Arc. Com. Health • Desember 2022

p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620

Vol. 9 No. 3: 479 – 494

STUDI KUALITATIF PRAKTIK PEMBERIAN MAKAN BAYI USIA 0-2 TAHUN OLEH IBU YANG MENIKAH DINI DI KABUPATEN TABANAN BALI TAHUN 2020

Luh Erlanggita Narta Santi, Dinar Saurmauli Lubis, Desak Putu Yuli Kurniati

Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Jl. P.B. Sudirman, Dangin Puri Klod, Kec. Denpasar Barat, Kota Denpasar, Bali 80234

ABSTRAK

Status gizi baduta sering dikaitkan dengan praktik pemberian ASI dan MP-ASI. Ibu yang menikah dini cenderung lebih awal menghentikan pemberian ASI dibandingkan dengan ibu yang umurnya sudah terbilang cukup dewasa. Penelitian bertujuan untuk mengeskplorasi praktik pemberian makan pada baduta oleh ibu yang menikah dini di kabupaten Tabanan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan melakukan wawancara 5 ibu yang menikah dini beserta keluarga ibu sejumlah 5 orang informan pendukung. Analisis data menggunakan analisis tematik yaitu mengidentifikasi tema-tema dari transkrip wawancara dan hasil observasi maupun secara deduktif yaitu menggunakan teori planned behavior. Menggunakan triangulasi sumber dan metode. Hasil dari penelitian ini adalah semua informan penelitian tidak yang melakukan IMD, ASI Eksklusif, dan memberikan MPASI dini. Ibu tidak mengetahui mengenai teknik menyusui membuat beberapa ibu berhenti memberikan ASI. Adanya persepsi ketidakcukupan ASI yang mengakibatkan terjadinya pemberian MPASI dini. Ketidakberhasilan menyusui disebabkan kurangnya informasi dari petugas kesehatan serta dorongan keluarga dalam pemberian MPASI dini. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat hambatan dan dukungan dalam pemberian makan baduta oleh ibu menikah dini. Selain karena persepsi ibu, keluarga dan petugas kesehatan juga berperan dalam pemberian makan baduta.

Kata Kunci : Ibu Yang Menikah Dini, Hambatan, Dukungan

ABSTRACT

Baduta nutritional status is often associated with breastfeeding and complementary feeding practices. Young mother tended to stop breastfeeding earlier than mothers whose ages were mature. The research aims to explore the practice of feeding to baduta by young mother in Tabanan district. This study used a qualitative approach by conducting interviews with 5 mothers who were married early at the age of 19 years and under along with the mother's family of 5 supporting informants. The data analysis used thematic analysis, namely identifying the themes of the interview transcripts and the results of observations as well as deductively using planned behavior theory. Data triangulation was carried out by sources and methods. The results of this study are all research informants who do not perform IMD, exclusive breastfeeding, and provide early complementary foods. Mothers not knowing about breastfeeding techniques tended to stop breastfeeding. There is a perception of insufficient breastfeeding which results in early complementary feeding. The failure of breastfeeding is due to lack of information from health workers and encouragement from families in providing early complementary foods. The conclusion in this study is that there are obstacles and support in feeding baduta by young mothers. Apart from the perceptions of mothers, families and health workers also play a role in feeding baduta.

Key word : Young mother, Barriers, Support

PENDAHULUAN

Stunting merupakan salah satu permasalahan gizi di Indonesia. Hal ini sering berkaitkan dengan tidak optimalnya pemberian IMD, ASI dan MP-ASI. Tidak optimalnya pemberian makan pada baduta disebabkan karena ketidaksiapan ibu dalam mengurus baduta. Ketidaksiapan ibu ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengetahuan ibu yang kurang, ekonomi keluarga, dan umur ibu. Ibu yang menikah dini cenderung menghentikan

program ASI Eksklusif lebih awal dan melakukan MPASI dini (Khairunnisa, 2013). Kabupaten Tabanan berada pada peringkat ke-4 di Provinsi Bali dalam hal banyaknya kasus remaja hamil di usia muda. Remaja yang hamil usia < 20 tahun, sebanyak 71 jiwa dan remaja yang bersalin usia < 20 tahun sebanyak 45 jiwa, ini dapat mempengaruhi dari cakupan pola asuh dalam pemberian makan bayi usia 0-24

tahun (baduta) (Dinkes Kabupaten Tabanan, 2018).

Persentase ibu menginisiasi menyusui dini (IMD) di Kabupaten Tabanan tahun 2018 sebesar 44,8%, angka ini masih di bawah persentase pemberian IMD rata-rata di provinsi Bali yaitu sebesar 51%. Selain itu, cakupan ASI Eksklusif di Kabupaten Tabanan tahun 2018 juga ada di urutan terendah di Bali yaitu 61,9% (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2019). Cakupan ASI Eksklusif yang rendah ini dapat menjadi salah satu penyebab tingginya persentase pemberian MPASI dini. Ikatan Dokter Anak Indonesia (2015) menyatakan pemberian MPASI dini di Bali sebelum usia 4 bulan sebesar 18,4% dan pada usia 4-6 bulan sebesar 46,9%. MPASI dini dapat menyebabkan bayi mengalami masalah kesehatan, seperti tersedak makanan, hipersensitivitas makanan (alergi) karena saluran pencernaan yang belum matang, dan berkurangnya jumlah ASI yang dikonsumsi.

Ibu yang menghentikan pemberian ASI Eksklusif lebih awal dan MPASI dini ini menjadi salah satu penyumbang rendahnya persentase ibu yang menginisiasi menyusui dini (IMD), ASI Eksklusif dan tingginya persentase bayi yang diberikan MPASI terlalu dini. Hal ini tentu dapat menjadi salah satu penyebab meningkatnya masalah gizi pada balita.

Melihat situasi diatas, peneliti ingin melihat Gambaran Praktik Pemberian Makan Pada Bayi Usia 0-24 bulan (Baduta) Oleh Ibu Yang Menikah Dini Di Kabupaten Tabanan, Bali. Hal ini penting untuk diketahui untuk perbaikan ke program selanjutnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai Juni 2020 di kabupaten Tabanan. Informan dalam penelitian ini adalah lima orang ibu yang menikah dini atau yang menikah di usia 19 tahun kebawah dan memiliki bayi yang berusia 0 – 24 bulan (baduta) dan 5 orang anggota keluarga sebagai informan pendukung. Triangulasi sumber dilakukan dengan melakukan wawancara dengan informan pendukung. Triangulasi metode yakni    dengan    mengkombinasikan

pengumpulan data dengan metode wawancara dan observasi untuk mendukung data hasil wawancara.

