Vol. 8 No. 02 Agustus 2023

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Kepastian Hukum Kedudukan Kreditur Terhadap Debitur (PT Perseorangan) Dalam Undang-Undang Cipta Kerja

Anak Agung Istri Laksmi Lestari 1, A.A. Istri Ari Atu Dewi 2

  • 1    Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

  • 2    Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

    Info Artikel

    Masuk : 13 Juli 2023 Diterima : 25 Agustus 2023

    Terbit : 28 Agustus 2023


    Keywords :

    Limited Liability Company, Individual Company, Legal Certainty


Abstract

The purpose of this writing is to find out how the legal certainty of the creditor's position against the debtor (Individual Limited Liability Company) is in the Job Creation Law. This writing uses normative juridical methods or library research. The results of this study are legal certainty for creditors against Individual Limited Liability Companies as debtors who are in default in the Job Creation Law can be created if the Individual Limited Liability Company companies as debtors or partners of the company, for their negligence / mistakes in good faith are responsible for fulfilling their achievements as stated in Article 1338 of the Civil Code.

Kata Kunci:

Perseroan Terbatas, Perusahaan Perseorangan, Kepastian Hukum


Corresponding Author: Anak Agung Istri Laksmi Lestari, E-mail : [email protected]


DOI :

10.24843/

AC.2023.v08.i02.p13


Abstrak

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum kedudukan kreditur terhadap debitur (Perseroan Terbatas Perseorangan) dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif atau penelitian kepustakaan. Hasil penelitian ini yaitu kepastian hukum bagi kreditur terhadap Perseroan Terbatas Perseorangan selaku debitur yang wanprestasi dalam Undang-Undang Cipta Kerja dapat tercipta apabila perseroan Perseroan Terbatas Perseorangan selaku debitur maupun pesero dari perseroan tersebut, atas kelalainnya / kesalahannya dengan beritikad baik untuk bertanggung jawab pemenuhan atas prestasinya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata.


Keberadaan Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT) adalah salah satu bentuk sarana untuk menjalankan kegiatan ekonomi. Para pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan bisnis sering menggunakan PT sebagai bentuk usaha karena adanya pembatasan tanggung jawab.1 Sejumlah pihak menilai bahwa UU PT yang ada saat ini masih mampu mengakomodasi berbagai ketentuan mengenai Perseroan, baik berupa penambahan ketentuan baru, penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dinilai masih relevan. Untuk lebih memperjelas hakikat Perseroan, di dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU PT serta peraturan pelaksanaannya.2 Bertitik dari ketentuan Pasal 1 angka 1 diatas, elemen pokok yang melahirkan suatu pereroan sebagai badan hukum (rechtspersoon, legal person, legal entity), harus terpenuhi syarat-syarat berikut : 3

  • 1.    Merupakan persekutuan modal.

  • 2.    Didirikan berdasarkan perjanjian.

  • 3.    Melakukan kegiatan usaha.

  • 4.    Lahirnya perseroan melalui proses hukum dalam bentuk pengesahan pemerintah.

Ketentuan tersebut kemudian dilakukan perubahan dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) yang mana dalam Pasal 109 menyebutkan bahwa merubah beberapa ketentuan dalam UUPT, yang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) menyebutkan Perseroan Terbatas (PT), yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau Badan Hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan Perundang-Undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil. Untuk dapat mendirikan Perseroan Terbatas disyaratkan didirikan oleh dua orang atau lebih dengan akta Notaris berdasarkan Undang-Undang Pasal 7 UU Cipta Kerja yang merupakan perubahan dari UUPT. Perseroan Terbatas yang dibuat dengan akta Notaris akan menyebutkan dengan lengkap ketentuan-ketentuan tentang Perseroan Terbatas tersebut dalam anggaran dasarnya. Namun disisi, dalam Pasal 153A UU Cipta Kerja disebutkan bahwa :

  • (1)    Perseroan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang.

  • (2)    Pendirian Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.

