FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEPATUHAN PENERAPAN KAWASAN TANPA ROKOK PADA RESTORAN DI KABUPATEN TABANAN: ANALISA REGRESI LOGISTIK
on
Arc. Com. Health • agustus 2021
p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620
Vol. 8 No. 2: 254 - 272
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEPATUHAN PENERAPAN KAWASAN TANPA ROKOK PADA RESTORAN DI KABUPATEN TABANAN: ANALISA REGRESI LOGISTIK
Putu Melda Kuswandari*, Ni Made Dian Kurniasari, Putu Ayu Swandewi Astuti Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ABSTRAK
Kabupaten Tabanan memberlakukan peraturan kawasan tanpa rokok pada restoran, namun dalam penerapannya masih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan penerapan KTR oleh pengelola dengan memerhatikan larangan merokok total pada restoran di Kabupaten Tabanan. Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan rancangan crossectional. Sampel penelitian yaitu pengelola restoran yang berada di Kabupaten Tabanan. Besar sampel menggunakan total sampling dengan jumlah 110 restoran, dengan jumlah yang berpartisipasi 87 restoran (79% response rate). Data dianalisis dengan menggunakan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan restoran dalam menerapkan larangan merokok total sebesar 26,44%. Faktor yang memengaruhi kepatuhan penerapan KTR yaitu umur pengelola (OR=3,45; 95% CI: 1,10-10,84), pengetahuan pengelola (OR=3,56; 95% CI: 0,96-13,16), sikap pengelola (OR=2,45; 95% CI: 0,72-8,30), serta persepsi dampak bisnis pengelola (OR=4,62; 95% CI: 1,12-19,07) berpeluang meningkatkan kepatuhan KTR. Kepatuhan pengelola restoran di Kabupaten Tabanan terhadap penerapan larangan merokok total relatif rendah. Masih banyak terdapat indikator yang belum terpenuhi dalam implementasi kepatuhan restoran. Perlu adanya dukungan berbagai sektor dalam meningkatkan kepatuhan seperti pengelola, pengunjung, maupun pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Kata Kunci: rokok, kepatuhan, KTR, restoran.
ABSTRACT
Tabanan regency applied smoke-free by law (SFL) in restaurant but the implementation was still low. This study aimed to determine the factors that influence the compliance of the implementation of smoke-free area by restaurant owners through looking complete smoking ban restaurant in Tabanan Regency. This was a quantitative analytic study with a cross-sectional design. The study samples were restaurant owners/managers in Tabanan Regency. The number of sampling on this study was set by respondent’s rate respond (79% response rate). Data was analyzed using logistic regression. The results showed that the compliance of restaurant manager to total smoking ban was low (26.44%). The factors that influence compliance SFL such as the age of the manager (OR=3.45; 95% CI: 1.10-10.84), the manager's knowledge (OR=3.56; 95% CI: 0.96-13.16), the manager’s attitude (OR=2.45; 95% CI: 0.72-8.30), as well as the perception of the impact of the manager's business (OR=4.62; 95% CI:1.12-19.07) has significantly association with compliance. The compliance of restaurant managers in Tabanan Regency on the implementation of total smoking ban was relatively low. There are still many indicators that have not been fulfilled. There needs concrete support to improving the compliance such as managers, customers, and government as policy makers.
Key Words: cigarrete, compliance, smoke-free area, restaurant.
PENDAHULUAN
Rokok menjadi masalah global karena perilaku merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya berbagai macam penyakit (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Perilaku merokok tidak hanya menimbulkan kerugian bagi perokok tapi juga secara tidak langsung dapat merugikan orang lain yang ada di sekitarnya. Secondhand smoker adalah orang-orang yang berada di sekitar
perokok aktif dan terpaksa menghirup asap rokok orang lain. Pada tahun 2010 perokok pasif di Indonesia dialami oleh dua dari lima penduduk dengan jumlah berkisar 92 juta penduduk, sedangkan pada tahun 2013 jumlah perokok pasif meningkat menjadi sekitar 96 juta jiwa (TCSC IAKMI, 2012a). Berdasarkan laporan Global Adult Tobacco Survey tahun 2011, restoran menjadi tempat umum dengan
persentase data orang terpapar asap rokok paling tinggi sebesar 85,4% setelah tempat kerja (51,3%) dan rumah (78,4%) (World Health Organization, 2011).