Analisis data menggunakan teknik analisis tematik yaitu mengidentifikasi tema-tema yang terpola dalam suatu fenomena.   Data yang terkumpul

ditranskrip dan dikodingkan, lalu dibuat uraian analisis sesuai permasalah yang diteliti. Selanjutnya hasil analisis disajikan dan dihubungkan dengan penelitian terdahulu agar dapat ditarik kesimpulan. Penelitian ini telah dinyatakan layak etik oleh Komisi Etik Penelitian Litbang FK Unud/RSUP Sanglah dengan nomor 1172/UN14.2.2.VII.14/LT/2020.

HASIL

Karakteristik Informan

Informan dalam penelitian ini adalah ibu yang menikah dini atau yang menikah di usia 19 tahun kebawah dan memiliki bayi yang berusia 0 – 24 bulan (baduta). Penelitian ini mewawancarai 5 ibu beserta keluarga di kabupaten Tabanan yang masing-masing berasal dari

kecamatan Baturiti, Marga, Tabanan, Meliling, dan Selemadeg.

Usia informan saat menikah berada di antara usia 15-19 tahun. Usia saat menikah 19 tahun (satu orang), 18 tahun (dua orang), 16 tahun (satu orang) dan yang terkecil 15 tahun (satu orang). Adapun jumlah anak yang dimiliki informan adalah 1-2 orang dengan usia bayi yang berkisar 4-24 bulan. Selain itu, didapatkan juga status pendidikan terakhir informan diantaranya yaitu SMP (dua orang), SMA (dua orang), dan D1 (satu orang) dengan pekerjaan informan yang bervariasi seperti mahasiswa, pegawai toko, pedagang pasar, dan ibu rumah tangga. Sebagian besar informan tinggal bersama keluarga besar, hanya satu informan yang tinggal bersama keluarga inti (ayah, ibu, dan anak). Semua informan menikah di usia 19 tahun ke bawah, menurut Undang-undang 16 tahun 2019 tentang perkawinan, hal ini dikategorikan dengan pernikahan usia dini.

Ibu yang menikah dini memiliki praktik pemberian makan baduta yang tidak sesuai yaitu tidak ada informan yang melakukan IMD, ASI Eksklusif serta sebagian besar melakukan MPASI dini. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat dua orang informan yang menyatakan pemberian ASI baik sampai 2 tahun, namun kedua informan hanya memberikan ASI sampai satu tahun. Terdapat juga dua orang informan yang menyatakan pemberian ASI sebaik diberikan sampai bayi berusia 1 tahun, namun pemberiannya hanya diberikan selama 2 minggu sampai 5 bulan saja. Ada juga satu informan yang menyatakan pemberian ASI baik sampai 1

tahun, namun hanya diberikan satu bulan saja.

Alasan Menikah Dini

Alasan informan melakukan pernikahan dini antara lain karena dorongan keluarga dan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Berikut pernyataan informan :  “menantu saya

nikahnya kan umur 18tahun, kalo saya dulu sih umur 16 tahun sudah nikah. Makanya saya suruh anak saya cepet nikah biar pas punya anak kitanya masih muda” (IP2, 39 tahun) “Saya dulu pas SMA kelas 2 udah hamil karena kebablasan.” (IB5, 21 tahun)

Berdasarkan hal tersebut, kedua alasan informan melakukan pernikahan dini ini sesuai dengan penelitian Murcahya (2010) yang mengatakan bahwa pernikahan dini biasanya dilakukan karena ada dorongan keluarga untuk menutup aib keluarga yaitu kehamilan yang tidak diinginkan.

IMD

Kelima informan tidak ada melakukan praktik inisiasi menyusui dini setelah melahirkan (IMD). Terdapat alasan ibu tidak memberikan IMD antara lain karena ibu mengaku air susu yang tidak keluar, bayi sudah diberi susu formula, dan petugas kesehatan yang memisahkan bayi dari ibunya pasca melahirkan. Persepsi Informan Tentang IMD

Berdasarkan hasil penelitian terdapat variasi jawaban mengenai alasan pentingnya menyusui pasca melahirkan (IMD) antara lain karena dorongan dari keluarga informan dan petugas kesehatan. Selain itu, agar bayi tidak dehidrasi dan menurut informan menyusui pada umumnya dilakukan oleh para ibu sesaat setelah melahirkan. Berikut pernyataan

informan : “Bayi dikasih ASI setelah ibunya melahirkan tu kata menurut saya biar bayinya nga dehidrasi” (IP2, 39 tahun)

Walaupun sebagian besar informan setuju bahwa menyusui setelah melahirkan (IMD) itu penting, namun dalam praktiknya tidak ada informan yang melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Hal ini terjadi salah satunya karena produksi air susu terhambat.

Hambatan dan Dorongan dalam IMD

Hambatan yang dialami informan dalam menginisiasi menyusui antara lain karena ibu dan bayi dipisahkan pasca melahirkan, puting susu yang tidak keluar, dan air susu tidak lancar. Berikut pernyataan informan : “Pas anak kedua habis melahirkan saya sama bayi saya dipisah, bayi saya di kereta bayi, saya disebelahnya. Terus bayi saya dikasih vitamin ato apa gitu saya lupa, baru setelah 1 jam saya baru dikasih menyusui sama petugasnya” (IB5, 21 tahun) “Puting susu saya tidak mau keluar jadinya bayinya gabisa disusui. Akhirnya setelah beberapa jam perawatnya menyarankan saya untuk memberikan susu formula” (IB3, 16

tahun)

Ibu yang mengalami permasalahan puting susu tidak keluar maupun produksi ASI sebenarnya dapat dibantu dengan pijat oksitosin atau pijat payudara oleh petugas kesehatan di fasilitas kesehatan. Namun solusi yang ditawarkan hanya dengan pemberian susu formula. Pemberian susu formula ini tentu mengakibatkan ketidakberhasilan inisiasi menyusui dini (IMD).

Praktik Pemberian ASI

WHO menyatakan bahwa ASI Eksklusif merupakan pemberian ASI tanpa tambahan makanan atau minuman.

