Vol. 8 No. 03 Desember 2023

e-ISSN: 2502-7573 □ p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Kewajiban Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah Susun Pasca Terbitnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2023

Made Krisnanda Wicaksana1, Dewa Gde Rudy2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 1 Juli 2023

Diterima : 8 Desember 2023

Terbit : 8 Desember 2023

Keywords :

Obligations Deed of binding sale and purchase agreement; UU 6/2023; PP 12/2021 and Permen PUPR 16/2021


Kata kunci:

Kewajiban Akta PPJB; UU 6/2023; PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021.

Corresponding Author: Made Krisnanda Wicaksana, E-mail: krisnandawicaksana@gma


Abstract

The purpose of this research paper is to understand the legal consequences of the obligation to create a deed for the binding sale and purchase agreement for apartments following the enactment of Law No. 6 of 2023, for the legal protection of buyers, and to comprehend the applicability of Regulation No. 12/2021 and Regulation No. 16/2021 of the Ministry of Public Works and Public Housing after the issuance of Law No. 6 of 2023. Furthermore, the research method applied to this scholarly work is normative legal research, utilizing an approach focused on statutory regulations and a method using a model of legal concept analysis. The sources of legal materials used include primary and secondary sources. The techniques for collecting legal materials utilized include literature studies and methods for analyzing legal materials based on qualitative analysis. The result of this study is that the legal consequence of the obligation to create a Binding Sale and Purchase Agreement (PPJB) for apartments after the issuance of Law No. 6 of 2023 for the legal protection of buyers is that the parties are given the freedom to create the PPJB before a notary or to create the PPJB with a deed under the hand. This provides a loophole for developers with bad intentions to push consumers into creating the PPJB with a deed under the hand due to its lower cost. Meanwhile, the applicability of Regulation No. 12/2021 and Regulation No. 16/2021 of the Ministry of Public Works and Public Housing following the issuance of Law No. 6 of 2023 is that Law No. 6 of 2023 sets aside Regulation No. 12/2021 and Regulation No. 16/2021. Even though this will disadvantage consumers, the consequence of such legal applicability will still prevail.

Abstrak

Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui akibat hukum terhadap kewajiban pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli rumah susun pasca terbitnya UU No. 6 tahun 2023 bagi perlindungan hukum kepada pembeli, dan untuk mengetahui keberlakuan PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 pasca terbitnya UU No. 6 Tahun 2023. Selanjutnya, metode penelitian yang diaplikasikan ke dalam karya ilmiah ini ialah penelitian hukum normatif, dengan memanfaatkan pendekatan yang berfokus pada peraturan dari Perundang-Undangan serta pendekatan menggunakan model analisis konsep hukum dengan mengelaborasi bahan hukum primer dan sekunder. Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang

il.com


DOI : 10.24843/

AC.2023.v08.i03.p2


dipergunakan yaitu studi kepustakaan dan metode dari analisis bahan hukum yang didasarkan atas analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini yakni akibat hukum terhadap kewajiban untuk pembuatan akta perjanjian pengikatan Jual Beli (PPJB) rumah susun pasca terbitnya UU No. 6 Tahun 2023 bagi perlindungan hukum kepada pembeli adalah bahwa para pihak diberikan keleluasaan untuk membuat PPJB dihadapan notaris atau membuat PPJB dengan akta di bawah tangan. Hal ini menjadi celah bagi pengembang yang beriktikad tidak baik untuk menggiring konsumen membuat PPJB dengan akta di bawah tangan karena memiliki biaya yang rendah. Sedangkan keberlakuan PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 pasca terbitnya UU No. 6 Tahun 2023 adalah UU No. 6 Tahun 2023 mengesampingkan PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021. Meskipun hal ini akan merugikan konsumen, konsekwensi keberlakuan hukum seperti ini akan tetap berlaku.

  • 1.    Pendahuluan

Pada tanggal 18 Juli 2019, Pemerintah melalui Kementerian PUPR melakukan proses mengundangkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah (Permen PUPR 11/2019) di mana peraturan ini dibentuk guna optimalisasi regulasi terkait akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (selanjutnya ditulis PPJB) rusun.1 Tujuan dari pembuatan regulasi ini adalah untuk melindungi masyarakat, sebagai pembeli rumah atau unit rusun, dari developer nakal yang tidak menepati janjinya (wanprestasi) dalam melakukan pembangunan, yakni dengan terdapat keharusan dalam PPJB yang harus diatur dalam akta Notaris, sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (2) Permen PUPR 11/2019.

Pasal 1 ayat (2) Permen PUPR 11/2019 menyatakan:

“Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tunggal dan rumah deret yang dinyatakan dalam akta notaris.”

Selanjutnya, pada 2 November 2020, Pemerintah dan (DPR) telah membentuk yakni peraturan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UUCK) yang dalam perekembangannya diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 6/2023), dimana peraturan perundang-undangan ini mengubah sebagian ketentuan dari isi Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut dengan UU 20/2011) khususnya yang terkait dengan PPJB untuk satuan rusun sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 51 angka 12 UUCK.

Ketentuan pada Pasal 51 angka 12 UUCK.

“12. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  • (1)    Proses jual beli Sarusun sebelum pembangunan Rumah Susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris.

  • (2)    PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:

  • a.    status kepemilikan tanah;

  • b.    Persetujuan Bangunan Gedung;

  • c.    ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;

  • d.    keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan e. hal yang diperjanjikan.”

Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2021 (disebut PP 12/2021). Pembentukan PP 12/2021 ini mencabut keberlakuan dari Permen PUPR 11/2019. Sehingga terkait dengan PPJB atas rusun diatur seluruhnya oleh PP 12/2021. Menindaklanjuti pelaksanaan PP 12/2021 untuk teknis pelaksanaan PPJB rusun, pada 1 April 2021, Pemerintah melalui Kementerian PUPR telah mengundangkan sebuah Peraturan Menteri PUPR No. 16 Tahun 2021 Tentang

Pelaksanaan Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli Untuk Rumah Umum dan Satuan Rumah Susun Umum.

Ketentuan Pasal 1 angka 11 PP 12/2021 dan pasal 1 angka 5 Permen PUPR 16/2021 menerangkan pengertian PPJB yaitu “Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara Pelaku Pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah Susun yang dapat dilakukan oleh Pelaku Pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah Susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret yang dibuat di hadapan notaris”. Pada prinsipnya, PPJB sendiri ialah kesepakatan awal sebelum dibuatnya AJB.2

Permasalahan inti dari kajian ini ialah terdapat di dalam Pasal 51 angka 12 UU 6/2023 yang mengubah ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 20/2011. Walaupun Pasal 51 angka 12 UUCK dikatakan sebagai pengganti Pasal 43 UU 20/2011, namun tidak ada perbedaan pengaturan antara ketentuan Pasal 51 angka 12 UUCK dan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 20/2011. Di dalam ketentuan tersebut sama-sama terdapat pencantuman nomenklatur dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris. Pencantuman kata “dapat” ini menimbulkan makna penghapusan kewajiban pembuatan akta PPJB atas rusun ini ketika telah terpenuhinya syarat-syarat oleh pengembang yang diatur di dalam Pasal 51 angka 12 UUCK yang mengubah ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU 20/2011, yang kemudian pengembang mempunyai pilihan untuk membuat PPJB di bawah tangan atau PPJB pembuatannya dilakukan di hadapan Notaris, dimana jika PPJB dibuat di bawah tangan oleh pengembang akan sangat merugikan pembeli. Selain itu ketentuan Pasal 51 angka 12 UU 11/ 2020 juga tidak sesuai dengan peraturan pelaksananya yaitu PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 yang mewajibkan PPJB rusun wajib dibuat dalam akta notaris. Sebagaimana

dalam prinsipnya bahwa tugas Notaris ialah memberikan bantuan terkait pembuatan akta otentik.3

Selain itu, permasalahan selanjutnya yang muncul adalah ketika pada 25 November 2021, yang dimana Mahkamah Konstitusi memenuhi sebagian dari permintaan uji formil tersebut serta mengumumkan bahwa UUCK secara bersyarat bertentangan dengan konstitusi karena proses pembentukannya berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana ditetapkan dalam sebuah Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.4 Menurut keputusan ini, UUCK dikatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat selama tidak dilaksanakan pembenahan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun semenjak putusan ini dijatuhkan.5

Menindaklanjuti putusan MK tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (disebut PERPPU Cipta Kerja) menggantikan UUCK. Namun, juga tidak ada perbedaan pengaturan terkait PPJB untuk rusun yang diatur dalam UUCK atau PERPPU Cipta Kerja. Juga, pada UU 6/2023.

Ketentuan Pasal 51 angka 12 UU 6/2023 yang mengubah ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 20/2011 ternyata masih juga menggunakan kata “dapat” sehingga menimbulkan penafsiran menghilangkan kewajiban pembuatan akta PPJB dibuat dihadapan Notaris yang mungkin dapat menjadi celah oleh pengembang (developer) nakal yang memang tidak mempunyai itikad baik.

Ketentuan Pasal 51 angka 12 UU 6/2023.

“12. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  • (1)    Proses jual beli Sarusun sebelum pembangunan Rumah Susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris.

  • (2)    PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:

  • a.    status kepemilikan tanah;

  • b.    Persetujuan Bangunan Gedung;

  • c.    ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;

  • d.    keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan

  • e.    hal yang diperjanjikan.”

Dalam hal ini, berdasarkan isi putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016., menjelaskan penggunaan frasa “dapat” pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi (UU Tipikor) adalah tidak sah dan tidak berkekuatan hukum. Mahkamah Konstitusi menilai kehadiran kata “dapat” dalam peraturan tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda, bertentangan dengan UUD 1945. Majelis Hakim menilai kata "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak sejalan dengan prinsip pembuatan undang-undang yang seharusnya mengikuti prinsip bahwa undang-undang harus lex scripta (bentuknya tertulis), lex stricta (penafsiran menurut text), lex certa (tidak menimbulkan multitafsir). Mengacu pada hal tersebut, hal ini bersebrangan

dan tidak sesuai dengan prinsip negara hukum seperti apa yang telah disebutkan pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945

Dalam hubungannya dengan kewajiban pembuatan akta PPJB di hadapan notaris, sebenarnya PPJB yang dirumuskan secara notariil mempunyai sejumlah fungsi antara lain:6

  • a.    Menjadi dokumen autentik bahwa pihak-pihak terkait sudah membuat suatu kesepakatan tertentu;

  • b.    Merupakan sebuah evidence (bukti) terhadap pihak-pihak yang berkepentingan mengingat apa yang tercantum pada perjanjian merupakan refleksi dari tujuan dan harapan mereka; serta

  • c.    Berfungsi sebagai sebuah pembuktian kepada pihak lain karena saat tanggal yang ditentukan, terkecuali apabila para pihak terkait telah membuat perjanjian ini serta isi dari perjanjian tersebut sesuai dengan kemauan dari para pihak.