Melihat banyaknya dampak buruk yang terjadi akibat rokok, negara-negara anggota organisasi kesehatan dunia menyepakati kerangka konvensi pengendalian tembakau yang dikenal dengan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang bertujuan melindungi dari dampak konsumsi tembakau dan paparan terhadap asap tembakau. WHO-FCTC memperkenalkan langkah-langkah pengendalian tembakau yaitu MPOWER yang salah satunya berfokus pada perlindungan dari asap tembakau (World Health Organization, 2013). Walaupun Indonesia belum menandatangani WHO-FCTC, namun upaya perlindungan dari asap rokok berupa penerapan kawasan tanpa rokok telah dituangkan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 109 Tahun 2012. Dalam penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mewujudkan kawasan tanpa rokok (Pemerintah RI, 2012). Pemerintah Provinsi Bali telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 yang mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok. Kawasan tanpa rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk melakukan kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi, dan atau penggunaan rokok.
Kawasan yang diatur antara lain fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum salah satunya restoran (Pemerintah Daerah Provinsi Bali, 2011).
Kepatuhan KTR Provinsi Bali menurut data Udayana Central (Center for NCDs, Tobacco Control and Lung Health) pada tahun 2018 sudah mencapai angka 82,2%, namun kepatuhan menurut jenis kawasan menunjukkan tingkat kepatuhan di restoran hanya sebesar 41.4%, angka ini jauh lebih kecil dibandingkan kawasan yang lain seperti tempat kerja, swalayan, fasilitas kesehatan yang sudah menunjukkan angka diatas 80% (Udayana Central, 2019). Pelanggaran yang masih umum terjadi di restoran seperti tidak tersedianya tanda larangan merokok, restoran masih memperbolehkan pengunjung merokok, masih tercium bau asap rokok, masih adanya puntung rokok di area KTR dan juga masih menyediakan ruang khusus merokok yang terbukti tidak efektif mengurangi paparan asap rokok kepada orang lain (Coughlin et al., 2015). Sansone (2020) menyatakan larangan merokok secara menyeluruh dapat mengurangi ancaman dari SHS dan menciptakan larangan merokok total yang komprehensif. Dalam menerapkan larangan merokok total tidak diperkenankan melakukan kegiatan merokok termasuk tidak menyediakan ruang khusus merokok di area KTR (Sansone et al, 2020).
Kabupaten Tabanan juga mengatur KTR di restoran yang tertuang pada Peraturan Daerah kabupaten Tabanan Nomor 10 tahun 2014. Perda mengatur KTR dengan mengecualikan area khusus merokok dengan syarat tertentu (Pemda Kabupaten Tabanan, 2014). Dalam serial survei, kepatuhan restoran dalam penerapan KTR di Kabupaten Tabanan pada tahun 2018 hanya sebesar 75%. Angka ini masih di bawah angka standar yang ditetapkan yaitu sebesar 80% (Udayana Central, 2019).
Berkembangnya usaha restoran di Kabupaten Tabanan memberikan dampak secara ekonomi terhadap pariwisata di Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan mengembangkan pariwisata berlandaskan pengembangan budaya yang telah berhasil mendapat apresiasi di tingkat nasional dengan diraihnya penghargaan Trisakti Tourism Award (Pemerintah Kabupaten Tabanan, 2019). Restoran sebagai salah satu hospitality and tourism industry untuk mendukung pariwisata di Bali khususnya di Kabupaten Tabanan perlu meningkatkan kepatuhan KTR agar dapat menyediakan lingkungan yang sehat dan nyaman tanpa asap rokok.