Akan tetapi, semua informan dalam penelitian ini telah memberikan susu formula pasca melahirkan sebagai pengganti ASI. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa semua informan tidak ada yang melakukan ASI Eksklusif. Persepsi Informan Tentang ASI Eksklusif & ASI

Banyak informan yang mengaku tidak mengetahui tentang ASI Eksklusif. Namun, sebagian besar berpendapat bahwa pemberian ASI harus dilakukan minimal 6 bulan tanpa tambahan makanan. Semua informan mengatakan bahwa ASI sangat penting diberikan kepada bayi. Menurut informan ASI penting karena mengandung nutrisi yang baik untuk bayi, meningkatkan     kekebalan     tubuh,

mendukung pertumbuhan bayi, dan meningkatkan kecerdasan. Salah satu keluarga informan juga mengatakan bahwa ASI lebih bagus dibandingkan susu formula dan mencegah bayi agar tidak mudah sakit. Berikut pernyataan informan : “ASI penting karena kalau mengkonsumsi

ASI anak jadi lebih susah sakit. Menurut saya, anak yang mengkonsumsi susu formula daya tahan tubuhnya lebih lemah. Tapi kalau dikasih ASI saja juga kayaknya kurang cukup” (IB5, 21 tahun)

Sebagian     besar     informan

menganggap ASI adalah makanan terbaik bayi, namun masih terdapat persepsi ketidakcukupan ASI (PKA). Salah satu informan menyatakan bahwa ASI tanpa tambahan makanan penting diberikan kepada bayi, namun menurut informan ASI masih dianggap tidak cukup memenuhi nutrisi bayi sampai 6 bulan. Hal ini akhirnya menyebabkan pemberian makanan pendamping ASI dilakukan di

usia 5 bulan (MPASI dini). Selain itu ada pula informan yang menyatakan pemberian ASI penting diberikan hingga bayi berusia 1 tahun, namun dalam praktiknya bayi hanya diberikan ASI sampai usia 1 bulan saja. Tidak sejalannya persepsi ibu dengan praktik pemberian makan disebabkan karena ibu mengalami berbagai hambatan.

Hambatan dan Dorongan Dalam Pemberian ASI

Berdasarkan hasil penelitian, semua informan tidak memberikan ASI Eksklusif kepada bayi. Hal ini terjadi karena semua informan telah memberikan susu formula pasca melahirkan. Menurut pengalaman informan terdapat variasi hambatan dan dorongan dalam pemberian ASI.

Terdapat dua informan yang mengakui bahwa hambatan yang dialami ibu karena produksi ASI yang tidak lancar walaupun telah mengupayakan dengan mengkonsumsi pil maroko, sayur kayu manis, sayur kelor, dll. Hal ini dapat terjadi karena ketidaktahuan ibu mengenai teknik menyusui yang benar. Ketidaktahuan ibu mengenai menyusui sebenarnya dapat dibantu oleh petugas kesehatan dengan memberikan informasi cara menyusui yang benar dan mempraktikan teknik memijat payudara yang meningkatkan produksi ASI kepada ibu yang baru melahirkan. Namun informasi tersebut tidak didapatkan oleh kedua ibu dari petugas kesehatan.

Adapun salah satu informan yang memberikan ASI disertai dengan susu formula. Informan mengaku bahwa pemberian susu formula hanya diberikan saat informan tidak bersama bayi karena memiliki kesibukan. Informan mengaku

tidak pernah menyetok ASI karena tidak memiliki alat pendingin yang dapat mempertahankan kualitas ASI, sehingga informan akhirnya memutuskan susu formula sebagai pengganti ASI saat ibu tidak bersama bayi.

Akan tetapi, terdapat juga dua informan yang pada akhirnya hanya memberikan ASI (tanpa susu formula) kepada bayi sampai berusia 5 bulan. Hal ini didorong karena produksi ASI informan yang semakin membaik di hari berikutnya pasca melahirkan. Produksi ASI yang lancar ini juga diakui dibantu dengan mengkonsumsi makanan yang dianjurkan keluarga yaitu sayur daun kelor, sayur kayu manis, kacang hijau, dll.

Persepsi ibu yang cukup positif mengenai ASI juga menjadi salah satu pendorong lamanya pemberian ASI. Menurut kedua informan, ASI baik diberikan sampai berusia 2 tahun. Hal ini akhirnya membuat kedua informan melanjutkan pemberian ASI sampai bayi berusia 1 tahun lebih serta didampingi juga dengan makanan tambahan.

Praktik Pemberian MPASI

Menurut WHO makanan pendamping ASI (MPASI) di diberikan saat bayi mulai memasuki usia 6 bulan. Akan tetapi, hampir semua informan memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) kurang dari 6 bulan atau dapat disebut MPASI dini. MPASI dini ini terjadi karena salah satunya persepsi ketidakcukupan ASI (PKA). Ada juga karena ketidaktahuan ibu mengenai teknik menyusui yang mengakibatkan ibu memutuskan untuk memberikan susu formula saja. Ada pula karena dorongan

keluarga. Hanya terdapat satu informan yang memberikan MPASI di usia 6 bulan. Persepsi Infroman tetang MPASI

Berdasarkan hasil penelitian terdapat berbagai perspektif mengenai pentingnya pemberian MPASI antara lain mendukung     petumbuhan     bayi,

mengandung nutrisi yang    baik,

meningkatkan kekebalan, meningkatkan kecerdasan, dan membuat bayi tidak mudah terkena alergi. Berikut pernyataan informan : “Makanan pendamping itu penting karena untuk mendukung pertumbuhannya dan perkembangan bayi” (IB4, 21 tahun) “Makanan tambahan tu saya kasih supaya cucu saya bisa makan semua makanan biar ga kena alergi” (IP2, 39 tahun)

Semua informan dalam penelitian ini juga berpendapat bahwa makanan pendamping sebaiknya diberikan saat bayi berusia 6 bulan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi WHO yaitu MPASI sebaiknya mulai diberikan kepada bayi di usia 6 bulan. Berikut pernyataan informan : “Mulai 6 bulan tapi saya mulai kasih sufor umur 1 bulan karena puting saya tidak mau keluar jadinya bayinya susah menyusui dan disaranin juga sama perawat atau bidannya disana” (IB3, 16 tahun)

“Mulai 6 bulan, saya dikasih tau orang puskesmas yang sering datang ke rumah (Kader)” (IB4, 21 tahun)

Akan tetapi hal ini tidak menjamin informan tidak melakukan MPASI dini. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar informan memberikan MPASI kurang dari 6 bulan, bahkan terdapat satu informan yang memberikan MPASI saat bayi masih berusia 3 bulan.