Pemerintah mengatur PPJB atas rusun wajib dibuat di hadapan notaris karena banyaknya laporan dari masyarakat tentang pengembang yang tidak menjalankan isi dari PPJB dan mengakibatkan adanya kerugian dari masyarakat. Bahwa dengan adanya kewajiban pembuatan akta PPJB tersebut pengembang dan pembeli akan memperoleh kepastian hukum beserta hak dan kewajibannya. Sehingga jika ketentuan Pasal 51 angka 12 UU 6/2023 yang mengubah ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 20/2011 yakni terdapat pencantuman nomenklatur “dapat” ini tetap dipertahankan, maka akan menjadi celah hukum bagi pengembang nakal untuk membuat PPJB bawah tangan yang akan merugikan hak-hak pembeli yakni khususnya masyarakat umum untuk melakukan pembuktian dan meminta hak-haknya kembali dalam hal wanprestasi dilakukan oleh pihak pengembang. Sejalan dengan hal tersebut maka keberlakuan PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 pasca terbitnya UU 6/2023 juga perlu disesuaikan kembali khususnya mengenai definisi dari PPJB.

Mengacu pada apa yang telah di jabarkan, maka dapat dikerucutkan permasalahan yang layak dikaji, sebagai berikut: 1) Bagaimana akibat hukum atas kewajiban pembuatan Akta PPJB Rusun pasca terbitnya UU 6/2023 bagi perlindungan hukum kepada pembeli?; 2) Bagaimana keberlakuan PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 pasca terbitnya UU 6/2023? Berdasarkan dari rumusan masalah diatas maka diangkat dalam penelitian ini didapat beberapa tujuan penelitian diantaranya: 1) untuk mengetahui akibat hukum yang akan muncul terhadap kewajiban pembuatan akta PPJB rusun pasca terbitnya UU 6/2023 bagi perlindungan hukum kepada pembeli, dan 2) untuk mengetahui keberlakuan PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 pasca terbitnya UU 6/2023.

Sebagai bahan rujukan, pembanding, dan keaslian antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu maka penulis akan menyajikan state of the art sebagai berikut: 1) artikel yang ditulis oleh Safira Riza Rahmani, dan Nynda Fatmawati Octarina, yang berjudul “akta perjanjian pengikatan jual beli rumah/rusun sebagai perlindungan hukum bagi penjual dan pembeli”.7 2) artikel yang ditulis oleh Sekhar Chandra Pawana yang berjudul “konsepsi perjanjian pengikatan jual beli rusun milik sebagai

sebuah panjer”.8 Pada artikel pertama, pembahasan mengkhusus membahas mengenai “karakteristik akta PPJB rumah/sarusun dan akibat hukum tidak dilaksanakannya klausul dalam akta perjanjian pendahuluan jual beli rumah/sarusun”. Pada artikel kedua pembahasan spesifik mengangkat tentang “konsepsi PPJB rusun milik sebagai sebuah panjer”. Berangkat daripada state of the art diatas maka terlihat perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang penulis angkat, di mana dalam penelitian ini mengkaji mengenai potensi atau implikasi hukum yang akan muncul terhadap kewajiban pembuatan akta PPJB rusun pasca terbitnya UU 6/2023 bagi perlindungan hukum kepada pembeli serta keberlakuan PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 pasca terbitnya UU 6/2023. Sehingga dalam penulisan artikel ilmiah ini, terdapat perbeda yang cukup signifikan antara penelitian yang terdahulu dengan artikel ilmiah kali ini yang akan ditulis.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan ini mempergunakan metode dengan jenis penelitian hukum normatif, di mana isu utama diambil dari pertentangan norma antara pasal 51 angka 12 UU 6/2023 dengan Pasal 1 angka 11 PP 12/2021 dan pasal 1 angka 5 Permen PUPR 16/2021. Metode ini merupakan bentuk studi hukum yang dilaksanakan melalui penelitian literatur atau data sekunder. Metode ini berfokus pada penelitian terhadap dokumen hukum, seperti undang-undang, peraturan, keputusan pengadilan, dokumen-dokumen konstitusi, dan sumber-sumber hukum lainnya. Pendekatan yang dipergunakan meliputi conceptual approach serta statute approach. Digunakannya pendekatan perundang-undangan dalam rangka memahami ketentuan hukum yang konkret, sementara pendekatan konseptual memberikan landasan teoritis yang lebih luas dan pemahaman konseptual yang mendalam. Elaborasi antar kedua pendekatan itu dapat memberikan wawasan yang komprehensif tentang topik penelitian yang berkaitan dengan hukum. Sumber bahan hukum yang dipergunakan berupa sumber primer sebagai bahan utama dan bahan sekunder berupa studi kepuastakaan. Adapun teknik library search atau pengumpulan bahan hukum kepustakaan dengan analisis bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan cara kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Akibat Hukum Terhadap Kewajiban Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah Susun Pasca Terbitnya UU 6/2023 bagi Perlindungan Hukum Kepada Pembeli