Ketentuan Pasal 153A UU Cipta kerja ini mengisyaratkan bahwa perseroan terbatas dapat didirikan oleh 1 (satu) orang dimana 1 (satu) orang tersebut juga bertindak selaku direktur yang berwenang menjalankan pengurusan dan pendirian perseroan perseorangan ini tidak perlu dibuat dalam akta Notaris namun cukup hanya membuat pernyataan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 153B. Pernyataan yang di maksud yang merupakan surat dibawah tangan tentu dapat dipastikan tidak mengurai secara rinci ketentuan-ketentuan terkait dengan PT Perseorangan tersebut sebagaimana halnya dengan akta Notaris. Direksi berdasarkan Pasal 1 Angka 5 UU Cipta Kerja adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Sedangkan dalam dunia perbankan dibutuhkan adanya trust atau kepercayaan dari pihak kreditur atau bank dalam memberikan suatu pinjaman kepada debiturnya. Tentulah akta pendirian dari suatu PT (selaku debitur) menjadi salah satu faktor yang menentukan kepercayaan kreditur untuk mengucurkan kreditnya. Dalam hal ini PT yang didirikan dengan akta Notaris tentu merupakan sebuah akta otentik yang lebih memberikan jaminan akan kepastian hukum. Disisi lain PT perseorangan yang didirikan hanya dengan surat pernyataan oleh seorang pendiri yang dibuat secara dibawah tangan tentu nilainya berbeda dengan akta otentik dimana pada hakekatnya sebuah surat atau akta dibawah tangan tidaklah dapat memberikan suatu kepastian huku sebagaimana halnya sebuah akta otentik.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk meneliti terkait kepastian hukum kedudukan kreditur terhadap debitur (PT Perseorangan) dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Terdapat 2 (dua) rumusan masalah yang dikaji yaitu bagaimana kewajiban pesero PT Perseorangan selaku debitur ketika wanprestasi berdasarkan UU Cipta Kerja? Dan bagaimana kepastian hukum bagi kreditur terhadap PT Perseorangan selaku debitur yang wanprestasi dalam UU Cipta Kerja? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewajiban pesero PT Perseorangan selaku debitur ketika wanprestasi berdasarkan UU Cipta Kerja dan kepastian hukum bagi kreditur terhadap PT Perseorangan selaku debitur yang wanprestasi dalam UU Cipta Kerja.

State of art dalam penelitian ini berasal dari penelitian jurnal yang berjudul “Mewujudkan Perseroan Terbatas (PT) Perseorangan Bagi Usaha Mikro Kecil (UMK) Melalui Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja oleh Muhammad Faiz Aziz. Adapun rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian jurnal tersebut yaitu (1) Bagaimana bentuk hukum PT perseorangan dan (2) Bagaimana pengaturan mengenai PT perseorangan agar mencapai keseimbangan antara kemudahan berusaha dan perlindungan pihak ketiga atau kreditur.”4 Kemudian terdapat pula penelitian jurnal yang mirip yaitu : Penelitian dari Muhammad Habib dengan judul “Perkembangan Hukum Persaingan Usaha Pasca Berlakunya Perpu Cipta Kerja, dengan rumusan masalah : (1) Bagaimana hukum persaingan pasca berlakunya Perpu Cipta Kerja ? dan (2) Bagaimana problematika hukum persaingan usaha pasca berlakunya Cipta Kerja

?”5 Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian jurnal tersebut yaitu Pengaturan pertanggungjawaban Direksi dalam perseroan terbatas usaha mikro dan kecil berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, tidak hanya terdapat dalam UU Perseroan Terbatas, namun diatur pula dalam UU Cipta Kerja. Serta bentuk pertanggungjawaban Direksi dalam perseroan terbatas usaha mikro dan kecil sangat berkaitan dengan prinsip pertanggungjawaban terbatas Direksi. Membandingkan secara seksama kedua penelitian dari Muhammad Faiz Aziz dan Muhammad Habib memiliki rumusan masalah serta topik pembahasan yang berbeda dengan tulisan ini. Dimana tulisan ini memfokuskan pada kewajiban pesero PT Perseorangan selaku debitur ketika wanprestasi berdasarkan UU Cipta Kerja dan kepastian hukum bagi kreditur terhadap PT Perseorangan selaku debitur yang wanprestasi dalam UU Cipta Kerja

