Arc. Com. Health • Desember 2012                                           Vol. 1 No. 2 : ix - xi

ISSN: 9772302139009

EDITORIAL

Shopping Dokter, Masalah Utama Pelaksanaaan TB-DOTS pada Dokter Praktek Swasta, Apakah Kader TB Desa Pakraman Bisa Menjadi Solusi?

I Wayan Gede Artawan Eka Putra

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Email: [email protected]

Hampir setahun telah berlalu sejak kesepakatan bersama (KB) dan perjanjian kerjasama (PKS) tentang program pelaksanaan tuberkulosis dengan directly observed treatment shortcourse (TB-DOTS) di dokter praktek swasta se-Bali ditandatangani oleh Gubernur dan Ketua IDI Wilayah Bali. Program ini dilatarbelakangi oleh rendahnya penjaringan suspek TB oleh dokter praktek swasta di Bali yang kurang dari 10% padahal berdasarkan hasil survei prevalensi TB, 52% pasien dengan gejala TB datang ke dokter praktek swasta untuk mencari pengobatan. Tujuan yang diharapkan dari program kerja sama ini adalah untuk meningkatkan peran dokter praktek swasta terutama dalam penjaringan suspek dan penemuan kasus TB sehingga dapat meningkatkan suspect evaluation rate (SER) dan case notification rate (CNR). Kegiatan sosialisasi telah dilakukan oleh petugas TB puskesmas dan laboratorium di Kota Denpasar mulai triwulan pertama 2013, akan tetapi sampai saat ini trend peningkatan proporsi penjaringan suspek oleh dokter praktek swasta belum terjadi. Pada Tahun 2012 proporsi penjaringan suspek TB oleh dokter praktek swasta di Kota Denpasar sebesar 0,98% sedangkan sampai triwulan kedua tahun 2013 sebesar 1,04%.

Ada dua hal yang mungkin menjadi penyebab masih rendahnya penjaringan suspek pada dokter praktek swasta. Pertama

adalah kemungkinan suspek TB yang datang sangat sedikit sehingga yang dikirim juga sedikit. Tetapi berdasarkan hasil survei prevalensi TB di atas dan penelitian terbaru di Jogjakarta tentang penjaringan suspek TB di dokter praktek swasta bahwa 63,4% pernah menemukan suspek TB di tempat praktek, tentu sangat kecil kemungkinan mereka tidak menemukan suspek. Kemungkinan kedua adalah dokter praktek swasta sudah mengirim suspek yang mereka temukan ke puskesmas atau laboratorium untuk pemeriksaan dahak mikroskopis, tapi pasien mangkir atau tidak melakukan pemeriksaan, dimana pasien datang ke satu atau lebih dokter lain untuk memeriksakan diri kembali. Dugaan ini didasari pada data yang dikumpulkan pada saat sosialisasi program kerjasama di Kota Denpasar dimana 43% dokter praktek swasta pernah menemukan suspek TB ditempat prakteknya dalam tiga bulan terakhir dan 83% dari mereka telah mengirim suspek untuk periksa dahak.

Istilah yang lebih populer untuk fenomena suspek TB mengunjungi beberapa dokter untuk memastikan penyakitnya disebut shopping doctor. Shopping doctor tidak hanya terjadi pada penderita gangguan psikosomatik tetapi bisa juga terjadi pada suspek yang tingkat pengetahuannya masih kurang. Terjadinya fenomena ini dapat dijelaskan dengan teori penerimaan diri (self acceptance). Pada saat awal dinyatakan sebagai suspek TB dan dianjurkan untuk

periksa dahak, pasien cenderung akan menolak yang disebut memasuki tahap penyangkalan (denial). Pasien akan berusaha mengingkari dan tidak percaya walaupun baru dinyatakan suspek. Pasien akan cendrung mencari pendapat lain (second opinion) ke dokter yang lain. Waktu yang dibutuhkan hingga sampai ke tahap penerimaan berbeda pada setiap orang, dimana ada yang sangat lama hingga mengunjungi sampai puluhan dokter. Semakin lama waktu yang diperlukan untuk sampai pada tahap penerimaan semakin terlambat untuk ditegakkannya diagnosis, semakin terlambat mulai pengobatan yang akan berdampak pada semakin panjang masa penularan atau resiko menularkan kepada orang lain akan semakin besar. Selain itu, keterlambatan ini akan menyebabkan pasien yang datang sudah dengan gejala yang berat. Mereka akan lebih banyak datang ke rumah sakit, terbukti dari data sumber penjaringan suspek saat ini di Kota Denpasar yang lebih banyak dirujuk dari rumah sakit dari pada puskesmas. Dari segi program pengendalian TB keadaan ini tentu sangat merugikan.

