untuk mengkaji dan menganalisis lebih dalam mengenai kedudukan notaris dalam membuat akta perjanjian kredit terkait dengan UU Perbankan dan perubahannya serta untuk mengkaji dan menganalisis mengenai tanggung jawab notaris dalam memberikan kesaksian mengenai akta perjanjian kredit yang dibuatnya dalam peradilan pidana.

  • 1.4.    Manfaat Penelitian

    • 1.4.1.    Manfaat teoritis

Hasil penulisan ini secara teoritis diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Kenotariatan mengenai kedudukan notaris dalam membuat akta perjanjian kredit terkait dengan UU Perbankan dan perubahannya serta tanggung jawab notaris dalam memberikan kesaksian untuk

kepentingan peradilan pidana mengenai akta-akta yang dibuat antara pihak bank dan nasabahnya.

  • 1.4.2.    Manfaat praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pihak yang terkait pembahasan tesis ini. Bagi penulis sendiri diharapkan dapat menambah wawasan mengenai kedudukan notaris dalam membuat akta perjanjian kredit bank serta tanggung jawab notaris dalam memberikan kesaksian terkait akta tersebut dalam peradilan pidana. Bagi Notaris, hasil penulisan ini diharapkan manambah pemahaman notaris dalam menjalankan perannya sebagai pihak yang memberikan jasa kepada bank dan juga pemahaman sebagai saksi untuk kepentingan peradilan pidana mengenai akta perjanjian kredit bank. Bagi akademisi, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan referensi dalam mengembangkan ilmu hukum yang berkaitan dengan kedudukan notaris dalam UU Perbankan dan kesaksian notaris dalam peradilan pidana.

  • 1.5.    Landasan Teoritis

Landasan teoritis merupakan upaya untuk    mengidentifikasi    teori-teori

hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, serta pendapat sarjana dalam rangka mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsensus yang diperoleh dari

rangkaian upaya penelusuran. 1 Beberapa teori hukum, konsep hukum, dan asas hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • 1.    Asas kepastian hukum

Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-

1Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal. 58.

undang   melainkan   juga   adanya

konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan. 2 Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena dapat memberikan pengaturan secara jelas dan logis.

  • 2.    Teori kewenangan

Menurut S.F. Marbun wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.3 Wewenang atau kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan    kepada    suatu   jabatan

berdasarkan   peraturan   perundang-

undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. 4

  • 3.    Teori pertanggungjawaban

Teori         pertanggungjawaban

menjelaskan     bahwa     seseorang

bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum. Ini berarti bahwa dia bertanggung jawab

2Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal. 158. (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I).

3H. Sadjijono, 2011, Bab-bab Pokok Administrasi, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal 57.

atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang dilakukan itu bertentangan. 5 4. Teori perlindungan hukum

Hukum   mengatur   hak   dan

kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. 6 Fitzgerald menjelaskan bahwa teori pelindungan hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan           berbagai

kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. 7

5. Teori kemanfaatan (utilitarianisme theory)

Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, berfaedah atau berguna, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Aliran ini memberikan suatu norma bahwa baik buruknya suatu tindakan dinilai dari akibat perbuatan itu sendiri. Tingkah laku yang baik adalah yang menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat buruknya. 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu meneliti bahan pustaka

5Hans Kelsen, 2007, (General Theory of

Law & State), Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Diterjemahkan oleh Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta, hal. 81. (Selanjutnya disebut Hans Kelsen I).

6Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 69.

7Ibid, hal. 53.

atau data sekunder. 8 Jenis penelitian normatif digunakan dalam penelitian ini karena penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan norma mengenai kedudukan notaris dalam membuat akta perjanjian kredit terkait dengan UU Perbankan dan perubahannya, dan juga kekaburan   norma   yang   mengatur

tanggung    jawab    notaris    dalam

memberikan kesaksian mengenai akta perjanjian kredit terkait rahasia rahasia jabatan notaris dalam peradilan pidana. 1.6.2. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang diterapkan untuk membahas permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut pendekatan undang-undang (statute   approach), pendekatan konseptual

(conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). 1.6.3. Sumber bahan hukum

Sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

  • 1.    Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat.9 Dalam penelitian ini digunakan bahan hukum primer sebagai berikut: - Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

  • -    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer);

  • -    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

  • -    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

  • -    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

  • -    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan;

  • -    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;

  • -    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

  • 2.    Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berasal dari literatur-literatur, buku-buku (text book) yang berkaitan dengan hukum pidana dan hukum kenotariatan, dan sebagai penunjang didapat dari bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil karya dari kalangan hukum, hasil penelitian, dan seminar.