Elemen penting yang tidak dapat terpisahkan dalam proses penjualan dan pembelian tanah atau bangunan adalah adanya perjanjian atau perikatan. Perjanjian atau perikatan tersebut mencakup persetujuan di antara dua belah pihak yang berjanji satu sama lain, dengan pihak pertama dan pihak kedua saling memenuhi tanggung jawab sebagaimana yang disepakati sebelumnya, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasl 1457 BW.9 Mengacu pada hal tersebut, dikatakan bahwa kesepakatan menciptakan suatu kondisi kepada para pihak

untuk saling memenuhi hal-hal yang dituangkan dalam perjanjian, dalam konteks ini adalah pembeli dan pihak penjual.10

Materi tentang perjanjian di dalam BW tertuang pada buku III (Pasal 12331864) mengenai perikatan.11 Dalam BW, konteks terkait perjanjian maupun kontrak dikatakan sama.12 Ketentuan terkait hal tersebut dapat dilihat dalam pengaturan Buku II dan III BW, bahwa kontrak atau perjanjian merupakan asal dari perikatan.13 Dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah kontrak dan perjanjian memiliki persamaan arti didalamnya.14

Friedman berpandangan bahwasanya perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu. Dalam kontrak/perjanjian, pada umumnya asas yang dikenal dalam ilmu hukum perdata yaitu ada 5 (lima), diantaranya adalah:

  • 1.    Asas freedom Of Contract.

Dikenal juga sebagai asas kebebasan berkontrak, dan dalam BW termaktub dalam Pasal 1338 ayat (1) bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Prinsip kebebasan dalam melakukan kontrak/perjanjian sangatlah penting karena mencerminkan kehendak yang bebas yang merupakan manifestasi hak asasi manusia. Prinsip kebebasan dalam melakukan kontrak ini berakar pada konsep individualisme yang telah ada sejak zaman Yunani kuno. Konsep ini menekankan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Dalam konteks hukum perjanjian, konsep ini diwujudkan dalam prinsip "kebebasan berkontrak". Menurut teori laissez faire, prinsip ini dianggap sebagai "the invincible hand", yang menyiratkan bahwa intervensi pemerintah dianggap tidak perlu. Konsep individualisme ini memberikan peluang yang signifikan bagi kelompok yang kurang berdaya. Dengan kata lain, pihak yang memiliki kekuasaan memiliki kontrol dalam menentukan posisi pihak yang lebih lemah.15

  • 2.    Asas Concensualism.

Asas ini memiliki makna yang sangat besar, dimana terciptanya sebuah perjanjian cukup memerlukan adanya suatu kesepakatan saja dan bahwa perjanjian tersebut (serta perikatan yang dihasilkannya) telah terbentuk pada momen atau detik kesepakatan dicapai. Dalam kebanyakan kasus, untuk mencapai persetujuan, kesesuaian keinginan yang mematuhi kriteria tertentu dianggap sebagai kontrak yang valid berdasarkan hukum.

  • 3.    Asas Pacta Sunt Servanda.

Secara umum dikenal dengan istilah asas kepastian hukum dan merupakan asas yang erat kaitannya dengan konsekuensi dari sebuah perjanjian. Pada asas ini dijelaskan bahwa pihak ketiga/hakim harus menghargai klausul-klausul yang tercantum dalam perjanjian dan menjadi kesepakatan oleh kedua belah pihak, sama seperti mereka menghargai sebuah undang-undang. Mereka tidak diperkenankan untuk mengintervensi isi dalam kontrak ini barang tentu telah disepakati antara kedua belah pihak didalamnya.16

  • 4.    Asas Good Faith.

Ketentuannya dapat ditinjau pada Pasal 1338 ayat (3) BW mengatur bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Terkandung makna bahwa pihak kreditur serta debitur berkewajiban untuk menjalankan isi kontrak berlandaskan pada keyakinan dan kepercayaan solid serta niat baik dari semua pihak.17 Terdapat dua kategori dalam asas ini yaitu itikad baik absolut dan relatif.18 Secara umum, dalam sistem hukum di Indonesia asas ini dikenal dengan istilah asas itikad baik, asas ini bertujuan untuk memastikan adanya keadilan, kejujuran, dan integritas dalam pelaksanaan kontrak. Prinsip ini berperan penting dalam menjaga kepastian hukum, mendorong penyelesaian sengketa yang adil, dan perlindungan terhadap hak setiap pihak yang terlibat dalam apa yang diperjanjikan

  • 5.    Asas Personality.

Dikenal juga sebagai asas kepribadian menjelaskan bahwa para pihak yang akan melaksanakan perjanjian atau kontrak dalam praktiknya hanyalah untuk kepentingan diri pribadi. Ketentuan terkait asas ini dapat ditinjau pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 BW. Pasal 1315 BW menyatakan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Pasal tersebut telah secara jelas dan tegas dalam pembuatan perjanjian maka individu tersebut harus berorientasi pada kepentingan pribadinya. Pasal 1340 BW mengatakan: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Secara sederhana dijelaskan keberlakuan apa yang disepakati oleh setiap pihak hanyalah untuk dirinya sendiri.19

Penting untuk diingat bahwa penggunaan asas-asas ini dalam konteks hukum perjanjian haruslah seimbang dan adil, serta memperhatikan perlindungan hak-hak individu dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Interpretasi dan penerapan asas-asas ini harus mempertimbangkan konteks, tujuan hukum, dan prinsip-prinsip keadilan yang lebih luas. Selain itu dalam lingkup hukum perjanjian dikatakan bahwa asas-asas ini merupakan prinsip-prinsip yang memberikan kerangka kerja untuk pelaksanaan, perlindungan, dan penafsiran perjanjian secara adil dan jujur.