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan metode yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach). Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu kaidah-kaidah hukum dan bahan hukum sekunder yaitu buku dan jurnal hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan dan mengkaji literatur dan peraturan yang berkaitan. Analisis dilakukan dengan bahan hukum pustaka disusun secara sistematis dan konsisten Bahan hukum yang diperoleh berdasarkan pustaka dipilah-pilah serta dihimpun secara sistematis agar dapat dijadikan sebagai dasar analisis dan kemudian dibahas secara deskriptif analisis.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1.    Kewajiban Pesero Selaku Debitur Ketika Wanprestasi Berdasarkan UU Cipta Kerja

Dalam ketentuan mendirikan PT Perseorangan sangatlah sederhana apabila dibandingkan dengan pendirian Perseroan Terbatas sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUPT yang kemudian telah dirubah sebagaimana perubahannya pada UU Cipta Kerja. Adapun berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut dalam UU Cipta Kerja, ada beberapa ketentuan sebagai berikut :

  • 1.    Untuk mendirikan PT perseorangan di syaratkan :

  • a.    memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang.

  • b.    Pemegang Saham Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil merupakan orang perseorangan

  • c.    Pendiri Perseroan hanya dapat mendirikan Perseroan Terbatas untuk Usaha Mikro dan Kecil sejumlah 1 (satu) Perseroan untuk usaha mikro dan kecil dalam 1 (satu) tahun.

  • d.    Pendirian berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.

  • e.    Surat pernyataan pendirian memuat maksud dan tujuan, kegiatan usaha, modal dasar, dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan.

  • f.    Surat pernyataan pendirian didaftarkan secara elektronik kepada Menteri dengan mengisi format isian.

  • 2.    Direksi PT Perseorangan mempunyai kewenangan dan kewajiban sebagai berikut :

  • a.    menjalankan pengurusan Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil bagi kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

  • b.    menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini, dan/atau pernyataan pendirian Perseroan.

  • c.    Direksi perseroan harus membuat laporan keuangan dalam rangka mewujudkan Tata Kelola Perseroan yang baik.

  • 3.    Pembubaran perseroan PT Perseorangan untuk usah mikro dan kecil terjadi karena

  • a.    berdasarkan keputusan RUPS;

  • b.    jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;

  • c.    berdasarkan penetapan pengadilan;

  • d.    dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;

  • e.    harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau

  • f.    dicabutnya Perizinan Berusaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam suatu keadaan tertentu dalam pengembangan suatu usaha, suatu perusahaan akan membutuhkan pemodalan guna memajukan usahanya. Dalam perolehan pemodalan sebagaimana tersebut perusahaan membutuhkan kreditur atau bank. Perusahaan yang didirikan dengan PT Perseorangan yang didirikan oleh satu orang pendiri sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 153A dalam hal ini dapat bertindak sebagi debitur. Dalam kedudukan sebagai debitur, pesero akan mewakili kepentingan perseroan PT Perseorangan yang didirikan oleh satu orang yang juga merupakan direktur itu sendiri. Tentu dalam kondisi ini akan sulit membedakan didalam melakukan kewenangan selaku direktur perusahaan maupun selaku pesero dari perseroan apabila didalam menjalankan kewenangan tersebut terjadi wanprestasi kepada kreditur.

Wanprestasi itu sendiri merupakan sebuah istilah di dalam bahasa Belanda untuk menyebut seseorang yang telah melakukan tindakan ingkar janji kepada perjanjian yang sengaja dia buat dengan pihak lainnya.6 Secara sederhana wanprestasi merupakan perbuatan yang dilalaikan oleh salah satu pihak di dalam perjanjian, baik

secara sengaja maupun tidak sengaja,7 sebagimana yang dimaksud Pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan: Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perkatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannyaa, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Dalam situasi tertentu bisa terjadi direktur di dalam melakukan kewenangannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku ataupun tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian. Dalam Undang-Undang PT menentukan bahwa apabila direktur bertindak sesuai dengan kewenangannya dan tidak melakukan kelalaian yang dapat dikategorikan sebagai melanggar kewenangannya maka dalam tindakannya ini direktur tidak dapat dipersalahkan. Sehingga direksi didalam mewakili kepentingan perseroan PT Perseorangan, tidak perlu bertanggungjawab secara pribadi apabila perseroan wanprestasi di dalam melakukan kewajibannya selaku debitur.

