Vol. 8 No. 02 Agustus 2023

e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960

Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas

Kepastian Hukum Penyerahan Protokol PPAT Kepada Penerima Protokol

I Dewa Gede Wira Mahardika1, Dewa Gde Rudy2

1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Info Artikel

Masuk : 26 Mei 2023

Diterima : 23 Juli 2023

Terbit : 28 Agustus 2023

Keywords :

Legal Certainly; PPAT Protocol; Protocol Receiver


Kata kunci:

Kepastian Hukum; Protokol

PPAT; Penerima Protokol

Corresponding Author:

I Dewa Gede Wira Mahardika, E-mail: [email protected]

DOI :

10.24843/AC.2023.v08.i02.p4


Abstract

This research aims to understand and evaluate the legal consequences that arise from the late submission of PPAT protocols to the protocol recipients, and to analyze the regulation of PPAT who are unwilling to accept the protocol. The research method used in this paper is normative legal research method to analyze the legal clarity in the process of submitting PPAT protocols to the protocol recipients. It utilizes a legislative and conceptual approach, including the use of relevant legal materials. The results of the discussion indicate that there are no sanctions that can be imposed in the event of protocol submission exceeding the 30-day time limit as stipulated in Article 28 of the Ministerial Regulation on PPAT, or it can be said that there is a norm vacuum. egarding the Legal Certainty of the regulation on PPAT who are unwilling to accept protocols, sanctions such as written reprimand, temporary suspension, honorable or dishonorable discharge can be imposed in accordance with Article 13 paragraph (1) of the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning Regulation No. 2 of 2018.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengevaluasi konsekuensi hukum yang timbul dari implementasi protokol PPAT yang terlambat diserahkan kepada penerima protokol, dan untuk menganalisis pengaturan PPAT yang tidak bersedia menerima protokol. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif untuk menganalisis mengenai kejelasan hukum dalam proses penyerahan protokol PPAT kepada penerima protokol. Studi ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, termasuk penggunaan bahan hukum yang relevan. Hasil pembahasan menunjukan bahwa tidak terdapat sanksi yang dapat dijatuhkan dalam hal penyerahan protokol yang melebihi batas waktu 30 (tiga puluh) hari sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 28 PP PPAT tersebut atau dapat dikatakan bahwa terdapat kekosongan norma. Kemudian terkait Kepastian hukum pengaturan PPAT yang tidak bersedia menerima protokol dapat dikenakan sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau tidak hormat sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) Permen ATR No. 2 Tahun 2018.

  • I.    Pendahuluan

PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah disebut sebagai “Pejabat Umum” memiliki asal-usul bahasa belanda, yaitu open baar yang memiliki arti terkait oleh pemerintahan, urusan yang terbuka atau tidak tersembunyi bagi umum dan ambtenaar yang artinya pejabat ataupun orang yang memiliki wewenang. Oleh karena itu, Pejabat Umum dapat diartikan sebagai pembuat akta umum atau dokumen yang terbuka untuk umum.1

PP No. 37 Tahun 1998 (selanjutnya disebut PP PPAT) dan Peratuan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 (selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah), yang diterbitkan oleh pemerintah untuk pelaksana UU Pokok Agraria yang diberlakukan pada tahun 1960 yakni UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), dipandang sebagian kalangan sebagai landasan hukum bagi PPAT. PPAT dapat dengan yakin menggunakan kewenangannya karena aturan ini.2

Pejabat Umum yang berhak menerbitkan akta asli sehubungan dengan proses hukum khusus berikutnya dikatakan menjadi "Pejabat Pembuat Akta Tanah" atau “PPAT”, dalam hal ini telah dinyatakan oleh Pasal 1 angka 1 PP PPAT menjelaskan “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.3 Mengacu pada suatu tersebut maka bisa dikatakan yakni yang berhak membuat akta asli sehubungan dengan proses hukum khusus yang berhubungan dengan hak ialah PPAT.