Hambatan dan Dorongan Ibu dalam MPASI

Pemberian MPASI yang dilakukan kurang dari usia 6 bulan tentu dapat dikatakan sebagai pemberian MPASI dini. Hal ini terjadi karena sebagai berikut :

  • 1.    Menghemat Biaya & Susu Formula Dianggap Tidak Memenuhi Nutrisi

Ibu yang tidak menyusui dan memberikan anaknya susu formula lambat laun memberatkan ibu dari segi ekonomi. Sehingga    menyebabkan    beberapa

informan akhirnya memutuskan segera memberikan MPASI karena susu formula dianggap tidak memenuhi nutrisi bayi. Pemberian MPASI dini juga didorong oleh keluarga informan. Berikut pernyataan informan :“Soalnya kalau buat susu kasian nanti cepet basi, dan susu sekarang mahal. Selain itu juga menurut mertua saya susu formula kan kurng vitaminnya jadi saya kasih makanan aja mendingan” (IB1, 20 tahun)

  • 2.    Bayi Berhenti Mengkonsumsi ASI

Berdasarkan    hasil    wawancara

mengenai hambatan dan dorongan dalam pemberian ASI, terdapat satu informan yang sempat menghentikan pemberian ASI selama 2 minggu. Pemberhentian ASI ini mengakibatkan bayi tidak lagi mau mengkonsumsi ASI karena menurut ibu bayi sudah lupa dengan rasa ASI. Hal ini yang membuat ibu untuk mulai memberikan MPASI di usia bayi 5 bulan

  • 3.    Adanya Persepsi Ketidakcukupan ASI (PKA)

Berdasarkan hasil penelitian terdapat informan yang menyatakan bahwa ASI kurang memenuhi nutrisi bayi hingga 6 bulan. Hal ini yang menyebabkan ibu memberikan MPASI di usia 5 bulan (MPASI dini). Berikut pernyataan informan : “Saya ngasih anak saya makan mulai 5 bulan,

soalnya menurut saya ASI aja tu ga cukup” (IB5, 21 tahun)

Persepsi ketidakcukupan ASI ini terjadi pada ibu yang memiliki 2 anak. Ibu 2 anak semestinya memiliki pengalaman pemberian makan anak pertama yang lebih , namun ibu ternyata masih menganggap ASI tidak cukup memenuhi nutrisi bayi sampai 6 bulan.

  • 4.    Membiasakan Bayi Mulai Makan

Menurut salah satu keluarga inform, alasan pemberian MPASI dini dilakukan adalah untuk membiasakan bayi mulai makan, mencegah bayi mengalami alergi, dan membuat bayi tidak kaget saat diberikan makanan. Hal ini menyebabkan beberapa informan sudah diberikan MPASI sedini mungkin. Berikut salah satu pernyataan keluarga informan : “Pas usia 4 bulan tu udah saya cobain macem-macem biar dia ga pilih-pilih makanan pas udah gede” (IP2, 39 tahun)

Walaupun sebagian besar keluarga informan mendorong pemberian MPASI dini, namun terdapat juga informan yang menolak saran dari keluarga untuk MPASI dini. Hal ini terjadi karena sebelumnya ibu telah terpapar informasi melalui internet tentang pemberian MPASI yang benar. Awalnya di bulan ke-4 bayi salah satu informan diberikan sari buah apel oleh ibu mertua, namun hal ini ternyata berefek buruk pada bayi, bayi mengalami mencret setelah mengkonsumsi sari buah di usia ke-4 bulan. Hal tersebut menyebabkan informan lebih membatasi ibu mertua yang mencoba memberikan makan sebelum berusia 6 bulan.

Berdasarkan hambatan dan dorongan ibu dalam pemberian makan diatas dapat disimpulkan bahwa semua informan mulai memberikan makanan pendamping saat bayi berusia antara 3-6 bulan. Hal ini

terjadi karena didorong oleh berbagai alasan yaitu untuk menghemat biaya susu formula, membiasakan bayi mulai makan, ASI dianggap kurang memenuhi nutrisi, dan mertua yang terlanjur memberikan bayi makanan tambahan.

Norma sosial dan dukungan keluarga dalam menginisiasi menyusui (IMD) dan pemberian makan (ASI dan MPASI)

Terdapat dukungan keluarga dan petugas kesehatan yang berperan dalam pemberian makan baduta. Keluarga memberikan dukungan dengan memberikan saran atau tips pemberian makan bayi, cara memperlancar produksi ASI, cara merawat bayi yang benar, dan membantu informan menjaga bayi saat ibu sedang tidak bersama bayi karena memiliki kesibukan. Berikut pernyataan informan : “Biasanya mertua saya sih yang jagain anak saya pas saya kuliah. Kalau suami kerja soalnya” (IB4, 21 tahun)

Selain membantu menjaga bayi, keluarga juga biasanya menyarankan ibu untuk meminum minuman tradisional seperti jamu, loloh, atau makanan dari daun kayu manis dan daun kelor yang dipercaya meningkatkan produksi ASI. Hal ini ternyata mempermudah beberapa informan dalam pemberian makan. Beberapa informan mengaku setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang disarankan keluarga, ternyata berhasil meningkatkan produksi ASI ibu. Produksi ASI yang meningkat menyebabkan dua informan berhasil memberikan bayi ASI sampai berusia 1 tahun lebih. Berikut pernyataan informan : “Saya kasih menantu saya loloh atau sayur daun kelor dama kayu manis biar ASI makin

lancar juga. Itu juga sudah resep turun menurun” (IP4, 48 tahun)

Akan tetapi, penentuan keputusan yang didominasi keluarga dapat mengakibatkan ibu tidak bisa menentukan keputusan dalam pemberian makan bayinya.

Selain dukungan keluarga, terdapat juga dukungan petugas kesehatan. Dukungan petugas kesehatan yang ibu dapatkan antara lain adalah saran untuk memeriksa kehamilan rutin, membawa bayi ke posyandu, dan informasi mengenai pemberian ASI & MPASI yang benar. Berikut pernyataannya: “Saya dikasih tau kader katanya harus rajin ke posyandu, trus bayi mulai makan pas umur 6 bulan gitu” (IB3, 16 tahun)

Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian mengenai hambatan dan dorongan dalam pemberian IMD, beberapa informan ada yang tidak mendapatkan dukungan petugas kesehatan dalam menginisiasi menyusui karena pada saat melahirkan bayi dipisahkan dengan ibu sehingga informan tidak bisa menyusui bayinya sesaat setelah melahirkan.

DISKUSI

Karakteristik Ibu Yang Menikah di Usia 19 Tahun Kebawah

Semua informan dalam penelitian ini melakukan pernikahan di usia 19 tahun ke bawah. Menurut undang - undang 16 tahun 2019 tentang Perkawinan pada Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa semua informan melakukan pernikahan dini. Pernikahan dini

dilakukan karena adanya dorongan keluarga dan kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan penelitian (Murcahya, 2010) yang mengatakan bahwa pernikahan dini dapat terjadi karena keinginan keluarga untuk menutupi kehamilan yang tidak diinginkan.