Keberhasilan Perda KTR sangat tergantung dari kepatuhan setiap kawasan serta dukungan berbagai pihak terkait seperti pengelola, pengunjung, dan juga pemerintah sebagai pembuat kebijakan (Putra, 2016). Faktor pengelola mendapat perhatian penting karena mereka merupakan penentu kebijakan dan penanggung jawab pelaksanaan KTR pada tempat yang dikelola. Beberapa penelitian mengenai kepatuhan KTR seperti penelitian kepatuhan pengelola hotel di
Bali menunjukkan adanya hubungan bermakna antara perilaku merokok pengelola terhadap kepatuhan KTR. Penelitian di negara lain mengenai kepatuhan pengelola seperti di California menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap positif pengelola membuat peningkatan kepatuhan kebijakan KTR (Tang et al., 2004). Penelitian di Amerika Serikat mengenai persepsi pengelola terhadap dampak bisnis penerapan KTR menyatakan pihak pengelola berpendapat tidak ada kerugian bisnis dengan menjadikan restoran bebas asap rokok (Johnson et al., 2010).
Melihat latar belakang di atas, penulis tertarik meneliti mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan penerapan KTR oleh pengelola dengan memerhatikan larangan merokok total pada restoran yang ada di Kabupaten Tabanan. Dalam mengetahui hubungan faktor-faktor tersebut digunakan analisis regresi logistik. Regresi logistik berfungsi untuk mengetahui hubungan antara satu variabel outcome dengan satu atau lebih variabel bebas dengan parameter yang dipakai dalam menilai hubungan yaitu Odd Ratio (OR). Penggunaan analisis regresi logistik ini juga digunakan dalam penelitian Navas (2016) dalam menguji hubungan antara kepatuhan kebijakan merokok dengan tipe restoran ataupun cafe (Navas et al., 2016) dan penelitian Chandora (2015) menguji hubungan kepatuhan kebijakan bar atau restoran dengan variabel lain yang diteliti seperti kesadaran pemilik/manager tentang kebijakan termasuk pendapat adanya sanksi sejak perubahan kebijakan, fasilitas yang disediakan oleh restoran, serta
pemberian informasi kebijakan kepada karyawan restoran (Chandora et al., 2015).
Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan serta jenis pelanggaran kebijakan KTR yang terjadi pada Restoran di Kabupaten Tabanan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional. Populasi target penelitian ini adalah pengelola restoran di Kabupaten Tabanan sedangkan populasi terjangkau yaitu pengelola restoran di 3 kecamatan Kabupaten Tabanan dengan jumlah restoran terbanyak yaitu Kecamatan Tabanan, Kecamatan Kediri, dan Kecamatan Baturiti yang terdaftar di Badan Keuangan Daerah Kabupaten Tabanan. Perhitungan besar sampel menggunakan teknik penentuan untuk uji hipotesis perbedaan 2 proporsi dengan jumlah sampel minimum yaitu 82 restoran dan peneliti mengunakan total sampel (110 restoran) dengan respon rate dalam penelitian ini sebesar 79% (87 restoran). Penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan melalui kuesioner online menggunakan aplikasi kobotoolbox yang diisi oleh responden yaitu pihak pengelola restoran. Varibel yang diteliti diantaranya karakteristik pengelola, perilaku merokok pengelola, karakteristik restoran, pengetahuan dan sikap pengelola,
persepsi dampak bisnis pengelola, serta regulasi dan penegakan kebijakan KTR di restoran. Terkait adanya situasi Covid-19, data kepatuhan KTR restoran diperoleh dari self reported oleh pengelola restoran. Data dianalisis secara deskriptif dan hubungan antara variabel dan kepatuhan diuji dengan simple logistic regression dan binary logistic regression. Penelitian ini telah dinyatakan layak etik oleh Komisi Etik Penelitian Litbang FK Unud/RSUP Sanglah dengan nomor 992/UN14 2.2 VII 14/LT/2020.