Boedi Harsono berpendapat bahwa pejabat publik merujuk kepada individu yang ditugaskan oleh pemerintah untuk memainkan peran resmi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam kapasitas tertentu. Kapasitas tertentu yang dimaksudkan pada hak tersebut ialah pembuatan akta otentik. PPAT yakni pejabat yang memiliki kewenangan untuk merancang suatu akta seperti akta perjannjian-perjanjian yang memiliki maksud memindahkan hak atas tanah sebagai hak tanggungan.

Definisi mengenai PPAT terdapat pada berbagai peratruan perundang-undangan yaitu diantaranya:4

  • 1.    Terletak di dalam Pasal 1 ayat (4) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menjelaskan “Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta

pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta

pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

  • 2.    Pada Pasal 1 ayat (5) PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah menjelaskan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.”

  • 3.    Kemudian pada Pasal 1 ayat (24) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juga menjelaskan definisi dari PPAT, yakni “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut sebagai PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.”

  • 4.    Selanjutnya terdapat juga definisi dari PPAT pada PP No. 37 tentang Peraturan Jabatan PPAT Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai ha katas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”

Dalam pengertian-pengertian terkait PPAT yang sudah dijelaskan diatas, bisa diartikan PPAT ialah pejabat umum yang mempunyai kewenangan dalam merancang akta otentik sejauh perancangan akta khusus tersebut tidak diatur untuk pejabat umum selain PPAT. Untuk tujuan kejelasan, keteraturan, dan perlindungan hukum untuk kedua belah pihak dan masyarakat luas, hendaknya dibuat akta asli oleh atau di hadapan PPAT untuk menjamin hak dan kewajiban para pihak.5

Masyarakat dan negara sangat percaya kepada PPAT, dengan demikian PPAT memiliki kewajiban untuk bertindak secara etis dan profesional dalam menggunakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Sebagai bagian dari sumpah jabatan atau ikatan jabatannya dengan mengacu pada peraturan yang diatur dalam kode etik PPAT, PPAT diberi tugas dan tanggung jawab untuk merahasiakan, melindungi dan memelihara rahasia peristiwa hukum mengenai urusan pendaftaran tanah dibuatnya dan informasi yang disampaikan kepada PPAT oleh para pihak. Klausul ini dimasukkan untuk menjaga hak para pihak atas akta yang dibuatnya dan untuk menjaga kerahasiaan surat-surat lain yang dikirim oleh PPPAT.

PPAT pada hakekatnya mempercayakan kepada para pihak suatu akta autentik untuk menyampaikan kebenaran secara formal. Namun, merupakan tanggung jawab PPAT untuk memastikan bahwa maksud para pihak secara akurat tercermin dalam Akta PPAT dan hal ini dilakukan dengan memberikan mereka akses pada informasi, termasuk akses terhadap kebijakan undang-undang yang relevan, dan dengan membaca isinya. Akta yang dibuat agar para pihak mengetahui dan memahami isi Akta PPAT tersebut. Akibatnya, isi Akta PPAT dapat disetujui atau tidak disetujui oleh para pihak sesuai keinginan.

PPAT akan membacakan akta tersebut dengan lantang dan menjelaskannya isinya karena tidak semua penanda tangan dapat membaca dan memahami dokumennya sendiri. PPAT memiliki kewajiban untuk membacakan dan menerangkan kepada para penghadap isi dari akta yang akan membantu para pihak dalam memahami perbuatannya dan diharapkan akan menghasilkan penyelesaian yang lebih adil bagi semua pihak yang terlibat. Hal ini dikarenakan PPAT akan lebih memahami perannya sebagai hasil dari pembacaan akta dan penjelasan hak dan kewajiban masing-masing

pihak. Dengan membacakan akta tersebut oleh PPAT, diyakini bahwa para penandatangan akan mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang isinya dan lebih siap untuk mencegah litigasi di masa depan antara para pihak atas interpretasi masing-masing akta tersebut.6