  • 3.    Bahan hukum tertier

Bahan hukum ini yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya kamus dan ensiklopedia.10

  • 1.6.4.    Teknik pengumpulan bahan hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi kepustakaan (library research). Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas yang kemudian dilakukan klasifikasi guna memudahkan pencarian dalam meneliti.

  • 1.6.5.    Teknik analisis bahan hukum

Teknik analisa yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, dilakukan dengan langkah-langkah deskriptif dan interpretasi. Teknik interpretasi (penafsiran) yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah interpretatif gramatikal (tata

  • 10Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit. , hal.13.

bahasa), interpretasi ekstentif, dan interpretasi sistematis

BAB II PEMBAHASAN

  • A. Kedudukan    Notaris    Dalam

Membuat Akta Perjanjian Kredit

Bank   dalam   Undang-Undang

Perbankan

Notaris merupakan pejabat umum yang   memiliki   wewenang   yang

diberikan secara khusus oleh peraturan perundang-undangan untuk keperluan dan fungsi tertentu. 11 Wewenang notaris sebagai rekanan bank dalam membuat perjanjian kredit sesuai dengan UUJN maupun UUJN-P antara lain:

  • a.    wewenang untuk membuat akta perjanjian kredit dan akta-akta lainnya sebagai perjanjian tambahan dari perjanjian kredit (Pasal 15 ayat (1) UUJN-P); dan

  • b.    wewenang untuk melegalisasi (pasal 15 ayat

  • (2) UUJN-P).

Selain berwenang membuat akta perjanjian    kredit,    notaris    juga

berwenang membuat akta-akta lainnya yang merupakan perjanjian tambahan dari akta perjanjian kredit. Akta-akta tambahan tersebut merupakan satu kesatuan dengan perjanjian utamanya, yaitu perjanjian kredit. Perjanjian tambahan yang dimaksud misalnya perjanjian pengikatan jaminan.

Bentuk perjanjian kredit sendiri adalah bebas, asalkan berupa perjanjian tertulis. Perjanjian kredit dapat berupa perjanjian di bawah tangan maupun perjanjian yang dibuat dihadapan notaris. Sifat otentik akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi para pihak.

  • 11Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata Dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, hal 17. (Selanjutnya disebut Habib Adjie III).

Sebagai akta otentik, maka perjanjian kredit yang dibuat di hadapan notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Hal ini berdasarkan pada :

  • 1.    kekuatan pembuktian lahir atau diri (uitwendige bewijskracht);

  • 2.    kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht); dan

  • 3.    kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht).

Notaris bertanggung jawab atas kebenaran, keakuratan dan kelengkapan dokumen perjanjian kredit yang dibuatnya. Notaris juga bertanggung jawab dalam hal terjadi kebocoran rahasia bank, baik yang dilakukan oleh notaris maupun pegawai atau karyawannya.

Pemberian kredit dalam perbankan pada umumnya dilakukan dengan dua perjanjian. Perjanjian pertama adalah perjanjian pokok yang merupakan perjanjian yang mendasari atau mengakibatkan dibuatnya perjanjian lain12. Perjanjian kedua adalah perjanjian accessoir atau perjanjian tambahan atau perjanjian turutan, yaitu perjanjian yang dibuat berdasarkan atau berkaitan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok. Perjanjian accessoir timbul karena adanya perjanjian pokok yang mendasarinya.13 Dalam perbankan, yang menjadi perjanjian pokok adalah perjanjian kredit, sementara perjanjian tambahannya adalah perjanjian

  • 12Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan ke V, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 510.