HASIL
Berdasarkan analisis deskriptif pada tabel 1 dapat diketahui proporsi pengelola berumur lebih dari 36 tahun yaitu 50,57% dan proporsi pengelola laki-laki lebih dominan yaitu 56,32%. Dilihat dari status merokok, 25,29% pengelola restoran merokok dengan jenis rokok yang dikonsumsi yaitu rokok konvensional (63,64%) dan rokok alternatif (36,36%). Dari 87 restoran, jenis restoran didominasi oleh restoran sedang (47,13%) dan desain restoran didominasi oleh restoran indoor (62,07%). Sebagian pengelola sudah memiliki pengetahuan baik mengenai KTR, sikap baik mendukung KTR, persepsi baik mengenai dampak bisnis penerapan KTR, serta dalam hal regulasi dan penegakan kebijakan hanya 14.94% pengelola menyatakan adanya regulasi dan penegakan kebijakan yang baik.
Tabel 1 Gambaran Karakteristik Sosial-Demografi, Perilaku Merokok Pengelola, Karakteristik Restoran, Pengetahuan Pengelola, Sikap Pengelola, Persepsi
Dampak Bisnis Pengelola, serta Regulasi dan Penegakan Kebijakan KTR pada
Restoran di Kabupaten Tabanan
Kategori (n=87) |
Frekuensi |
Proporsi (%) |
Umur | ||
<36 tahun |
43 |
49,43 |
≥36 tahun |
44 |
50,57 |
Jenis kelamin | ||
Perempuan |
38 |
43,68 |
Laki-laki |
49 |
56,32 |
Pendidikan terakhir | ||
SD |
3 |
3,45 |
SMP |
1 |
1,15 |
SMA |
31 |
35,63 |
Perguruan tinggi |
52 |
59,77 |
Peran responden | ||
Pemilik |
45 |
51,72 |
Manager |
42 |
48,28 |
Lama bekerja | ||
<1 tahun |
7 |
8,05 |
≥1 tahun |
80 |
91,95 |
Status merokok | ||
Tidak merokok |
65 |
74,71 |
Merokok |
22 |
25,29 |
Jenis rokok yang dikonsumsi (n=22) | ||
Rokok konvensional |
14 |
63,64 |
Rokok Alternatif |
8 |
36,36 |
Lama merokok konvensional (n=14) | ||
≥1 tahun |
13 |
92,86 |
<1 tahun |
1 |
7,14 |
Lama merokok alternatif (n=8) | ||
≥1 tahun |
6 |
75,00 |
<1 tahun |
2 |
25,00 |
Riwayat merokok (n=65) | ||
Tidak pernah merokok |
58 |
89,23 |
Pernah merokok |
7 |
10,77 |
Jenis restoran | ||
Restoran besar |
12 |
13,79 |
Restoran sedang |
41 |
47,13 |
Restoran kecil |
34 |
39,08 |
Desain restoran
Kategori (n=87) |
Frekuensi |
Proporsi (%) |
Outdoor |
9 |
10,34 |
Indoor |
54 |
62,07 |
Outdoor dan Indoor |
24 |
27,59 |
Pengetahuan pengelola | ||
Pengetahuan kurang |
37 |
42,53 |
Pengetahuan baik |
50 |
57,47 |
Sikap pengelola | ||
Sikap kurang |
36 |
41,38 |
Sikap baik |
50 |
58,62 |
Persepsi dampak bisnis | ||
Persepsi buruk |
33 |
37,93 |
Persepsi baik |
54 |
62,07 |
Regulasi dan penegakan kebijakan | ||
Regulasi kurang baik |
74 |
85,06 |
Regulasi baik |
13 |
14,94 |
Pada tabel 2 menunjukkan gambaran kepatuhan yang diukur dari pelaksanaan KTR yang dilaporkan oleh pengelola (manager atau pemilik restoran). Dinyatakan mematuhi bila restoran meletakkan tanda larangan merokok, tidak tercium bau asap di area KTR, tidak ada puntung rokok di area KTR, tidak terdapat orang merokok di area KTR, tidak menyediakan ruang khusus merokok, tidak terdapat asbak di area KTR, dan tidak ada promosi rokok di area KTR.