Akta dari PPAT ialah suatu arsip dari negara yang wajib untuk tersimpan serta terpelihara. Arsip dinamis dapat terbagi menjadi arsip aktif, arsip vital dan arsip tidak aktif jika dilihat dari ketentuan Undang-Undang arsip dan Perka BPN Nomor 8/2009 mengenai Penatausahaan Naskah Dinas dan Pengelolaan Arsip di sekitar area BPN. Arsip dinamis yaitu arsip yang digunakan sebagai rencana-rencana, pelaksana, penyelenggara negara, atau lebih umum, orang-orang yang mengatur kehidupan nasional. Jenis arsip yang kedua adalah arsip dinamis, yang selanjutnya dipecah menjadi subjenis aktif dan tidak aktif berdasarkan seberapa sering diakses oleh unit pengolah data Kantor Pertanahan. Arsip, terutama arsip yang jarang digunakan atau arsip referensi saja7

Kedudukan dari PPAT tidak terdapat diatur secara jelas didalam UU No. 5/1960 mengenai Peraturan Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Aturan pelaksanaan UUPA yaitu PP No. 10/1961 mengatur mengenai pendaftaran tanah dan peranan PPAT.

Pasal 28 PP PPAT yang diatur perihal sebuah alasan dari apa yang didasarkan untuk dilakukannya serah terima dari protokol PPAT. Diantaranya yakni PPAT yang sudah meninggal dunia. Berdasarkan aturan yang berjalan secara tertulis, Dalam waktu 30 hari setelah kematian PPAT, salah satu ahli waris, anggota keluarga, atau pekerja yang bertanggung jawab menyerahkan protokol PPAT harus dilaporkan ke Kepala Pertanahan Kabupaten/Kota pada daerah kantor PPAT tersebut, kemudian memberitahukan kematian PPAT terhadap Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi berdasar pada laporan dalm hal ini sudah dimaksud pada PP PPAT Pasal 28 ayat (1) yang menjelaskan bahwa “apabila PPAT meninggal dunia, salah seorang ahli waris/keluarganya atau pegawainya wajib melaporkannya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten /Kotamadya setempat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak PPAT meninggal dunia”. Usulan untuk menetapkan PPAT yang akan menerima protokol PPAT dari pewaris harus disertai dengan usulan penunjukan PPAT yang setara dengan PP tentang PPAT atau karena informasi yang diterima dari lain sumber. Protokol PPAT yang dipilih oleh kepala kantor juga harus ditransmisikan dari kerabat terdekat, ahli waris almarhum, atau pihak yang mengelola protokol PPAT.

Terkait dengan ketentuan pada Pasal 28 PP PPAT hanya mengatur perihal batas waktu penyerahan dan mengatur mengenai proses diserahkannya protokol PPAT yang belum lewat dari batas waktu, akan tetapi pada pasal itu tidak memiliki kepastian terkait dari proses diserahkannya protokol PPAT yang sudah lewat dari batas waktu, sehingga tidak terdapat kepastian hukum terkait siapa yang akan tanggung jawab dari protokol PPAT jika PPAT yang sudah dipilih tak ingin untuk diterimanya protokol

PPAT yang telah meninggal dunia tersebut. Kemudian tidak terdapatnya kepastian pengaturan yang berkaitan terhadap sanksi yang bisa diberikan terhadap PPAT tersebut yang tidak bersedia untuk menerima protokol PPAT tersebut.

Norma kosong mengacu pada tidak adanya pengaturan mengenai sanksi atau sanksi yang diterima oleh PPAT penerima protokol yang telah ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi. Norma kosong tersebut merujuk pada tidak adanya kepastian hukum mengenai pemberian protokol PPAT yang sudah melampaui ketetapan didalam Pasal 28 PP PPAT.

Berdasarkan judul tersebut, terdapat dua permasalahan yang dapat disimpulkan berikut ini, yaitu: (1) Apa akibat hukum protokol PPAT yang terlambat diserahkan kepada penerima protokol? dan (2) Bagaimana kepastian hukum pengaturan PPAT yang tidak bersedia menerima protokol? Terdapat juga suatu tujuan daripada penulisan ini yaitu: (1) guna memahami dan menelaah akibat hukum terhadap protokol PPAT yang terlambat diserahkan kepada penerima protokol; dan (2) untuk menganalisis kepastian hukum pengaturan PPAT yang tidak bersedia menerima protocol.