Menikah di usia dini juga membuat ibu cenderung menghentikan ASI lebih cepat. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan persepsi yang positif dari sebagian besar ibu tentang lamanya pemberian ASI yang baik untuk bayi. Sebagian besar ibu mengatakan lama pemberian ASI yang baik berikisar 6 – 24 bulan. Akan tetapi persepsi tidak sejalan dengan perilaku ibu, karena masih terdapat ibu yang memberikan ASI tidak sampai usia 6 bulan. Pernyataan ini didukung dengan penelitian Arini (2012) yang menyatakan bahwa semakin muda usia ibu maka pemberian ASI kepada bayi cenderung semakin singkat. Hal ini terjadi karena tuntutan sosial, kejiwaan ibu yang tidak siap dan tekanan sosial yang dapat mempengaruhi produksi ASI. Informan dalam penelitian ini juga mengaku bahwa tidak sejalannya persepsi ibu dengan perilakunya dikarenakan mengalami berbagai hambatan, salah satunya yaitu produksi air susu yang tidak maksimal. Niat Ibu dalam Praktik Pemberian Makan Pada Baduta

Penelitian ini menggunakan Teori Planned Behavior dimana Attitude towards the behavior atau dalam penelitian ini dikategorikan sebagai persepsi dalam praktik pemberian makan pada baduta. Subjective Norm atau dalam penelitian ini dikategorikan dalam norma sosial &

dukungan keluarga. Perceived behavioral control yang dalam penelitian ini dikategorikan sebagai hambatan dan dorongan ibu dalam praktik pemberian makan pada baduta.

Persepsi ibu mengenai inisiai menyusui (IMD) dan pemberian makan (ASI & MPASI) pada baduta

Berdasarkan hasil penelitian, semua informan tidak melakukan IMD karena masih kurangnya informasi mengenai pentingnya menginisiasi menyusui dini. Ketidakberhasilan menginisiasi menyusui (IMD) ini sejalan dengan penelitian Lestari (2014) dimana disebutkan bahwa ibu yang kurang memahami informasi tentang IMD memiliki risiko 4,4 kali mengalami kegagalan IMD dibandingkan ibu yang memahami informasi tentang IMD. Kurangnya informasi tentang pentingnya pemberian IMD dapat disebabkan karena informan tidak terpapar informasi yang cukup sebelum persalinan.

Selain kurangnya informasi, terdapat juga dorongan dari petugas kesehatan dan keluarga untuk memberikan susu formula. Keluarga yang mendorong ibu memberikan susu formula menganggap sufor mengandung nutrisi yang baik dan mampu menambah berat badan bayi dan membuat bayi lebih gemuk. Dorongan keluarga (subjective norm dan social norm) ini pada akhirnya membuat ibu setuju untuk memberikan susu formula pada bayinya. Lemahnya keyakinan ibu terhadap ASI dapat dipengaruhi oleh doktrin anggota keluarga yang pada umumnya sering mengasuh bayi saat ibu sibuk (Kusumaningrum, 2017)

Kurangnya informasi mengenai IMD dan adanya dorongan untuk memberikan susu formula oleh petugas kesehatan tentunya tidak sesuai dengan standar 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM) di pelayanan kesehatan. Pemberian susu formula di instansi pelayanan kesehatan dapat memberikan pengaruh negatif terhadap ibu yang memiliki masalah dalam menyusui, hal ini juga dapat menurunkan keyakinan ibu untuk memberikan ASI Eksklusif (Kurniawan, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pentingnya ASI dan MP-ASI didapatkan bahwa sebagian besar informan setuju bahwa ASI dan MPASI penting diberikan untuk memenuhi nutrisi yang dibutuhkan bayi. Hal ini menggambarkan bahwa informan memiliki sikap yang positif terhadap ASI & MPASI. Namun sikap yang positif ini belum tentu menghasilkan perilaku pemberian ASI yang sama positifnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ransum (2018) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara sikap ibu dengan pemberian ASI. Sikap belum otomatis terwujud dalam sutau tindakan. Terwujudnya sikap agar menjadi tindakan nyata diperlukan faktor dukungan dari pihak-pihak tertentu, seperti tenaga kesehatan dan orang-orang terdekat ibu (Haurissa dkk 2015). Namun hal ini berbeda dengan penelitian Mamonto (2015) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sikap dengan pemberian ASI.

Adapun informan yang tidak dapat memberikan ASI disebabkan karena mengalami berbagai hambatan, antara lain

produksi ASI dan kesulitan dalam menyusui. Meningkatkan produksi ASI sebenarnya dapat dibantu dengan pijat payudara atau oksitosin. Selain itu kesulitan dalam menyusui juga dapat disebabkan karena ketidaktahuan ibu mengenai cara menyusui yang benar. Menurut penelitian Kurniawan, ditemukan bahwa keinginan dan kepercayaan diri ibu yang kuat untuk menyusui akan mendorong ibu untuk mempelajari teknik menyusui yang benar agar dapat memberikan bayinya ASI (Kurniawan, 2013). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa, terhambatnya pemberian ASI dapat terjadi karena persepsi ibu yang kurang terhadap ASI dan kurangnya kepercayaan diri untuk menyusui sehingga ASI dianggap tidak cukup untuk memenuhi nutrisi bayi. Hal ini sejalan dengan penelitian Prabasiwi dkk (2015) yang menyebutkan bahwa salah satu penyebab kegagalan pemberian ASI Eksklusif adalah karena ibu menyusui merasa ASI-nya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayinya.

Persepsi ketidakcukupan ASI dapat mempengaruhi ibu dalam menentukan waktu mulai memberikan MPASI. Teori Green juga mengatakan persepsi merupakan salah satu faktor predisposisi perilaku individu. Persepsi tersebut didasari oleh berbagai pendapat ibu yang menyatakan bahwa ASI tanpa makanan atau minuman tambahan kurang memenuhi nutrisi bayi.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar informan mengetahui manfaat ASI dan mengetahui usia ideal bayi mulai diberikan MPASI. Namun dalam praktiknya, masih terdapat

informan yang melakukan MPASI dini. MPASI dini diberikan karena beberapa informan masih memiliki persepsi ketidakcukupan ASI.

Walaupun semua informan tidak ada yang melakukan ASI Eksklusif, masih terdapat juga dua informan yang megupayakan pemberian ASI diatas 6 bulan. Kedua informan memberikan ASI dengan durasi paling lama yaitu selama satu tahun lebih. Salah satu informan yang memberikan ASI sampai usia satu tahun merupakan informan yang telah memiliki dua orang anak. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa ibu yang memiliki dua orang anak cenderung lebih lama menyusui. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Destriatania, dkk (2013) dan Bai D L. dkk (2015) dimana wanita multiparitas atau memiliki anak lebih dari satu yang sebelumnya dan pernah memberikan ASI >3 bulan cenderung akan memberikan ASI pada anak selanjutnya lebih lama.

Hambatan dan Dorongan dalam Menginisiai Menyusui Dini & Pemberian ASI

Berdasarkan hasil penelitian, semua informan memberikan susu formula pasca melahirkan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan standar pemberian Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Mengacu pada pernyataan WHO dan Kemenkes RI, IMD merupakan proses pemberian ASI kepada bayi dalam 30 sampai 60 menit pertama setelah bayi dilahirkan (Kemenkes RI, 2010).