  • 13M. Bahsan, 2008, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 133.

pengikatan jaminan yang timbul akibat adanya perjanjian kredit.

Sehubungan dengan pengikatan jaminan dalam praktik perbankan dapat dilakukan dengan cara antara lain:

  • 1.    pengikatan jaminan kredit melalui lembaga jaminan;

  • 2.    pengikatan jaminan yang tidak memenuhi    ketentuan    lembaga

jaminan; dan

  • 3.    pengikatan jaminan kredit yang tidak    menggunakan    lembaga

jaminan.

Pengikatan jaminan kredit yang tidak melalui lembaga jaminan misalnya dilakukan terhadap objek jaminan yang berupa deposito. Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan     perjanjian     nasabah

penyimpan dengan bank.

Perjanjian kredit dengan jaminan deposito ini jika dibuat dalam bentuk akta yang dibuat dihadapan notaris, maka pengikatan jaminan ini juga tercantum dalam akta otentik tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya dalam pembuatan jaminan kredit tidak hanya mengetahui mengenai perjanjian kredit dan hal-hal yang terkait dengan kredit, melainkan mengetahui pula hubungan bank dengan nasabahnya selaku pemilik deposito. Hal tersebut berarti bahwa keterangan nasabah bank selaku nasabah debitor juga dijelaskan kepada notaris dalam rangka pembuatan akta perjanjian kredit tersebut.

Sebagai pemberi jasa kepada bank, maka notaris termasuk ke dalam pihak terafiliasi dalam UU Perbankan dan perubahannya. Hal ini diatur dalam

ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbankan-P yang menetapkan: Pihak Terafiliasi adalah:

  • a.    anggota Dewan Komisaris, pengawas, Direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank;

  • b.    anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

  • c.    pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;

  • d.    pihak yang menurut perdamaian Bank

Indonesia            turut            serta

mempengaruhipengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi. keluarga Pengurus.

Ketentuan ini tidak menyebutkan secara jelas bahwa profesi notaris sebagai pihak terafiliasi. Namun dengan interpretasi gramatikal dan ekstentif terhadap ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa notaris termasuk pihak terafiliasi.

Rahasia bank berkaitan dengan nasabah    penyimpan    dan    juga

simpanannya,     sedangkan     dalam

memberikan jasa   membuat   akta

perjanjian kredit,  maka kedudukan

nasabah adalah sebagai nasabah peminjam dan hal yang diatur dalam perjanjian   kredit   adalah mengenai

pinjaman. Namun dalam hal membuat akta perjanjian kredit dengan jaminan deposito, maka kedudukan nasabah adalah sebagai nasabah peminjam sekaligus sebagai nasabah penyimpan. Berdasarkan Pasal 40 dan penjelasan dari Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan-P

yaitu bahwa apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga nasabah debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Dengan demikian, notaris yang memberikan jasanya kepada bank dalam membuat akta perjanjian kredit antara bank dengan nasabah peminjam yang sekaligus      merupakan      nasabah

penyimpan    dana    wajib    tetap

merahasiakan    keterangan    tentang

nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan.

Notaris yang memberikan jasanya dalam pembuatan akta perjanjian kredit dengan jaminan    deposito termasuk

pihak terafiliasi yang wajib menjaga rahasia bank. Segala keterangan yang diperoleh oleh notaris selama proses pembuatan akta perjanjian kredit bank, terutama yang mengenai kedudukuan nasabah sebagi penyimpan, yaitu informasi mengenai nasabah dan simpanannnya harus dirahasiakan oleh notaris dalam kedudukannnya sebagai pihak terafiliasi. Dalam hal notaris lalai dalam melakukan tugasnya menjaga rahasia bank, maka notaris yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sebagaimana    diatur    dalam   UU

Perbankan dan perubahannya yang berupa    ancaman    pidana    secara

akumulatif. 14

  • B. KESAKSIAN         NOTARIS

MENGENAI AKTA PERJANJIAN KREDIT DALAM PERADILAN PIDANA

Akta otentik yang dibuat oleh dan/atau dihadapan notaris berlaku

sebagai alat bukti yang dapat digunakan dalam persidangan, baik perdata maupun pidana. Namun keberadaan akta otentik sebagai alat bukti dalam kedua sistem peradilan tersebut memiliki nilai pembuktian yang berbeda. Dalam bidang perdata, yang dicari adalah kebenaran formal. Hal ini berarti bahwa akta otentik yang merupakan produk hukum seorang notaris memiliki nilai pembuktian yang sempurna.