Artikel tentang state of art yang sebanding dengan masalah yang sedang diselidiki dapat ditemukan. Beberapa hal yang disinggung adalah:

  • 1)    Jurnal yang dituis oleh tiga penulis, yaitu Ni Nyoman Candra Krisnayanti, Ida Ayu Putu Widiati dan Ni Gusti Ketut Sri Astiti yang diterbitkan oleh Intepretasi Hukum. Yang berjudul “Tanggung Jawab Notaris Pengganti Dalam Hal Notaris Yang Diganti Meninggal Dunia Sebelum Cuti Berakhir”. Permasalahan hukum yang dikaji, yaitu: (1) Apa yang terjadi dengan kedudukan hukum notaris pengganti dan bagaimana tata cara pelaksanaan notaris pengganti yang terkait hal ini notaris asli telah meninggal dunia sebelum cuti nya selesai.8

  • 2)    Jurnal yang ditulis oleh Yofi Permana R yang diterbitkan oleh Cendikia Hukum yang berjudul “Pengaturan Penyerahan Protokol Notaris Yang Telah Meninggal Dunia dan Prakteknya Di Provinsi Sumatera Barat”. Permasalahan hukum yang dikaji yaitu ada tiga hal utama yang menjadi perhatian protokol notaris yang sudah meninggal dunia di Provinsi Sumatera Barat: (1) tanggung jawab ahli waris kepada protokol notaris; (2) pengajuan protokol; dan (3) perlakuan hukum yang diberlakukan terhadap Majelis Pengawas Daerah (MPD) pada protokol notaris.9

Berdasarkan apa yang sudah dikatakan sejauh penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa karya tulis ini memiliki sentuhan kebaruan, baik dalam judulnya maupun dalam membingkai kesulitan-kesulitan yang dikaji.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengatasi masalah kekosongan norma karena PP PPAT tidak diatur mengenai penyerahan protokol PPAT yang telah melewati batas waktu dan PPAT pengganti yang telah ditentukan untuk dapat menerima protokol

tidak bersedia menerima protokol PPAT yang telah kadaluwarsa. Oleh karena itu, penelitian yang ditulis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang memakai pendekatan peraturan perundang-undangan, dengan subjek penelitian lebih difokuskan pada PPAT. Penelitian ini menggunakan sumber hukum utama atau primer berupa PP PPAT, sumber hukum skunder seperti publikasi hukum, dan sumber hukum tersier seperti materi yang dapat diakses melalui internet. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, mengumpulkan data-data hukum, dianalisis, dan ditafsirkan.10

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Akibat Hukum Protokol PPAT Yang Terlambat Diserahkan Kepada Penerima Protokol

Kewenangan seorang PPAT adalah membuat akta sebagai bagian dari proses pendaftaran property, dokumen ini berfungsi sebagai dokumentasi bahwa prosedur hukum tertentu telah diikuti sehubungan dengan kepemilikan tanah. Peristiwa hukum yang dijelaskan sebelumnya selanjutnya akan dipergunakan untuk dasar mendaftarkan penggantian data dari pendaftaran tanah.11

Berikut ini terdapat beberapa jenis akta dalam hal ini menjadi tugas daripada seseorang PPAT sepadan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP PPAT.

“perbuatan hukum sebagaimana dimaskud paada ayat (1) adalah sebagai berikut:

  • a.    Hibah;

  • b.    Jual beli;

  • c.    Pembagian hak Bersama;

  • d.    Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

  • e.    Pemberian Hak Tanggungan;

  • f.    Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;

  • g.    Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan,

  • h.    Tukar menukar;”12

PPAT juga memiliki suatu kewajiban terkait administrasi guna menyimpan dan juga memelihara protokol PPAT. Protokol PPAT berdasarkan PP PPAT yaitu terdapat Akta Asli, Arsip Laporan, Kumpulan Akta, Warkah Pendukung Akta, Agenda, serta surat lain yang berhubungan dengan PPAT.