Selanjutnya mengenai PPJB, berangkat pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) angka 11 PP 12/2021 dan pada ketentuan pasal 1 ayat (5) Permen PUPR

16/2021 ini telah secara jelas disebutkan bahwa definisi PPJB yaitu “Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara Pelaku Pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah Susun yang dapat dilakukan oleh Pelaku Pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah Susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret yang dibuat di hadapan notaris”. PPJB secara umum dikatakan sebagai suatu hal yang dibuat oleh pembeli dan penjual untuk mengikatkan diri kepada kesepakatan jual beli suatu barang atau properti. Perjanjian ini memuat berbagai ketentuan yang mengatur tanggung jawab terhadap kewajiban dan hak para pihak dalam transaksi tersebut. PPJB disarankan untuk dibuat secara tertulis dan juga disarankan untuk mendapatkan nasihat hukum jika diperlukan terutama dalam transaksi jual beli yang melibatkan jumlah atau nilai yang besar atau jika terdapat ketentuan-ketentuan yang kompleks atau tidak biasa.

Akta PPJB adalah sebuah legal document yang berfungsi untuk mengikat transaksi jual beli yang dilakukan para pihak terkait untuk menjalankan dan memenuhi kewajiban yang telah disepakati. Dokumen ini biasanya disusun dan ditandatangani sebelum transaksi jual beli sebenarnya dilakukan, sebagai bentuk jaminan dan pengikat antara penjual dan pembeli, dijelaskan juga bahwa Akta PPJB ditandatangani oleh kedua belah pihak, dokumen tersebut memiliki kekuatan hukum dan dapat digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan transaksi jual beli yang sebenarnya. Selanjutnya, pihak-pihak biasanya akan melakukan proses administratif dan hukum yang diperlukan untuk mentransfer kepemilikan properti secara sah sesuai kesepakatan. Penting untuk mencari nasihat hukum yang memadai saat menyusun dan menandatangani akta PPJB untuk memastikan keabsahan dan keberlakuan hukumnya. Peran Notaris dalam pembuatan akta PPJB sangatlah penting, alasannya karena seorang Notaris yang notabene sebagai pejabat umum berwenang terhadap akta otentik, yang dihadapan hukum kekuatan pembuktiannya kuat, pembuatan akta PPJB oleh para pihak yang dibuat di hadapan Notaris dapat menjamin perolehan kepastian hukum. Notaris sebagai pihak independen dan netral bertindak untuk melindungi kepentingan semua pihak yang memastikan proses transaksi berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Berangkat daripada uraian diatas dapat dikemukakan bahwa PPJB hanya Notaris yang berwenang dalam pembuatannya, yang berarti PPJB memiliki kekuatan dan kedudukan pembuktian yang sempurna dan merupakan suatu akta otentik. Berbeda dengan ketentuan pasal di atas, menurut UU 20/2011, pada Pasal 43 ayat (1), “Proses jual beli rumah sebelum pembangunan rumah susun dapat dilakukan oleh PPJB yang dilakukan di hadapan notaris”.

Norma yang terkandung pada Pasal 43 ayat (1) UU 20/2011 diatas, sama dengan norma yang terdapat dalam ketentuan Pasal 51 angka 12, UUCK, dan UU 6/2023 yang mengubah ketentuan pasal 43 ayat (1) UU 20/2011. Rumusan norma dalam Undang-Undang tersebut seharusnya mengindahkan putusan MK yang memaknai kata “dapat” sebagai keleluasaan guna membuat PPJB di hadapan Notaris atau PPJB di bawah tangan.

Memperhatikan putusan MK tersebut maka norma yang tercantum dalam UUCK dan UU 6/2023 bertentangan dengan norma yang tercantum dalam PP

12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 sehingga norma tersebut dapat dikatakan bertentangan secara vertikal.

Karena adanya pertentangan norma tersebut, maka akan menimbulkan komplikasi akibat hukum terhadap kewajiban pembuatan PPJB rusun, karena UUCK dan UU 6/2023 tidak mensyaratkan pembuatan akta PPJB rusun di hadapan notaris, sementara PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 mengharuskan adanya pembuatan akta PPJB rusun di hadapan notaris. Di satu pihak, pengembang rusun tentu akan melakukan hal yang lebih menguntungkan dirinya yakni membuat PPJB di bawah tangan, sementara konsumen akan menginginkan jaminan hukum yang lebih baik dengan membuat PPJB di hadapan notaris.

Dengan demikian jika pembuatan akta PPJB di hadapan notaris, maka ada jaminan otentisitas dari PPJB karena akta notaris merupakan akta otentik dan lebih mendapatkan jaminan perlindungan hukum kepada konsumen.

Selanjutnya mengenai PPJB yang dalam pembuatannya di hadapan Notaris dan juga bawah tangan, memiliki beberapa perbandingan antara lain:

  • a.    PPJB dengan Akta Notaris:

  • 1.    Memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dan lebih resmi.