Tabel 2 Tingkat Kepatuhan Pengelola |
Restoran dalam Kepatuhan KTR |
berdasarkan Laporan Pengelola |
Kategori Frekuensi Proporsi (%) |
Patuh 23 26,44 |
Tidak Patuh 64 73,56 |
Total 87 100% |
Sebanyak 51,72% restoran telah meletakkan tanda larangan merokok. Sebesar 71,26% memperbolehkan merokok dan 40,32% menyediakan pembatas yang tertutup penuh antara area khusus merokok dengan ruangan kawasan tanpa rokok. Restoran yang memperbolehkan pengunjung merokok mengestimasi pengunjung merokok sekitar 5% hingga 20% perhari. Indikator lain menunjukkan, 42,53% terdapat orang merokok di area KTR (diluar penyediaan ruang khusus merokok), 32,18% restoran masih menyediakan asbak, 33,33% pengelola restoran mengaku pernah mencium bau asap rokok, dan 32,18% mengaku pernah menemukan puntung rokok. Ditinjau dari penjualan produk rokok, 6,90% melakukan penjualan produk rokok yang didominasi penjualan rokok konvensional.
Tabel 3 Pelaksanaan Kepatuhan KTR Berdasarkan Laporan dari Pengelola Restoran
No Pernyataan (n=87)
Ya Tidak
n |
% |
n |
% | ||
1. |
Ada tanda larangan merokok |
45 |
51.72 |
42 |
48.28 |
a. Tanda larangan merokok di pintu |
4 |
4.60 |
83 |
95.40 | |
b. Tanda larangan merokok di dalam restoran |
41 |
47.13 |
46 |
52.87 | |
2. |
Memperbolehkan pengunjung merokok a. Ruang khusus merokok |
62 |
71.26 |
25 |
28.74 |
• Ada pembatas tetapi tidak tertutup penuh |
5 |
8.06 |
57 |
91.94 | |
|
25 |
40.32 |
37 |
59.68 | |
• Kurang dari 5% |
9 |
14.52 |
53 |
85.48 | |
• 5%-20% |
50 |
80.65 |
12 |
19.35 | |
|
3 |
4.84 |
59 |
95.16 | |
• Tidak pernah |
61 |
98.39 |
1 |
1.61 | |
• <1x seminggu |
1 |
1.61 |
61 |
98.39 | |
3. |
Terdapat orang merokok di area KTR |
37 |
42.53 |
50 |
57.47 |
4. |
Menyediakan asbak |
28 |
32.18 |
59 |
67.82 |
5. |
Pernah tercium bau asap rokok |
29 |
33.33 |
58 |
66.67 |
a. Pernah terjadi komplain terkait terciumnya bau asap rokok |
3 |
3.45 |
84 |
96.55 | |
6. |
Ditemukan puntung rokok |
28 |
32.18 |
59 |
67.82 |
a. Pernah terjadi komplain kebersihan terkait puntung rokok |
4 |
4.60 |
83 |
95.40 | |
7. |
Penjualan produk rokok |
6 |
6.90 |
81 |
93.10 |
a. Rokok konvensional |
6 |
100.00 |
0 |
0 | |
8. |
Terdapat iklan/promosi produk rokok |
0 |
0 |
87 |
100.00 |
Tabel 4 Hasil Analisis Bivariabel Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Penerapan KTR oleh Pengelola di Tabanan
Variabel (n=87) |
Kepatuhan KTR Tidak Patuh Patuh OR 95% CI Nilai p (n=64) (n=23) |
Umur ≥36 <36 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Perilaku merokok Merokok Tidak merokok Jenis restoran Sedang Kecil Besar Desain restoran Indoor Outdoor dan Indoor Outdoor Pengetahuan Baik Kurang Sikap Baik Buruk Persepsi Dampak Bisnis Baik Buruk Regulasi Baik Kurang baik |