Berbeda halnya dengan bidang hukum pidana yang bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. Dalam rangka menemukan kebenaran materiil, maka sistem pembuktian yang digunakan dalam peradilan pidana memiliki kekhususan. Sistem peradilan pidana di Indonesia menggunakan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secaara negatif (negative wettelijk). Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian berganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim itu bersumber pada undang-undang.

Dengan adanya prinsip bahwa hukuman dapat dijatuhkan harus memenuhi dua syarat, maka selain pembuktian dapat dilakukan dengan akta perjanjian kredit itu sendiri, diperlukan pula alat bukti lain yang berupa kesaksian dari notaris yang bersangkutan. Alat bukti yang sah (wettige bewijsmiddelen) dan keyakinan hakim (overtuiging des rechters) adalah dua hal yang saling terhubung, artinya

syarat yang terahir terlahir dari syarat yang pertama, sehingga diperoleh

keyakinan yang sah. Hakim tidak hanya akan melihat apa yang terurai dalam akta tersebut, hakim akan mencari alat bukti lain berupa keterangan saksi guna melihat kebenaran materiil atas peristiwa hukum yang terjadi agar ditemukan fakta-fakta hukum di persidangan. Akta perjanjian kredit bank yang merupakan akta otentik, memiliki kebenaran formil dalam hal diajukan sebagai alat bukti dalam peradilan pidana. Guna memperkuat keyakinan hakim, maka kesaksian notaris juga akan sangat diperlukan dalam hal terjadi perkara pidana yang terkait dengan akta perjanjian kredit bank tersebut. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mencari kebenaran materiil yang diperlukan dalam suatu peradilan pidana.

Kewajiban untuk menjaga kerahasiaan informasi para pihak pembuat akta pada dasarnya melekat dalam jabatan notaris. Secara umum, mengenai rahasia jabatan diatur baik dalam KUHP, KUHPerdata dan KUHAP. Telah menjadi asas hukum publik bahwa seorang pejabat umum sebelum menjalankan jabatannya dengan sah harus terslebih dahulu mengangkat sumpah (diambil sumpahnya). Selama hal tersebut belum dilakukan, maka jabatan itu tidak boleh atau tidak dapat dijalankan dengan sah. 15 Salah satu isi dalam sumpah tersebut adalah untuk menjaga rahasia jabatan. Hal serupa juga diatur dalam beberapa pasal dalam UUJN dan perubahannya. Pelanggaran terhadap kewajiban menjaga

kerahasiaan jabatan dapat mengakibatkan notaris dikenakan sanksi.

Beberapa pasal dalam UUJN dan UUJN-P yang menjadi landasan bagi notaris untuk menjalankan kewajibannya merahasiakan isi dan keterangan selama proses pembuatan akta adalah:

  • a.    Pasal 4 ayat (2) UUJN tentang sumpah jabatan notaris;

  • b.    Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN-P; serta c. Pasal 54 UUJN-P.

UUJN dan UUJN-P juga telah memberikan prosedur khusus sebagai upaya perlindungan hukum terhadap jabatan notaris yang dituangkan dalam Pasal 66 UUJN-P. Untuk proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan berwenang untuk mengambil fotocopy minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris serta memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris. Kemudian Dewan Kehormatan melaksanakan rapat dan hasil rapat tersebut dapat dijadikan dasar untuk menyetujui atau menolak hal-hal tersebut. Sebenarnya di luar Pasal 66 UUJN-P ada instrumen lain berdasarkan UUJN dan perubahannya, serta undang-undnag lainnya yang memberikan perlindungan kepada notaris dalam menjalankan tugas kewenangannya. Pada jabatan notaris telah melekat hak ingkar (verschoningsrecht) dan kewajiban ingkar (verschoningsplicht). 16