Protokol yang diselenggarakan di kantor PPAT terdiri dari:13

  • 1)    Pasal 56 Perka BPN mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Jabaan PPAT menyatakan bahwa:

“PPAT wajib membuat daftar akta dengan menggunakan 1 (satu) buku daftar akta untuk semua jenis akta yang dibuatnya, yang di dalamnya dicantumkan secara berurut nomor semua akta yanf dibuat berikut data lain yang berkaitan dengan pembuatan akta, dengan kolom-kolom sebagaimana dimaksud dalam contoh pada lampiran IX”

  • 2)    Pada pasal 25 ayat (1) PP PPAT menyatakan bahwa:

“Tiap-tiap halaman akta PPAT yang asli sebagaimna dimaksud pada pasal 21 ayat (3) yang disimpan oleh PPAT yaitu harus dijilid satu bulan sekali terdiri dari 50 lembar akta disetiap jilidnya dan memuat lembar-lembar akta sisanya pada bagian jilid terakhir”

Kemudian pada pasal 58 ayat (1) Perka BPN mengenai Ketentuan Pelaksanaan PP PPAT menyebutka bahwa:

“Akta autentik, surat dibawah tangan, atau dokumen lainnya yang dipakai sebagai dasar bagi penghadap sebagai pihak dalam perbuatan hukum yang dibuatkan aktanya dinyatakan dalam akta yang bersangkutan dan dilekatkan atau dijahitkan pada akta yang disimpan oleh PPAT”

  • 3)    Pada Pasal 60 Perka BPN terkait dengan Penentuan Pelaksanaan Peraturan Jabatan PPAT menyebutkan bahwa:

“Warkah yang merupakan dokumen yang dijadikan dasar pembuatan akta, selain akta autentik, surat dibawah tangan, atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dijilid tersendiri dalam bundle warkah pendukung yang masing-masing berisi warkah pendukung untuk 25 (dua puluh lima) akta.”

Contoh warkah antara lain akte perusahaan, fotokopi Kartu Tanda Penduduk, surat pemberitahuan PBB, sertifikat tanah, dan SPPT sebagai dasar pembanding yang dapat dibuktikan kebenarannya, keterangan objek hukum perbuatan, dan SPPT PBB yang dilekatkan dalam akta.

  • 4)    Mengenai penyimpanan laporan terdapat pada Pasal 62 Perka BPN mengenai Penentuan Pelaksanaan Peraturan Jabatan PPAT yaitu PPAT haruslah secara berkala mengirimkan pelaporan setiap bulanannya tentang seluruh dari akta yang telah dibuatnya, dengan batas waktu maksimal paling lama tanggal 10 (sepuluh) di bulan selanjutnya, terhadap Kepala Kantor BPN dan Kantor Wilayah.

  • 5)    Pada Pasal 114 Permen Agraria 3/1997 mengatur bahwa surat dalam hal dibuat oleh PPAT dalam rangka mendaftarkan akta dan dalam melaksanakan tugasnya seperti surat pengantar yang dijelaskan dokumen

  • 13 Isnaini, H., & Wanda, H. D. (2017). Prinsip Kehati-Hatian Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Peralihan Tanah yang Belum Bersertifikat. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 24(3), 467-487. doi: https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss3.art7, h. 54

yang berisi susunan surat-surat dalam hal ini diserahkan di kantor badan pertanahan guna proses mendaftarkan hak tanggungan.

  • 6)    Permen Agraria 3/1997 dan surat yang memberitahukan yang harus diberi oleh PPAT pada kedua belah pihak bahwasannya akta tersebut sudah terdaftar, dianggap sebagai bagian dari agenda dan surat PPAT.

Akta PPAT adalah kontrak, dan semua kontrak diatur oleh Pasal 1320 KUH Perdata, yang memutuskan konsekuensi hukum dari kondisi kontrak menggunakan terminologi subjektif dan objektif. Akta dapat dibatalkan jika kriteria subjektifnya tidak terpenuhi; namun demikian, jika syarat obyektifnya tidak terpenuhi, akta tersebut tidak dapat dianggap asli, jadi akibat hukum dapat ditimbulkan yaitu perjanjian itu akan dianggap batal demi hukum.