  • 2.    Dapat menjadi alat bukti yang lebih kuat dalam hal perselisihan hukum.

  • 3.    Proses pendaftarannya memerlukan waktu dan biaya yang lebih tinggi.

  • b.    PPJB dengan Akta Bawah Tangan:

  • 1.    Lebih mempermudah dan lebih cepat dalam proses pendaftarannya.

  • 2.    Biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan PPJB dengan Akta Notaris.

  • 3.    Kekuatan hukum yang lebih rendah dan lebih tidak resmi.

Pilihan antara PPJB dengan Akta Notaris atau Akta Bawah Tangan tergantung pada kebutuhan dan preferensi setiap individu. Namun, dalam konteks Jual Beli Rusun, PPJB dengan Akta Notaris lebih disarankan untuk transaksi jual beli properti karena memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi.

Akta Notaris dalam konteks alat bukti, dikenal memiliki kekuatan yang kuat/sempurna dalam suatu pembuktian, oleh karena itu keunikan dari sebuah akta notaris (akta otentik) terdapat pada kapasitas pembuktian yang dimiliki. Sebuah akta otentik menyediakan pembuktian yang tak terbantahkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk warisannya atau setiap hak yang berhak diperoleh. Akta otentik ini tentu memiliki kekuatan pembuktian yang kuat dan sempurna, yang dianggap inheren pada akta tersebut, yang berarti akta otentik dianggap sebagai bukti yang mengikat karena isi yang tertulis di dalamnya harus diakui autentik dan diyakini oleh hakim.20 Akta otentik biasanya berisi pernyataan atau transaksi hukum yang diselenggarakan oleh seluruh pihak terkait, bentuknya tertulis dengan tandan tangan dan cap dari pejabat yang berwenang. Keabsahan dan kekuatan bukti akta otentik didasarkan pada kepercayaan yang diberikan kepada pejabat yang berwenang

untuk membuatnya dan proses resmi yang melibatkan para pihak terkait. BW juga mengatur mengenai akta sebagai alat bukti, tepatnya pada Pasal 1868 yang menjelaskan terkait “akta autentik adalah suatu akta yang di buat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk masuk itu, ditempat di mana akta dibuat.”

Akta otentik dalam pembuktiannya tidaklah memerlukan alat bukti tambahan lainnya, dan menunjukkan keabsahan secara eksternal, formal, dan substansial. Dan jika dalam pembuatannya akta tersebut mengacu pada aturan yang ada, maka akta tersebut akan dianggap sebagai akta otentik yang akan mengikat semua pihak yang terlibat, termasuk pengadilan juga wajib untuk mengakui akta Notaris merupakan bukti yang mutlak.21 Pasal 1 angka 7 UUJN-P juga menngatur bahwa “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: akta Notaris yang selanjutnya disebut dengan akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Kekuatan pembuktian akta juga akan dianggap formal jika dalam pembuatannya dilakukan secara pribadi, di mana jika tanda tangan pada kata tersebut diakui sebagai bukti pengakuan telah dibuatnya suatu akta, maka hal ini berarti pernyataan dalam akta tersebut telah diterima dan disetujui. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa isi akta yang diakui menjadi pernyataan yang sebenarnya dari para pihak yang terlibat. Namun, satu-satunya aspek yang menjadi perhatian adalah apakah benar pernyataan tersebut benar-benar dituangkan pada tanggal yang tercantum dalam akta, karena tangga tidak termasuk dalam pernyataan yang diberikan oleh para pihak yang terlibat.22

Mengacu pada hal-hal yang ditentukan dalam BW, dijelaskan bahwa jika sebuah akta dibuat secara pribadi dan tidak ditolak atau akta tersebut kebenarannya diakui oleh seluruh pihak yang terlibat, maka kekuatan hukum akta tersebut setara akta otentik. Namun, jika keabsahan tanda tangan atau paraf yang dibubuhkan dipertanyakan dalam akta tersebut, maka untuk membuktikan keasliannya perlu didukung oleh alat-alat bukti lainnya berupa saksi, pengakuan, persangkaan, dan sumpah23, sebagaimana mengacu pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, sebagai berikut:

“alat bukti yang sah ialah:

  • a.  Keterangan saksi;

  • b.  Keterangan ahli;

  • c.    Surat;

  • d.    Petunjuk;

  • e.    Keterangan terdakwa.”

  • 3.2 Keberlakuan PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 pasca terbitnya UU 6/2023

Dalam praktik penerapan aturan hukum, kita sering kali dihadapkan pada beberapa isu, seperti adanya kekosongan hukum, konflik antara norma-norma hukum, dan kekaburan norma. Untuk menangani masalah hukum seperti ini, maka asas preferensi hukum ini dapat diberlakukan. Asas preferensi hukum ini tentu merujuk pada asas hukum yang menentukan hukum mana yang harus diterapkan terlebih dahulu, jika dalam suatu kejadian hukum ada beberapa aturan yang relevan atau berlaku. Asas ini menjelaskan mengenai peraturan hukum yang maka yang akan di prioritaskan apabila terdapat suatu peristiwa hukum terkait. terdapat tiga asas hukum yang secara umum berfungsi untuk penyelesaian konflik antar peraturan perundang-undangan satu dengan lainnya, sebagai berikut:

  • 1.    Asas lex Specialis Derogat Legi Genarali

Asas ini mengartikan bahwa aturan dari hukum yang lebih spesifik dapat mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Asas ini sering digunakan dalam konteks hukum untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan ketika terjadi konflik antara hukum umum dan hukum khusus yang mengatur subjek tertentu dengan lebih rinci. Alasan di balik penerapan asas ini adalah bahwa para pembuat undang-undang, dengan mengesahkan hukum khusus tujuannya adalah untuk memberikan regulasi yang rinci untuk hal-hal tertentu, dan hal itu seharusnya lebih berlaku daripada hukum umum yang mungkin tidak mengatur situasi tertentu secara komprehensif. Terdapat beberapat hal yang wajib dipahami pada ketentuan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, diataranya adalah:

  • a)    Asas ini menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan umum dalam hukum tetap berlaku, kecuali jika ada ketentuan-ketentuan spesifik dan khusus yang diatur dalam hukum yang lebih detail;

  • b)    Hukum khusus harus memiliki kedudukan yang setara dengan hukum umum, seperti UU dengan UU lainnya;

  • c)    Antara hukum khusus dan hukum umum harus berlaku dalam bidang yang sama.

  • 2.    Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori

Asas ini menegaskan bahwa apabila terdapat sebuah konflik diantara peraturan Perundang-Undangan dengan hierarki yang memiliki kedudukan vertikal (rendah ke tinggi), dapat dikatakan bahwa yang harus dikesampingkan adalah hukum yang lebih rendah, maksudnya adalah peraturan hukum yang lebih tinggi memiliki otoritas yang lebih kuat dan mengontrol peraturan hukum yang berada di bawahnya. Menentukan mana norma yang memiliki posisi lebih tinggi dibanding norma lainnya biasanya bukanlah tugas yang sulit, mengingat negara hukum biasanya memiliki struktur hukum baik tertulis dan penyusunannya secara hierarkis. Dalam konteks hukum di Indonesia, hierarki dan jenis peraturan UU termaktub pada Pasal 7 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.24 Asas ini menjelaskan bahwa akan sangat penting untuk memperhatikan terkait hierarki hukum dalam sistem hukum tertentu dan memastikan hukum yang posisinya lebih rendah dapat dikesampingkan oleh hukum yang posisinya lebih tinggi.

  • 3.    Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori

Hal yang menjadi perhatian dalam konteks ini adalah suatu hukum yang baru dapat mengesampingkan hukum yang lama. Prinsip ini berlaku ketika ada dua peraturan hukum atau undang-undang mengatur hal yang sama namun salah satunya merupakah peraturan hukum yang lebih baru.25 Asas ini didasarkan pada pemahaman bahwa hukum yang lebih baru mencerminkan perkembangan sosial, kebutuhan masyarakat, atau perubahan dalam pemikiran hukum. Oleh karena itu, hukum yang lebih baru dianggap lebih relevan dan dapat menimbulkan efek yang lebih signifikan daripada hukum yang lebih lama.

Berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 PP 12/2021 dijelaskan bahwa “Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rusun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret yang dibuat di hadapan notaris.” Norma yang sama juga diadopsi dalam Permen PUPR 16/2021 pada Pasal 1 angka 5 ini yang berbunyi “Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara Pelaku Pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah Susun yang dapat dilakukan oleh Pelaku Pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah Susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret yang dibuat di hadapan notaris.”

Kedua peraturan perundang-undangan tersebut secara tegas mensyaratkan pembuatan dari Akta PPJB yang dibuat di hadapan Notaris. Sementara itu norma yang berbeda dinyatakan didalam ketentuan Pasal 51 angka 12 UU 6/2023 yang mengubah ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 20/2011. Berdasarkan putusan MK sebagaimana telah diuraikan diatas makna kata “dapat” diartikan sebagai ketidakharusan pembuatan PPJB dilakukan di hadapan notaris. Artinya bahwa PPJB bisa juga dilakukan melalui akta dibawah tangan.

Terhadap adanya pertentangan norma secara vertikal, antara norma yang tercantum dalam UU 6/2023 dengan norma yang tercantum dalam PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 tersebut, maka jika dilihat dari berlakunya dari asas lex superior derogat legi inferiori atau perundang-undangan yang lebih tinggi meniadakan keberlakuan dari perundang-undangan yang posisinya lebih rendah tingkatannya. Dalam hal ini UU 6/2023 mengesampingkan dari PP 12/2021 serta Permen PUPR 16/2021. Meskipun hal ini akan merugikan konsumen, konsekuensi keberlakuan hukum seperti ini akan tetap berlaku.