Namun dalam UU Cipta Kerja tidak disebutkan bagaimana tanggungjawab direksi apabila direksi didalam mewakili kepentingan perseroan selaku debitur suatu perusahaan (bank) tidak menjalankan kewenangannya sebagaimana mestinya, sehingga mengakibatkan kerugian bagi perseroan. Dalam Undang-Undang PT disebutkan bahwa apabila direktur lalai melakukan kewajibannya dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka direktur harus bertanggung jawab secara pribadi, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 97 ayat (1), (2) dan (3), sebagai berikut :

  • (1)    Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).

  • (2)    Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

  • (3)    Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Dalam hal ini adanya keraguan bagi sebagian besar kalangan apakah ketentuaan dalam Pasal 97 ini dapat diterapan kepada perseroan PT Perseorangan apabila perseroan selaku debitur wanprestasi akibat dari kesalahan atau kelalaian direktur secara pribadi mengingat dalam UU Cipta Kerja tidak menyebutkan bagaimana apabila direktur dari perseroan perseorangan yang didirikan oleh satu orang lalai menjalankan kewajibannya atau wanprestasi kepada debitur. Ketentuan Pasal 153J UU Cipta Kerja menunjukan adanya Kekaburan norma yang menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Tujuan hukum sebagaimana pandangan Gustav Radbruch yang menyebutkan bahwa dalam hukum terdapat 3 (tiga) nilai dasar yaitu:

  • 1.    Keadilan (Gerechtigkeit);

  • 2.    Kemanfaatan (Zweckmassigkeit); dan

  • 3.    Kepastian Hukum (Rechtssicherheit).8

Keadilan seharusnya memiliki arti memberikan rasa adil bagi seluruh pihak. Sifat ketentuan pertangggung jawaban yang subjektif akan memberikan ketidakadilan bagi pihak yang dirugikan, padahal nyatanya peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah tidak asing lagi mengenai pertanggung jawaban dalam perseroan. Terlebih lagi jika pihak yang dirugikan adalah kreditur atau investor, maka tentu saja akan berpengaruh terhadap rencana peningkatan perekonomian Indonesia.9 Ketidakadilan salah satunya dapat berasal dari ketidakpastian hukum terhadap peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.10 Dalam UU Cipta Kerja tidak diberi batasan terkait dengan kewajiban pesero pada PT Perseorangan yang didirikan oleh satu orang apabila perseroan.

Berdasarkan Pasal 153J UU Cipta Kerja sebagaimana tersebut diatas maka apabila PT Perseorangan selaku debitur wanprestasi, maka tidak ada kewajiban bagi pesero baik secara sendiri maupun Bersama-sama dengan pesero lainnya, untuk bertanggung jawab atas keadaan wanprestasi yang dilakukan oleh perseroan, selama keadaan wanprestasi itu terjadi bukan karena kesalahan/kelalaian/ perbuatan melawan hukum dari pesero yang juga sebagai direktur dari perseroan maupun pesero lainnya. Namun apabila keadaan wanprestasi itu terjadi karena kelalaian/kesalahan/perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pesero yang juga selaku direktur perseroan maupun pesero lainnya maka, pesero/direktur perseroan maupun pesero lainnya maka wajib menanggung secara pribadi kerugian itu atau secara tanggung renteng dengan pesero lainnya apabila terbukti pesero lainnya turut serta melakukan kelalaian tersebut.

  • 3.2.    Kepastian Hukum Bagi Kreditur Terhadap Debitur (PT Perseorangan) Yang Wanprestasi Dalam UU Cipta Kerja

Kepastian hukum adalah Scherkeit des Rechts selbst (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah Perundang-Undangan (gesetzliches recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan fakta (tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti kemauan baik, kesopanan. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.11 Fuller mengemukakan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum dan apabila itu tidak dipenuhi, maka gagallah hukum itu disebut sebagai hukum. 8 (delapan) asas tersebut adalah sebagai berikut :

  • 1.    Suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu (ad hoc);

  • 2.    Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;

  • 3.    Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

  • 4.    Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

  • 5.    Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

  • 6.    Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;

  • 7.    Tidak boleh sering diubah-ubah; dan

  • 8.    Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.12

Kreditur membutuhkan adanya kepastian hukum terhadap kredit yang dikeluarkannya terhadap debitur. Apabila dalam hal ini debitur adalah perseroan PT Perseorangan yang didirikan oleh seorang pesero yang tidak mampu melakukan kewajibannya atau wanprestasi, maka kreditur akan menuntut untuk pemenuhan prestasi dari debitur yang wanprestasi tersebut. Permasalahan akan terjadi apabila :

  • 1.    Apabila tidak dipenuhi pelunasan utang sampai batas yang telah ditentukan maka debitur tidak sampai merugikan kreditur itu sendiri.