Pengalihan protokol PPAT kepada penerima protokol setelah lewat batas waktu penyampaian 30 hari dapat menimbulkan akibat hukum atas perlakuan tersebut. Pengajuan Protokol PPAT harus ditangani oleh orang yang ditetapkan langusng dari kepala daerah badan pertanahan provinsi sama halnya dengan peraturan perundang-undangan terkait hal ini telah berlaku. Pasal 28 ayat (1) PP PPAT menyatakan:

“Apabila PPAT meninggal dunia, salah satu ahli waris/anggota keluarga atau pegawainya wajib melaporkannya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu paling lambat dalam waktu 30 hari setelah PPAT tersebut meninggal dunia.”

Perihal belum ditunjuknya PPAT penerima Protokol dari Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi, kemudian keadaan tersebut sudah lewat atau lebih dari batas waktu yang sudah ditetapkan dari Peraturan Pemerintah, maka akan menimbulkan beerbagai akibat dari hukum, yaitu:

  • 1)    Terkait pertanggungjawaban mengenai menyimpankan protokol PPAT dalam hal ini telah meninggal dunia, karena belum diserahkannya protokol PPAT kepada penerima protokol maka hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap protokol PPAT tersebut.

  • 2)    Kemudian tidak terdapat kepastian hukum siapa yang bertanggungjawab apabila protokol PPAT yang sudah meninggal dunia tersebut hilang atau rusak.

  • 3)    Akibat hukum yang lain yang dapat timbul yaitu jika para penghadap yang mempunyai kepentingan dari akta yang dahulu sudah pernah dibuat dengan memakai jasa dari PPAT kemudian yang bersangkutan belum bisa mendapat salinan dari akta tersebut kembali, Jika pada suatu hari yang akan datang terjadi perselisihan antara kedua belah penghadap tersebut atau jika ada sesuatu kepentingan lain antara para pihak yang memiliki hubungan dari akta tersebut yang bersangkutan.

Mengacu pada ketentuan Pasal 28 PP PPAT yang diatur hanyalah terkait batas penyerahan protokol PPAT yang meninggal dunia yaitu dalam tenggat 30 (tiga puluh) hari kepada PPAT yang ditunjuk kepala Kantor wilayah BPN, namun terkait

sanksi apabila penyerahan protokol tersebut melebihi ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan diatas sama sekali tidak diatur, hal ini dapat dikatakan sebagai norma kosong.

  • 3.2 Kepastian Hukum Pengaturan PPAT Yang Tidak Bersedia Menerima Protokol

Definisi dari pengaturan pada teori ilmu hukum memiliki arti perundang-undangan dalam bentuk tertulis yaitu karena dibuat secara tertulis, jadi peraturan tersebut sebagai kaidah hukum yang lazim dikatakan hukum yang tertulis. Pejabat yang membentuk peraturan perundang-undangan atau pejabat yang memiliki wewenang dalam membuat peraturan tertulis yang berlaku mengikat atau bersifat memaksa secara umum (aglemeen). Maksud dari mengikat umum tersebut tidak diharuskan untuk hanya berlaku pada semua orang. Mengikat umum tersebut sebagai tanda bahwasanya peristiwa perundang-undangan tersebut tak dapat berlaku pada peristiwa yang konkret atau individu tertentu saja.

Pengaturan PPAT jika akan terbukti tidak dipatuhi oleh PPAT, jadi PPAT terkait bisa dijatuhkan hukuman administrasi dan hukuman perdata. Kondisi tersebut memiliki keterkaitan dengan perspektif antara lain:14

  • 1)    Kepastian tahun, hari, bulan, tanggal dan waktu kedatangan;

  • 2)    Para pihak saling berhadapan;

  • 3)    Salinan akta tidak sesuai dengan berita acaranya;

  • 4)    Tanda tangan para pihak;

  • 5)    Berita acara akta tidak ditandatangani secara lengkap, tetapi salinan akta telah diterbitkan.