Adapun hambatan yang dialami yaitu produksi ASI yang tidak lancar dan puting susu yang tidak keluar. Produksi ASI yang dianggap kurang menyebabkan

ibu akhirnya memberikan susu formula agar bayi tidak kelaparan dan dehidrasi.

Pemberian susu formula juga didukung oleh keluarga dan petugas kesehatan karena dianggap sebagai solusi dari permasalahan kurangnya produksi ASI ibu. Pemberian susu formula setelah melahirkan ini tentu tidak sesuai dengan anjuran pemberian Inisiasi Menyusui Dini (IMD) yaitu pemberian ASI kepada bayi dalam 30 sampai 60 menit pertama setelah bayi dilahirkan (Kemenkes RI, 2010). Sehingga dapat dikatakan bahwa semua informan tidak melakukan IMD.

Selain produksi ASI yang kurang, ketidakberhasilan pemberian IMD juga dikarenakan kurangnya dukungan petugas kesehatan. Berdasarkan hasil wawancara, ketidakberhasilan IMD dikarenakan adanya pemisahan antara bayi dan ibu sesaat setelah melahirkan. Menurut pengalaman ibu, pemisahan antara ibu dan bayi sesaat setelah melahirkan dilakukan oleh petugas kesehatan karena bayi masih diberikan vitamin. Padahal IMD sangat penting diberikan karena memiliki kandungan nutrisi yang sempurna untuk bayi dan dapat mempengaruhi keberhasilan pemberian ASI Eksklusif di bulan selanjutnya (Pricilla & Elmatris, 2011)

Selain itu, didapatkan juga masih kurangnya dukungan petugas kesehatan dalam menolong informan yang mengalami kesulitan merangsang produksi ASI di payudara saat ingin menyusui. Produksi ASI yang kurang dapat disebabkan karena teknik menyusui yang salah dan belum terangsangnya payudara untuk mengeluarkan ASI. Puting susu ibu yang tidak mengeluarkan ASI sebenarnya

dapat di atasi dan dirangsang dengan pijat payudara atau yang disebut pijat oksitosin. Pijat oksitosin merupakan pijatan untuk merangsang hormon oksitosin setelah melahirkan sehingga dapat mengurangi sumbatan pada puting susu (Biancuzzo, 2003; Indiyani, 2006; Yohmi & Roesli, 2009 dalam Mardiyaningsih, 2010). Akan tetapi, solusi yang ditawarkan petugas kesehatan kepada sebagian besar informan hanyalah memberikan susu formula pada bayi. Hal ini sesuai dengan penelitian Adam dkk & Rusada dkk (2016) yang menyatakan bahwa dukungan petugas kesehatan mempengaruhi keberhasilan ibu dalam melakukan Inisiai Menyusui Dini (IMD) (Adam dkk, 2016; Rusada dkk, 2016). Kurangnya dukungan petugas kesehatan dalam membantu ibu melakukan IMD tentunya tidak sesuai 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM). Sedangkan fasilitas kesehatan seharusnya wajib melaksanakan standar 10 LMKM.

Inisiasi Menyusui Dini (IMD) selanjutnya dapat mempengaruhi pemberian ASI Eksklusif. Penelitian Irawan menyatakan ibu yang melaksanakan IMD memiliki peluang 5 kali lebih banyak untuk memberikan ASI ekslusif daripada ibu yang tidak melaksankan IMD (Irawan, 2018). Berdasarkan hasil penelitian, informan yang tidak melakukan IMD, di bulan selanjutnya juga tidak memberikan ASI Eksklusif. Hal ini terjadi karena di setelah melahirkan bayi sudah diberikan susu formula. Mengacu pada pernyataan WHO dan Kemenkes RI, ASI eksklusif adalah pemberian ASI kepada bayi mulai dari hari pertama air susu ibu keluar (kolostrum) sampai bayi berusia enam bulan tanpa tambahan makanan dan

minuman apapun kecuali obat dan vitamin (Kemenkes RI, 2010). Berdasarkan hal tersebut, Pemberian susu formula pasca melahirkan tentu dapat dikatakan bahwa smua informan penelitian ini tidak ada yang melakukan ASI Eksklusif.

Walaupun dikatakan sudah tidak dapat memberikan ASI Eksklusif, akan tetapi masih terdapat ibu yang tetap memberikan ASI sampai bayi memasuki usia mulai diberi makanan tambahan. Ketidakberhasilan pemberian ASI Eksklusif tidak membuat sebagian informan berhenti total memberikan ASI (non-eksklusif). Terdapat dua informan tetap melanjutkan pemberian ASI hingga bayi berumur 1 tahun lebih, bahkan mengupayakan pemberian ASI dari umur bayi 0 - 5 bulan tanpa tambahan makanan/minuman. Kedua informan tersebut merupakan informan yang sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa. Hal ini dapat menggambarkan bahwa semakin tinggi pendidikan semakin besar peluang ibu memberikan ASI lebih lama kepada bayi. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian (Anitasari, 2012) dan Hartanti (2014) yang menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi peluang ibu dalam pemberian ASI. Namun, berbeda dengan penelitian (Oselaguri, 2012) dimana menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemberian ASI. Hal ini dapat mempengaruhi karena adanya faktor budaya dan kebiasaan masyarakat yang beranggapan ASI tidak akan mencukupi kebutuhan bayi, sehingga perlu diberikan tambahan makanan. Sedangkan penelitian Oselaguri (2012) ini sesuai dengan pengalaman salah satu informan yang

telah menempuh pendidikan tinggi sampai Diploma 1 namun dalam keputusan pemberian ASI nya tidak seperti dua infroman yang memberikan ASI sampai 5 bulan. Pemberian makan bayi didominasi oleh keluarga khususnya ibu mertua.