Untuk mendukung kesuksesan progran kerjasama dengan dokter praktek swasta perlu dipertimbangkan langkah strategis untuk mencegah shopping doctor dan suspek TB segera melakukan pemeriksaan dahak. Sangat penting dilakukan pelacakan terhadap seseorang yang telah diduga menderita TB dan memastikan mereka supaya datang ke puskesmas atau laboratorium untuk pemeriksaan dahak mikroskopis. Tentu tidak mudah karena memerlukan dana dan tenaga yang banyak. Program terbaru yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Bali adalah pelaksanaan program tuberculosis direct observed treatment shortcourse (TB-DOTS) melalui desa pakraman. Ini adalah sebuah pemberdayaan masyarakat

yang memanfaatkan kearifan lokal dalam mendukung program kesehatan, dilatarbelakangi oleh peran yang besar dari desa pakraman dalam mempengaruhi perilaku warga desa di wilayahnya.

Program ini diawali dengan sosialisasi kepada majelis desa pakraman di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan kemudian dilakukan pemilihan calon kader dari pengurus atau anggota yang direkomendasikan oleh desa pakraman. Calon kader TB desa pakraman yang terpilih diberikan pelatihan selama 4 hari tentang program TB-DOTS dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Melibatkan langsung masyarakat akan lebih memberdayakan masyarakat sehingga program akan lebih berkelanjutan dan berkesinambungan. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih merasa memiliki dan memahami program yang tengah dijalani. Kader TB desa pakraman mempunyai 4 tugas yang terdiri dari: membantu memberikan penyuluhan kepada warga desa, membantu melakukan penjaringan suspek TB dan yang lebih penting lagi adalah membantu melacak suspek dan pasien TB mangkir di wilayah desa pakraman masing-masing.

Harus diapresiasi bahwa program ini sangat bagus karena dapat bersinergi mendukung program kerjasama dengan dokter praktek swasta. Dokter yang mendapatkan suspek TB di tempat prakteknya dapat mencatat identitas pasien secara lengkap kemudian melaporkan kepada petugas TB puskesmas. Setelah itu petugas TB dapat menghubungi kader TB desa pakraman yang sesuai dengan alamat pasien untuk melakukan pelacakan. Keberadaan kader yang dihormati diharapkan dapat melakukan pendekatan yang lebih baik kemudian memberikan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kepada suspek tentang pentingnya periksa dahak dengan segera. Selain itu kepada

suspek yang telah terdiagnosis TB, kader dapat memberikan KIE dan motivasi agar teratur dan sesuai masa pengobatan.

Skema diatas terlihat cukup sederhana dan mudah untuk diterapkan walaupun demikian masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah kader TB desa pakraman sudah merupakan solusi yang tepat terhadap masalah shopping doctor. Akan sangat mungkin timbul masalah baru seperti kinerja kader yang tidak optimal dan penerimaan masyarakat terhadap kader TB yang kurang. Sangat penting penerapan suatu program dikawal dengan sistem monitoring dan evaluasi yang baik. Indikator khusus yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas skema ini adalah berapa suspek yang terjaring dan berapa lama waktu yang diperlukan sejak dikirim sampai berhasil ditegakkan diagnosis pada pasien yang dikirim melalui skema tersebut. Kedua indikator ini penting untuk menilai peningkatan kontribusi dan akselerasi terhadap penjaringan suspek. Selain itu indikator program secara umum dapat dinilai dari seberapa besar peningkatan indikator SER.

DAFTAR PUSTAKA

Armini LPS, Utarini A, Mahendradhata

Y. (2007). The impact of private practitioners partnership to the delay of management and financing of tuberculosis patient in Denpasar. The Indonesian Journal of Health Service Management, 10(04): 166–172.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2013). Petunjuk Teknis Pelaksanaan TB-DOTS 2013. Denpasar Bali.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

(2011). Permenkes Nomor 565/ MENKES/PER/III/2011. (2011). Terobosan Menuju Akses Universal

Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Laporan Survei Prevalensi Tuberkulosis Indonesia Tahun 2004. Jakarta Indonesia.

Mahendradhata Y, Utarini A, Lazuardi U, Boelaert M, Stuyft PV. (2007). Private practitioners and tuberculosis case detection in Jogjakarta, Indonesia: actual role and potential. Tropical Medicine and International Health, 12(10): 1218-24.

xi