16Habib Adjie, 2013, Memahami Kembali: Hak dan Kewajiban Ingkar Notaris, Majalah

Pemberian kesaksian oleh notaris dalam peradilan pidana, meskipun sangat diperlukan untuk mendukung upaya mencari keberanan materiil, namun perlu mengingat pula kepada keberadaan notaris itu sebagai jabatan kepercayaan. Kaitan dengan UU Perbankan dan UU Perbankan-P terjadi dalam hal notaris menjadi pihak terafiliasi dengan pihak bank. Dalam kedudukan tersebut mungkin saja terjadi suatu perkara pidana atau terindikasi sebagai suatu peristiwa atau perbuatan pidana yang berkaitan dengan perjanjian kredit. Sebagai pihak yang memberikan jasa membuat akta perjanjian kredit, maka notaris akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan yang mungkin saja dapat diminta keterangannya dalam proses peradilan.

Dalam hal rahasia bank tersebut dikecualikan untuk proses peradilan pidana, maka berlaku asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Artinya peraturan yang lebih khusus, mengenyampingkan ketentuan yang lebih umum. Dalam hal ini UU Perbankan dan perubahannya merupakan ketentuan yang bersifat khusus, sedangkan UUJN dan perubahannya merupakan ketentuan yang bersifat umum. Dengan demikian maka informasi dan keterangan yang merupakan rahasia bank dapat dibuka untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 42 UU Perbankan-P.

Notaris bertanggung jawab untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan pidana, mengenai hal-hal yang terurai dalam awal dan akhir akta

Renvoi, Nomor: 4.124 September 2013, hal. 77. (Selanjutnya disebut Habib Adjie IV).

perjanjian kredit. Namun apabila pertanyaan-pertanyaan hakim di luar dari hal-hal yang terurai di awal maupun akhir akta perjanjian kredit, maka notaris wajib merahasiakannya, baik tertuang dalam akta maupun tidak. Dalam hal ini notaris dapat menggunakan hak ingkarnya. Hak ingkar tidak hanya dapat diberlakukan terhadap keseluruhan kesaksian, akan tetapi dapat digunakan terhadap beberapa pertanyaan tertentu. 17

Notaris sebagai pihak terafiliasi wajib turut menjaga rahasia bank, hal ini sesuai dengan Pasal 40 UU Perbankan-P mengatur bahwa yang wajib menjaga rahasia bank adalah bank dan pihak terafiliasi. Dengan demikian notaris sebagai pihak terafiliasi ditentukan hanya wajib menjaga rahasia bank, dan dalam hal kerahasiaan bank tersebut dikecualikan sesuai Pasal 42 UU Perbankan-P, maka yang wajib memberikan informasi tersebut adalah bank.

Izin dari Pimpinan Bank Indonesia yang diperlukan dalam hal membuka rahasia bank ditujukan kepada bank umum yang bersangkutan karena secara struktural Bank Indonesia berada di atas bank umum. Pimpinan Bank Indonesia berwenang untuk memerintahkan atau memberikan izin kepada bank umum untuk memenuhi hal-hal yang menurut Pimpinan Bank Indonesia perlu dibuka demi kepentingan peradilan pidana. Namun Surat izin Pimpinan Bank Indonesia tersebut tidak dapat berlaku kepada notaris, meskipun kedudukan

17GHS Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan Kelima, Erlangga, Jakarta, hal. 122.

notaris adalah sebagai pihak yang terafiliasi dengan bank umum.

Pihak terafiliasi adalah pihak yang memiliki hubungan dengan kegiatan dan pengelolaan usaha jasa pelayanan yang dilakukan oleh bank. Pihak terafiliasi menggabungkan dirinya pada bank tetapi    dengan    tidak    kehilangan

identitasnya.18       Notaris       yang

menggabungkan dirinya dengan bank dalam hal membuat akta perjanjian kredit tidak kehilangan identitasnya sebagai pejabat umum yang tunduk pada ketentuan-ketentuan jabatannya. Hal ini sangat sejalan dengan jabatan notaris yang bersifat mandiri.