PPAT pada saat mengemban tugasnya tanpa didasari dari aturan-aturan yang berlaku dan melakukan suatu pelanggaran, jadi PPAT tersebut bisa dikenakan sanksi pemberhentian secara tidak hormat. Hukuman yang bisa digunakan oleh PPAT tersebut jika sudah terbukti melangsungkan pelanggaran yaitu sanksi pidana. Menurut kepastian Pasal 10 PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, apabila PPAT diketahui melanggar larangan atau persyaratan PPAT secara berat, maka akan dikenakan sanksi disiplin.

PP PPAT pada Pasal 10 mengatur bahwa sesuai dengan putusan pengadilan dalam hal ini sudah mendapat kekuatan hukum tetap, jika seseorang melaksanakan sesuatu tindakan pidana pada hal ini memiliki ancaman hukuman maksimal lima tahun atau bahkan lebih, maka hukumannya adalah kurungan atau kurungan sebagai bentuk hukumannya.

pertanggungjawaban PPAT jika dilihat dari profesi bisa dibagi dua kategori, yakni pertanggungjawaban kode etik yang keterkaitan oleh etika dari profesi PPAT dan pertanggungjawaban hukum. Pertanggungjawaban tersebut mencakup tanggung jawab sesuai dengan hukum pidana, perdata dan juga hukum administrasi. Dari segi bestuurs bevoegdheid bisa digunakan untuk sudut pandang guna mengevaluasi

tanggungjawab PPAT dalam hal hukum administrasi terkait dengan penyerahan protokol PPAT.15

Analisis dari aspek profesionalitas PPAT dalam memegang kode etik dan pertanggungjawaban atas kewenangannya maka memang sudah seharusnya sesuai profesinya mengedepankan aspek ketaatan pada ketentuan untuk menerima protokol tersebut. Kajian ini terkait dengan secara moral dan integritas profesinya, Notaris atau PPAT ini berlandaskan nilai Pancasila dalam menyediakan kepastian hukum berdasarkan kewenangan yang diberikan negara pada Notaris.16

Pasal 29 ayat (1) PP PPAT menjelaskan bahwa “PPAT yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi untuk menerima protokol yang berhenti menjabat sebagai PPAT wajib menerima protokol PPAT tersebut”, dalam ketentuan Pasal tersebut sangat jelas mengatur bahwa penerimaan protokol PPAT merupakan hal yang wajib dan apabila PPAT tidak bersedia menerima penyerahan protokol tersebut maka hal tersebut melanggar ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) huruf b Permen ATR No. 2 Tahun 2018 tentang Pembinaan dan Pengawasan PPAT yang menjelaskan mengenai:

Ayat (1) “pengawasan berupa penegakan aturan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dilaksanakan atas temuan dari Kementerian terhadap pelanggaran pelaksanaan jabatan PPAT atau terdapat pengaduan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT.”

Ayat (2) huruf b “pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan: b. tidak melaksanakan kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Hukuman yang bisa diberlakukan kepada PPAT tersebut diatas, diatur pada ketetapan Pasal 13 ayat (1) Permen ATR No. 2 Tahun 2018 tentang Pembinaan dan Pengawasan PPAT yang mengatur mengenai: “Pemberian sanksi yang dikenakan terhadap PPAT yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dapat berupa:

  • a.    Terguran tertulis;

  • b.    Pemberhentian sementara;

  • c.    Pemberhentian dengan hormat; atau

  • d.    Pemberhentian denga tidak hormat.”

  • 4. Kesimpulan

Mengacu pada hasil pembahasan diatas maka terkait protokol PPAT yang terlambat diserahkan kepada penerima protokol disebutkan bahwa tidak terdapat sanksi yang dapat dijatuhkan dalam hal penyerahan protokol yang melebihi tenggat 30 (tiga puluh) hari jika mengacu dengan apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 28 PP PPAT tersebut atau dapat dikatakan bahwa terdapat kekosongan norma. Kemudian

terkait Kepastian hukum pengaturan PPAT yang tidak bersedia menerima protokol bisa dikenakai sanksi yaitu seperti pemberitahuan tertulis, pemberhentian hanya sementara, pemberhentian secara hormat atau secara tidak dengan hormat sebanding dari apa yang diatur pada ketentuan Pasal 13 ayat (1) Permen ATR No. 2 Tahun 2018.