  • 4.    Kesimpulan

Akibat hukum yang muncul terhadap kewajiban pembuatan akta PPJB rusun pasca terbitnya UU 6/2023 bagi perlindungan hukum kepada pembeli adalah bahwa para pihak diberikan keleluasaan dalam proses membuat PPJB dihadapan Notaris atau membuat PPJB dengan Akta dibawah tangan. Hal ini menjadi celah bagi pengembang yang beritikad tidak baik untuk menggiring konsumen membuat PPJB dengan sebuah Akta di bawah tangan karena memiliki biaya yang rendah. Sebagaimana diketahui bahwa PPJB yang dibuat dengan akta notaris memiliki legalitas yang lebih tinggi karena dibuat dan diterima oleh notaris, yang merupakan pihak yang memiliki kewenangan dan mempunyai tugas untuk membuat akta otentik. Sedangkan perjanjian PPJB dibuat dengan akta dibawah tangan hanya memiliki sebuah kekuatan hukum sebagai alat bukti yang tertulis dan memiliki legalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan akta notaris. Keberlakuan PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021 pasca terbitnya UU 6/2023 adalah bahwa berdasarkan dari Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, melihat sebuah bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan diprioritaskan keberlakuannya dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. Sehingga UU 6/2023 mengesampingkan PP 12/2021 dan Permen PUPR 16/2021. Meskipun hal ini akan merugikan konsumen, konsekwensi keberlakuan hukum seperti ini akan tetap berlaku. Namun untuk memastikan terkait dengan menjamin perlindungan hukum kepada pihak pembeli rusun, disarankan agar PPJB sebaiknya diharuskan dibuat di hadapan seorang Notaris. Hal ini dapat dilakukan melalui uji materi terhadap ketentuan norma Pasal 51 angka 12 UU 6/2023, dengan menghapus kata “dapat” dalam ketentuan norma tersebut, sehingga ketentuan Pasal 51 angka 12 UU 6/2023 menjadi berbunyi sebagai berikut, “Proses jual beli Sarusun sebelum pembangunan Rumah Susun selesai dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris”.

Daftar Pustaka

Buku

Marzuki, Peter M. 2021. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Setiawan, I. K. Oka. (2018). Hukum Perikatan. Jakarta: Sinar Grafika.

Jurnal

Abdullah, N. (2017). Kedudukan Dan Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta

Otentik. Jurnal       Akta, 4(4),       655-664,       hlm.       655       DOI:

http://dx.doi.org/10.30659/akta.v4i4.2508

Badruttamam, F., Jumena, J., & Kodir, F. A. (2019). Kekuatan Hukum Akta Dibawah Tangan Yang Disahkan Notaris Sebagai Akta Otentik Dalam Pembuktian Perkara Perdata. Al-Mustashfa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Syariah, 4(1), 59-74, hlm. 72. DOI: 10.24235/jm.v4i1.4302

Denara, M. A., & Priyanto, I. M. D. (2019). Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Dalam Transaksi Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. dalam Jurnal Kertha Semaya, 8(1),                   hlm.                   3.                   DOI:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/55865

Irfani, N. (2020). Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, dan Penggunaannya dalam Penalaran dan Argumentasi Hukum. Jurnal Legislasi Indonesia, 16(3),    305-325, h. 311. DOI:

https://doi.org/10.54629/jli.v17i3.711

Larasati, F. R., & Bakri, M. (2018). Implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 pada Putusan Hakim dalam Pemberian Perlindungan Hukum bagi Pembeli Beritikad Baik. Jurnal Konstitusi, 15(4), 881-902, hlm. 2-3. DOI: https://dx.doi.org/10.31078/jk15410

Muhtaroom M. (2014). Asas-Asas Hukum Perjanjian: ‘’Suatu Landasan Dalam Pembuatan     Kontrak’’.     Suhuf,     26(1),     48-56,     hlm.     52.

http://hdl.handle.net/11617/4573

Ningtyas, A. Y. P., & Priandhini, L. (2022). PERAN NOTARIS DAN PPAT DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DI INDONESIA. PALAR (Pakuan Law review), 8(1),  120-135, hlm. 127. DOI:

https://doi.org/10.33751/palar.v8i1.4592

Palit, R. C. (2015). Kekuatan Akta di Bawah Tangan Sebagai Alat Bukti di Pengadilan. Lex               Privatum, 3(2),               h.               144.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/7842

Pramono, D. (2015). Kekuatan pembuktian akta yang dibuat oleh notaris selaku pejabat umum menurut hukum acara perdata di Indonesia. Lex Jurnalica, 12(3), 147736, h. 256. http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/view/1225/1118\

Pawana, S. C. (2019). Konsepsi Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah Susun Milik Sebagai Sebuah Panjer. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 10(2) DOI: https://dx.doi.org/10.24843/AC.2019.v04.i02.p15

Rahmani, S. R., & Octarina, N. F. (2020). Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah/Rumah Susun sebagai Perlindungan Hukum bagi Penjual dan Pembeli. Jurnal              Supremasi,              36-46              DOI:

https://doi.org/10.35457/supremasi.v10i1.895

Sinaga, N. A. (2018). Peranan asas-asas hukum perjanjian dalam mewujudkan tujuan perjanjian. Binamulia     Hukum, 7(2),     107-120,     hlm.     110.     DOI:

https://doi.org/10.37893/jbh.v7i2.318

Utama, P. A. B., Sumardika, I. N., & Astiti, N. G. K. S. (2021). Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Sebagai Dasar Pembuatan Akta Jual Beli Dihadapan PPAT. Jurnal Preferensi   Hukum, 2(1),   177-181, hlm. 178-179 DOI:

https://doi.org/10.22225/jph.2.1.3064.177-181

Online

Humas MKRI. MK: Inkonstitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja Harus Diperbaiki dalam Jangka        Waktu        Dua        Tahun.        Available        from

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816, diakses 11 januari 2023.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2017. Diterjemahkan oleh Soedharyo Soimin. Jakarta: Sinar Grafika.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 3209.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6624.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 No. 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 6841.

Indonesia. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 No. 777.

428