Selain ibu yang berhasil memberikan ASI walaupun tidak ASI Eksklusif, terdapat juga informan yang sulit memberikan ASI pada bayinya. Adapun hambatan yang dialami yaitu produksi ASI yang tidak lancar. Terdapat dua informan yang mengaku sudah mengupayakan dengan mengkonsumsi pil maroko, sayur kayu manis, sayur kelor, dll namun hasilnya tidak maksimal. Hal ini dapat terjadi karena ketidaktahuan ibu mengenai teknik menyusui yang benar. Ketidaktahuan ibu mengenai menyusui sebenarnya dapat dibantu oleh petugas kesehatan dengan memberikan informasi cara menyusui yang benar dan mempraktikan teknik memijat payudara yang meningkatkan produksi ASI kepada ibu yang baru melahirkan. Namun informasi tersebut tidak didapatkan oleh kedua ibu dari petugas kesehatan. Selain itu ketidakberhasilan pemberian ASI juga karena dukungan keluarga dalam pemberian susu formula. Keluarga mengaggap pemberian susu formula lebih baik dibandingkan hanya memberikan ASI saja. Susu formula dianggap lebih bernutrisi dan membuat bayi lebih gemuk. Lemahnya keyakinan ibu untuk pemberian ASI Eksklusif juga dapat disebabkan oleh doktrin para anggota keluarga yang pada umumnya mengasuh sang bayi, seperti nenek atau tetangga terdekat di mana bayi perlu diberikan tambahan susu formula supaya cepat gemuk meskipun sang ibu

memiki kapasitas menyusui dengan baik. (Kusumaningrum, 2017)

Hambatan dan Dorongan dalam Pemberian MPASI Baduta oleh Ibu Yang Menikah Dini

Pemberian MPASI oleh sebagian besar informan dilakukan sebelum bayi berusia 6 bulan. Hal ini tidak sesuai dengan anjuran WHO yang menyatakan bahwa bayi sebaiknya diberikan makanan tambahan saat berusia 6 bulan. Pemberian MP-ASI didorong oleh beberapa faktor, yaitu persepsi ibu yang menyatakan bahwa bayi yang hanya mengkonsumsi susu formula maupun ASI tidak cukup memenuhi nutrisi harian bayi, ada juga informan yang ingin mengurangi pembelian susu formula dikarenakan dari hasil observasi, informan kekurangan dari segi ekonomi. Selain itu ada pula yang yang melakukan MP-ASI dini karena intervensi dari keluarga khususnya ibu mertua atau nenek dari bayi.

Informasi dari petugas kesehatan yang kurang juga dapat mendukung perilaku ibu dalam pemberian makan pada bayi. Bahkan kunjungan ke pelayanan kesehatan tidak menjamin mereka mendapatkan informasi yang adekuat khususunya mengenai IMD dan ASI Eksklusif. Hal ini menjadi tanda bahwa Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan ASI Eksklusif belum menjadi prioritas yang tinggi bahkan bagi petugas kesehatan sendiri untuk diinformasikan secara lengkap pada informan.

Namun keterbatasan informasi yang didapat dari petugas kesehatan disiasati salah satu informan dengan mencari informasi di internet. Informan yang kini sedang menempuh bangku

perkuliahan memiliki inisiatif dalam mencari informasi yang lebih besar dibandingkan ibu yang pendidikan terakhirnya SMP. Informan yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi cenderung mudah menerima informasi baru, mereka akan aktif mencari informasi-informasi yang berguna untuk anaknya seperti ASI Eksklusif. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka akses untuk mencari informasi akan tinggi pula (Prasetyo, 2009).

Norma sosial dan dukungan keluarga yang mempengaruhi ibu yang menikah dini dalam memberikan makan pada Baduta

Menurut teori Snehendu B. Kar yang mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku sesorang juga dipengaruhi oleh dukungan sosial salah satunya dapat dikatakan adalah dukungan keluarga maupun petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

Keluarga khususnya ibu mertua biasanya membantu dalam menjaga bayi dan memberikan bayi makanan atau minuman saat bayi tidak bersama ibu. Penelitian Oktalina (2016) juga menyatakan bahwa adanya hubungan antara peran keluarga dengan praktik pemberian makan pada anak. Akan tetapi apabila pengaruh keluarga yang terlalu dominan dapat menyebabkan penentuan keputusan pemberian makan pada bayi yang harusnya dilakukan oleh ibu, kini beralih di dominasi oleh ibu mertua selaku nenek dari bayi.

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar ibu mertua tidak mendukung ibu secara maksimal untuk memberikan ASI kepada bayi,

dikarenakan sebagian besar ibu mertua dari informan menerapkan kebiasaan dan kepercayaan sesuai pengalaman mengurus anak mereka terdahulu. Salah satunya seperti memberikan buah dan susu formula kepada bayi yang saat ditinggal ibunya bekerja padahal saat itu usia bayi belum memasuki usia mulai diberikan MP-ASI. Sesungguhnya nenek atau ibu mertua seharusnya mendukung ibu untuk memberikan ASI kepada bayi. Hal ini sesuai dengan penelitian Fikawati & Syafiq (2010) yang mengatakan bahwa dukungan ibu mertua juga memberikan hubungan yang signifikan terhadap pemberian ASI pada bayi. Ibu yang dipengaruhi oleh ibu mertua yang tidak mendukung pemberian ASI Eksklusif akan lebih mudah berisiko untuk tidak memberikan ASI pada bayinya.

Petugas kesehatan dalam penelitian ini juga membantu informan dalam praktik pemberian makan pada baduta melalui pemberian informasi-informasi kesehatan dan anjuran pemberian makan yang baik pada bayi ke ibu yang menikah dini. Akan tetapi petugas kesehatan juga dapat menghambat praktik pemberian makan ibu pada bayi, salah satunya dari hasil penelitian didapatkan bahwa petugas kesehatan tidak memfasilitasi ibu untuk melakukan Inisiasi Menyusui Dini. Beberapa informan dipisahkan dengan bayinya sesaat setelah melahirkan sedangkan IMD penting untuk dilakukan ibu kepada bayi.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ibu yang menikah dini ini mengalami berbagai hambatan dalam

pemberian makan baduta seperti persepsi ketidakcukupan ASI yang mengakibatkan pemberian MPASI dini, kurangnya informasi mengenai teknik menyusui yang benar sehingga memutuskan untuk tidak menyusui, dan dorongan keluarga untuk melakukan MPASI dini.

Walaupun terdapat berbagai hambatan, namun ada juga dukungan keluarga yang pada akhirnya dapat mendukung dan membantu ibu dalam pemberian makan, seperti mendorong ibu untuk mengkonsumsi sayur kelor dan kayu manis untuk meningkatkan produksi ASI dan ternyata berefek positif pada beberapa ibu untuk mendukung pemberian ASI. Selain itu petugas kesehatan juga membantu ibu dalam pemberian informasi seputar kesehatan kehamilan dan pemberian makan, walaupun masih terdapat persepsi ketidakcukupan ASI dan kurangnya informasi mengenai Teknik menyusui yang benar.