  • 2.    Apabila direktur sebagai pemimpin perusahaan tidak mau bertanggungjawab secara pribadi karena menganggap tanggungjawab itu ada pada perseroan PT Perseorangan.

Demikian juga dengan persero pada perseroan PT Perseorangan, dalam hal ini persero hanya bertanggung jawab sebatas modalnya saja yang dimaksukkan kedalam perusahaan. Dengan demikian, apabila perseroan PT Perseorangan selaku debitur wanprestasi maka perseroan menanggung segala akibat dari keadaan wanprestasi tersebut. Dalam hal ini kreditur berhak untuk menuntut pemenuhan kewajiban perseroan PT Perseorangan yang wajib dipenuhi sebagai debitur.13 Kepastian hukum bagi kreditur juga menjadi kurang terjamin karena dalam UU Cipta Kerja itu sendiri memberikan ruang bagi persero maupun perseroan yang beritikad tidak baik untuk memanfaatkan kelemahan yang ada pada UU Cipta Kerja untuk melakuakan tindakan yang tidak semestinya misalkan saja pendirian perseroan dalam UU Cipta Kerja disyaratkan tidak dengan suatu akta otentik namun cukup dengan suatu surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam bentuk dibawah tangan. Suatu surat atau akta dibawah tangan mempunyai banyak kelemahan dibandingkan dengan suatu akta otentik.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1875 KUHPerdata suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut Undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orangorang yang menanda-tanganinya serta para ahli-warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu. Sedangkan apabila suatu akta dibuat secara otentik dia akan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata suatu akta otentik iyalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang,

dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk ditempat dimana akta dibuatnya.14

Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan Pasal ini merupakan bentuk dari kepastian hukum itu sendiri. Kepastian hukum bagi kreditur terhadap PT Perseorangan selaku debitur yang wanprestasi dalam UU Cipta Kerja dapat tercipta apabila perseroan PT Perseorangan selaku debitur maupun pesero dari perseroan tersebut atas kelalainnya/kesalahannya dengan beritikad baik untuk bertanggung jawab pemenuhan atas prestasinya. Namun sebaliknya, ketidakpastian hukum akan menimpa kreditur apabila PT Perseorangan selaku debitur maupun pesero dari perseroan tersebut tidak beritikad baik untuk bertanggungjawab pemenuhan atas prestasinya, mengingat kelemahan kedudukan kreditur dalam ketentuan pendirian PT perseroan yaitu hanya disyaratkan : dapat didirikan oleh 1 (satu) orang, Pendirian tidak perlu dengan akta otentik namun cukup hanya berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat secara dibawah tangan, dan direktur berwenang membuat kebijakan yang diangagp tepat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 153A sampai Pasal 153D, yang justru menimbulkan tidak adanya jaminan kepastian kedudukan kreditur.

  • 4.    Kesimpulan

Dalam PT Perseorangan yang selaku debitur mengalami wanprestasi, maka tidak ada kewajiban bagi pesero baik secara sendiri maupun Bersama-sama dengan pesero lainnya, untuk bertanggung jawab atas keadaan wanprestasi yang dilakukan oleh perseroan, selama keadaan wanprestasi itu terjadi bukan karena kesalahan/kelalaian/perbuatan melawan hukum dari pesero yang juga sebagai direktur dari perseroan maupun pesero lainnya. Dalam Pasal 153J UU Cipta Kerja apabila keadaan wanprestasi itu terjadi karena kelalaian/kesalahan/perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pesero yang juga selaku direktur perseroan maupun pesero lainnya maka, pesero/direktur perseroan maupun pesero lainnya maka wajib menanggung secara pribadi kerugian itu atau secara tanggung renteng dengan pesero lainnya apabila terbukti pesero lainnya turut serta melakukan kelalaian tersebut. Dalam hal ini kreditur berhak untuk menuntut pemenuhan kewajiban perseroan PT Perseorangan yang wajib dipenuhi sebagai debitur. Kepastian hukum bagi kreditur terhadap PT Perseorangan selaku debitur yang wanprestasi dalam UU Cipta Kerja dapat tercipta apabila perseroan PT Perseorangan selaku debitur maupun pesero dari perseroan tersebut atas kelalainnya/kesalahannya dengan beritikad baik untuk bertanggung jawab pemenuhan atas prestasinya sebagaimana disebutkan dalam pasal 1338 KUHPerdata.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku :

Ali, A. (2009). Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (judicial prudence). Jakarta: Kencana Predana Media Group.

Bambang, I. (2021). Pertanggungjawaban Direksi Dalam Perseroan Terbatas Usaha Mikro Dan Kecil Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja. Universitas Warmadewa.

Harahap, M.Y. (2016). Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika.

Notohamidjojo, O. (1970). Makna Negara Hukum. Jakarta : BPK.

Rahardjo, S. (2012). Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Jurnal

Arief, A., & Ramadani, R. (2021). Omnibus Law Cipta Kerja dan Implikasinya

Terhadap Konsep Dasar Perseroan Terbatas. Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik Islam, 6 (2). h. 106-120. DOI : 10.35673/ajmpi.v6i2.1550

Aziz, M. F., & Febriananingsih, N. (2020). Mewujudkan Perseroan Terbatas (PT) Perseorangan Bagi Usaha Mikro Kecil (UMK) Melalui Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 9 (1). h. 91. DOI: http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v9i1.405

Firmansyah, S. H., & Farid, A. M. (2022). Politik Hukum Praperadilan Sebagai

Lembaga Perlindungan Hak Tersangka Ditinjau dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 mengenai Penetapan Tersangka. Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan, 3 (2). h. 90-103. DOI: https://doi.org/10.18196/jphk.v3i2.15195

Habib, M., Hadiarlamsyah, A., Sunardi, L. W. P., & Chesar, W. (2023). Perkembangan Hukum Persaingan Usaha Pasca Berlakunya Perpu Cipta Kerja. Jurnal USM Law Review, 6 (1). h. 125-140. DOI: http://dx.doi.org/10.26623/julr.v6i1.6569

Iswara, I. G. N. B. M., Nahak, S., & Mahendrawati, N. L. M. (2019). Kepastian Hukum Pengenaan Pajak Penghasilan Transaksi Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan. Jurnal Hukum Prasada, 6 (1). h. 42-51. DOI: https://doi.org/10.22225/jhp.6.1.2019.42-51

Liuw, C. R. (2016). Tinjauan Hukum Tentang Pembubaran Perseroan Terbatas Berdasarkan Penetapan Pengadilan. Lex Societatis.   4 (5). h. 13. DOI:

https://doi.org/10.35796/les.v4i5.11960

Pemayun, C. I. R. D., & Sudibya, K. P. (2018). Tanggung Jawab Penjamin Terhadap Debitur Yang Tidak Dapat Memenuhi Prestasi Kepada Kreditur. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 2 (5), h. 1-14. DOI: https://doi.org/10.24843/KS.2023.v11.i09

Putri, C. C. (2021). Peningkatan Pemahaman Masyarakat Melalui Sosialisasi Hukum Tentang Akta Otentik, Jurnal Dedikasi Hukum,  1  (2), h. 100-110. DOI:

https://doi.org/10.22219/jdh.v1i2.17357

Sari, R. F. (2017). Delik Wanprestasi Jual Beli Online Perspektif Hukum Pidana Islam. Al-Jinayah:    Jurnal Hukum Pidana Islam, 3    (2), h. 426-453. DOI:

https://doi.org/10.15642/aj.2017.3.2.426-453

Tiodor, P. C., & Tjahyani, M. (2023). Pembuktian Wanprestasi Perjanjian Utang Piutang Secara Lisan. Krisna Law: Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, 5 (1), h. 27-39. DOI: https://doi.org/10.37893/krisnalaw.v5i1.208

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 6573)

386