BAB III

PENUTUP

  • 3.1.    Simpulan

Berdasarkan pada pembahasan terhadap topik penulisan pada tesis ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • 1.    Kedudukan notaris dalam memberi jasa membuat akta perjanjian kredit bank sampai saat ini belum tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Namun berdasarkan kewenangannya dan dengan menggunakan beberapa metode interpretasi terhadap pengertian jasa dan konsultan lainnya dalam Pasal 1 angka 22 UU Perbankan-P, dapat    disimpulkan    bahwa    notaris

berkedudukan sebagai pihak terafiliasi. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pembuatan akta perjanjian kredit dengan jaminan berupa deposito, maka notaris bertanggung jawab untuk menjaga hal-hal yang dirumuskan sebagai rahasia bank.

  • 2.    Notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat umum dan sebagai pihak terafiliasi menurut UU Perbankan dan perubahannya memiliki

tanggung jawab terhadap kerahasiaan isi akta dan segala keterangan yang diperoleh selama proses pembuatan akta, serta bertanggung jawab pula terhadap ketentuan rahasia bank. Namun demikian, dalam kedudukannya sebagai saksi dalam peradilan pidana, notaris dituntut untuk dapat dengan bijaksana menggunakan hak ingkar yang dimilikinya. Notaris bertanggung jawab dan wajib untuk memberikan kesaksian terkait dengan hal-hal yang tercantum dalam awal atau kepala akta dan hal-hal yang terkait dengan proses pembuatan sebuah akta perjanjian kredit bank untuk dapat dikatakan sebagai suatu akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Terkait dengan hal-hal yang masuk kategori rahasia bank, meskipun UU Perbankan-P memberikan pengecualian untuk dapat membukanya dalam peradilan pidana, namun notaris tidak bertanggung jawab dalam memberikan kesaksian mengenai hal tersebut.

  • 3.2.    Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan simpulan di atas terhadap kesaksian notaris mengenai akta perjanjian kredit bank dalam peradilan pidana adalah sebagai berikut:

  • 1.    Agar pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif dapat membenahi kembali ketentuan dalam UU Perbankan dan UU Perbankan-P agar dapat memberikan pengaturan yang lebih jelas kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan erat dengan dunia perbankan, terlebih lagi dalam hubungan tersebut menyangkut pula hal-hal fundamental seperti rahasia bank.

  • 2.    Agar hakim dalam peradilan pidana dapat memahami kedudukan notaris, baik dalam UUJN dan perubahannya serta dalam UU Perbankan dan perubahannya, bahwa notaris merupakan jabatan yang dipercaya oleh masyarakat. Sehingga dalam memeriksa

notaris sebagai saksi agar dilakukan dengan prosedur yang sesuai, bukan demi kepentingan notaris secara pribadi, namun demi

kepentingan masyarakat yang memberi kepercayaan kepadanya dan demi kepentingan jabatan notaris secara umum

DAFTAR PUSTAKA

I.    BUKU

Adjie, Habib, 2011, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Cetakan Ketiga, Refika Aditama, Bandung.

______, 2009, Sanksi Perdata Dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung.

Amirrudin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Bahsan, M., 2008, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada.

Djumhana, Muhammad, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan ke V, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hermansyah, 2009, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cetakan kelima, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Kelsen, Hans, 2007, (General Theory of Law & State), Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Diterjemahkan oleh Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta.

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2013, BukuPedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal. 58.

Raharjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sadjijono, H., 2011, Bab-bab Pokok Administrasi, Laksbang Pressindo, Yogyakarta.

Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertangungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tobing, GHS Lumban, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan Kelima, Erlangga, Jakarta.

  • II.    ARTIKEL

Adjie, Habib, 2013, Memahami Kembali: Hak dan Kewajiban Ingkar Notaris, Renvoi Nomor: 4.124 September 2013.

  • III.    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Burgelijk Wetboek (B. W), yang diterjemahkan oleh Prof. Soebekti, R., S.H. dan R. Tjitrosudibyo, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76.

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31 .

Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182.

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 1 17.

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3.

Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2015-2016

76