Daftar Referensi

Buku:

Adjie, H. (2009), Hukum Notaris Di Indonesia, Bandung: PT. Refika Adiatama.

HS, Salim. (2016). Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Nurasa, A., & Mujiburohman, D.A. (2020). Tuntunan Pembuatan Akta Tanah.

Yogyakarta:  STPN Press.

Jurnal:

Cahyowati, R. R., & Djumardin, D. (2017). Kewenangan Camat Dan Kepala Desa Sebagai      Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ppat) Setelah   Berlakunya

Uujn. NOTARIIL Jurnal      Kenotariatan, 2(2),               84-100.               doi:

https://doi.org/10.22225/jn.2.2.349.84-100

Immanuella, C. N., & Hoesin, S. H. (2022). Akibat Hukum Terhadap Notaris/Ppat Terkait Perbuatan Melawan Hukum oleh Pegawai Notaris/Ppat (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Blitar Nomor 10/Pdt. G/2020/PN Blt). PALAR (Pakuan Law review), 8(1), 1-17. doi: https://doi.org/10.33751/palar.v8i1.4584

Isnaini, H., & Wanda, H. D. (2017). Prinsip Kehati-Hatian Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Peralihan Tanah yang Belum Bersertifikat. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 24(3), 467-   487. doi: https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss3.art7

Krisnayanti, N. N. C., Widiati, I. A. P., & Astiti, N. G. K. S. (2020). Tanggung Jawab Notaris      Pengganti dalam Hal Notaris yang Diganti Meninggal Dunia Sebelum

Cuti Berakhir. Jurnal       Interpretasi       Hukum, 1(1),       234-239.       doi:

https://doi.org/10.22225/juinhum.1.1.2218.234-239

Magang, M. (2019). Larangan Menggandakan Dokumen Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Bagi Calon PPAT yang. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(1). doi:10.24843/AC.2019.v04.i01.p05

Mahadewi, I., Laksmi, G. A. I., Padmawati, N. K. T., & Jayantiar, I. G. A. M. R. Notary in    Indonesia: How Are State Fundamental Values Reflected in Law and

Professional Ethics?. Udayana Journal    of Law    and    Culture, 6.    doi:

https://doi.org/10.24843/UJLC.2022.v06.i02.p05

Rahman, Y. P. (2019). Pengaturan Penyerahan Protokol Notaris Yang Telah Meninggal Dunia Dan Prakteknya Di Provinsi Sumatera Barat. JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 5(1), 1      17. doi: http://doi.org/10.33760/jch.v5i1.120

Saraswati, M. P., & Utama, I. M. A. (2018). Kedudukan Hukum Akta PPAT Setelah Terbitnya Sertipikat Karena Peralihan Hak Atas Tanah, Acta Comitas, 3(1), 26-40. doi: https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p03

Sari, R. M. P., Purnama, S., & Gunarto, G. (2018). Peranan PPAT Dalam Pensertifikatan Tanah Akibat Jual Beli. Jurnal Akta, 5(1), 241-246. doi: 10.30659/akta.5.1.241 - 246

Wibawa, K. C. S. (2019). Menakar Kewenangan dan Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Perspektif Bestuurs Bevoegdheid. CREPIDO, 1(1), 40-51. doi:   https://doi.org/10.14710/crepido.1.1.40-51

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Peraturan Pemerintah Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP Nomor 24 Tahun 2016 jo. PP Nomor 37 Tahun 1998, LN. No. 129 Tahun 2016, TLN No. 5893.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek]. 2021. Diterjemahkan oleh Soedharyo Soimin. Jakarta: Sinar Grafika.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2009 tentang Tata Naskah     Dinas dan Tata Kearsipan Di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional

Republik     Indonesia.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, LN. 1960/No. 104, TLN No. 2043, LL SETNEG 17HLM.

263