SARAN

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah bagi Dinas Kabupaten Tabanan untuk lebih gencar menerapkan 10 LMKM di setiap fasilitas kesehatan demi meningkatkan cakupan pemberian IMD dan ASI Eksklusif di kabupaten Tabanan. Selain itu memfasilitasi pelatihan konseling laktasi bagi tenaga kesehatan dan dukungan menyusui bagi tenaga non-kesehatan agar meningkatkan keterampilan mereka dalam memberikan dukungan bagi permasalah menyusui yang dihadapi ibu. Bagi Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Kabupaten Tabanan agar lebih meningkatkan program edukasi

keluarga terutama orang tua tentang pendidikan seksual. Pendidikan seksual dalam keluarga bukanlah hal tabu dibicarakan dengan anak. Sehingga dari orang tua diaharapkan dapat melanjutkan atau mendiskusikan dengan anaknya mengenai pendidikan seksual. Hal ini dapat membantu remaja untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan dalam pernikahan nantinya

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan yang telah membantu melancarkan penelitian dan membantu memudahkan penulis memeroleh data.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, A., Bagu, A. A., & Sari, N. P. (2016).

Pemberian Inisiasi Menyusu Dini Pada Bayi Baru Lahir. Jurnal Kesehatan Manarang,          2(2),           76.

https://doi.org/10.33490/jkm.v2i2.19

Anitasari, B. (2012). Praktek Menyusui Selama Masa Kehamilan Dalam Perspektif Wanita di Kota Makassar.

Arini. (2012). Mengapa Seorang Ibu Harus Menyusui. Yogyakarta: Flash Books.

Bai, D. L., Fong, D. Y. T., & Tarrant, M.

(2015).    Previous Breastfeeding

Experience and Duration of Any and Exclusive Breastfeeding among Multiparous Mothers, 42(1), 70–77.

https://doi.org/10.1111/birt.12152

Destriatania, S., Februhartanty, J.,  &

Fatmah, F. (2013). Sikap Ayah dan Jumlah Anak serta Praktik Air Susu Ibu Eksklusif. Kesmas: National Public Health Journal              (Vol.              8).

https://doi.org/10.21109/KESMAS.V8I 5.389.G388

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2019). Profil Kesehatan Provinsi Bali 2018. Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 1–129.

Retrieved                      from

https://www.diskesbaliprov.go.id

Dinkes Kabupaten Tabanan. (2018). Profil Kesehatan Kabupaten Tabanan Tahun 2017, 225.

Fikawati, S., & Syafiq, A. (2010). Hubungan antara menyusui segera (immediate breastfeeding) dan pemberian ASI eksklusif sampai dengan empat bulan. Proceedings -   2010 3rd IEEE

International Conference on Computer Science and Information Technology, ICCSIT    2010,    7(2),    608–611.

https://doi.org/10.1109/ICCSIT.2010.55 64633

Hartanti, S. (2014). Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Keberhasilan ASI Eksklusif Pada Bayi Umur 6-12 Bulam di Puskesmas Kasihan Yogyakarta. Stikkes ’Aisyiyah, 1–19.

Haurissa, T. G. B., Manueke, I.,  &

Kusmiyati. (2015). Pengetahuan Dan Sikap Ibu Dengan Pemberian Asi Eksklusif. Jurnal Genta Kebidanan, 5(2). https://doi.org/10.36049/jgk.v5i2.58

Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2015). Rekomendasi Praktik Pemberian Makan Berbasis Bukti pada Bayi dan Batita di Indonesia untuk Mencegah Malnutrisi. UKK Nutrisi Dan Penyakit Metabolik, Ikatan Dokter Anak Indonesia. https://doi.org/10.1017/CBO978110741 5324.004

Irawan, J. (2018). Hubungan Inisiasi Menyusu Dini (Imd) Dan Pemberian Air Susu Ibu (Asi) Eksklusif Di Rsud Wangaya Kota Denpasar. Skala Husada, 15.

Kemenkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010.     Badan     Penelitian     dan

Pengembangan Kesehatan.

Khairunnisa.      (2013).      Hubungan

Religiusitas Dan Kontrol Diri Dengan Perilaku Seksual Pranikah Remaja Di MAN 1 Samarinda. Jurnal Keperawatan Indonesia. ISSN:347-783

Kurniawan, B. (2013). Determinan

Keberhasilan Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 27(4),                          236–240.

https://doi.org/10.21776/ub.jkb.2013.02 7.04.11

Kusumaningrum, D. N. (2017). Rasionalitas Kebijakan Pro Laktasi Indonesia. JURNAL SOSIAL POLITIK, 2(1), 1.

https://doi.org/10.22219/sospol.v2i1.47 52

Lestari, P. W. (2014). Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Inisiasi Menyusui Dini. Revista Cubana Medicina General Integrada (1999), 2(January 2008), 88–91.

Mamonto, T. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Asi Eksklusif Pada Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Kotobangon Kecamatan Kotamobagu      Timur      Kota

Kotamobagu. Kesmas Univ. Sam Ratulangi,  56–66.  Retrieved from

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php /kesmas/article/download/7241/6743

Mardiyaningsih, E. (2010). Efektifitas Kombinasi Teknik Marmet dan Pijat Oksitosin terhadap produksi ASI Pada Seksio Sesarea di Rumah Sakit Wilayah Jawa Tengah. Universitas Indonesia.

Murcahya, A. (2010). Dinamika psikologis pengambilan keputusan untuk menikah dini. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Oktalina, O., Muniroh, L., & Adiningsih, S. (2016). Hubungan Dukungan Suami Dan Dukungan Keluarga Dengan Pemberian Asi Eksklusif Pada Ibu. Media Gizi Indonesia,  10(1), 64–70.

Retrieved       from       https://e-

journal.unair.ac.id/MGI/article/view/3 128/2285

Oselaguri. (2012). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Asi Ekslusif Di Wilayah Kerja Puskesmas Sewon Ii Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Yogyakarta Tahun 2012. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Prabasiwi, A., Fikawati, S., & Syafiq, A.

(2015). ASI Eksklusif dan Persepsi Ketidakcukupan ASI. Kesmas: National Public Health Journal,   9(3),   282.

https://doi.org/10.21109/kesmas.v9i3.6 91

Prasetyo, D. (2009). Buku Pintar ASI Eksklusif Pengenalan, Praktik, dan Kemanfaatan    -    Kemanfaatannya.

Yogyakarta: Diva Press.

Pricilla, & Elmatris. (2011). Hubungan Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini dengan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Garang Kota Solok. Kesehatan Masyarakat Andalas, 6.

Ransum, U. P. (2018). Hubungan Sikap Ibu, Pendidikan dan Dukungan Petugas Kesehatan dengan Pemberian Asi Eksklusif Pada Bayi Umur 6 -11 Bulan di Puskesmas Antang Perumnas Kota Makassar. Jurnal Kesehatan, 1(1), 1–11.

Rusada, D., Yusran, S., & Jufri, N. (2016). Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan    Program    Inisiasi

Menyusu Dini (IMD) di Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun 2016. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Unsyiah, 1(3), 186366.

e-mail korespondensi: [email protected]

479