28 (43,75%) 16 (69,57%) 2,93 1,06-8,12 0,04 36 (56,25%) 7 (30,43%) Ref 37 (57,81%) 12 (52,17%) 0,80 0,31-2,07 0,64 27 (42,19%) 11 (47,83%) Ref 18 (28,13%) 4 (17,39%) 0,54 0,16-1,80 0,32 46 (71,88%) 19 (82,61%) Ref 29 (45,31%) 12 (52,17%) 4,55 0,53-39,26 0,17 24 (37,50%) 10 (43,48%) 4,58 0,52-40,38 0,17 11 (17,19%) 1 (4,35%) Ref 33 (51,56%) 21 (91,30%) 5,09 0,59-43,68 0,14 23 (35,94%) 1 (4,35%) 0,35 0,02-6,23 0,47 8 (12,50%) 1 (4,35%) Ref 31 (48,44%) 19 (82,61%) 5,06 1,55-16,53 0,00 33 (51,56%) 4 (17,39%) Ref 33 (51,56%) 18 (78,26%) 3,38 1,11-10,22 0,03 31 (48,44%) 5 (21,74%) Ref 34 (53,13%) 20 (84,96%) 5,88 1,59-21,78 0,01 30 (46,88%) 3 (13,04%) Ref 10 (15,63%) 3 (13,04%) 0,81 0,20-3,24 0,77 54 (84,38%) 20 (86,96%) Ref |
Hasil analisis regresi logistik besar 2,93 kali meningkatkan kepatuhan
sederhana menunjukkan variabel umur KTR dibandingkan pengelola dengan
memiliki hubungan signifikan dengan umur kurang dari 36 tahun. Variabel
kepatuhan KTR dimana pengelola dengan pengetahuan memiliki hubungan yang
umur lebih dari 36 tahun berpeluang lebih signifikan dengan kepatuhan KTR dimana
pengelola yang memiliki pengetahuan baik berpeluang lebih besar 5,06 kali meningkatkan kepatuhan KTR. Variabel sikap memiliki hubungan yang signifikan dengan kepatuhan KTR dimana pengelola yang memiliki sikap baik dalam mendukung Perda berpeluang lebih besar 3,38 kali meningkatkan kepatuhan KTR. Variabel persepsi dampak bisnis memiliki hubungan yang signifikan dengan kepatuhan KTR dimana pengelola yang memiliki persepsi dampak bisnis yang baik
(tidak ada penurunan jumlah kunjungan maupun keuntungan) berpeluang lebih besar 5,88 kali meningkatkan kepatuhan KTR. Variabel lain seperti jenis kelamin, perilaku merokok, karakteristik bisnis restoran (jenis dan desain restoran), dan regulasi tidak memiliki hubungan (p>0,05).
Tabel 5 menunjukkan hasil analisis multivariabel hubungan faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan penerapan KTR oleh pengelola restoran di Kabupaten Tabanan.
Tabel 5 Hasil Analisis Multivariabel Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan
Penerapan KTR
Variabel (n=87) |
OR |
95% CI |
p Value |
Umur | |||
≥36 tahun |
3,45 |
1,10-10,84 |
0,03 |
<36 tahun |
Ref | ||
Pengetahuan | |||
Baik |
3,56 |
0,96-13,16 |
0,06 |
Kurang |
Ref | ||
Sikap | |||
Baik |
2,45 |
0,72-8,30 |
0,15 |
Kurang |
Ref | ||
Persepsi Dampak Bisnis | |||
Baik |
4,62 |
1,12-19,07 |
0,03 |
Kurang |
Ref |
Hasil analisis menunjukkan variabel umur memiliki hubungan yang signifikan terhadap kepatuhan KTR dimana umur lebih dari 36 tahun berpeluang lebih besar 3,45 kali meningkatkan kepatuhan KTR. Peneliti mempertimbangkan adanya hubungan variabel pengetahuan walaupun terlihat kecil dari nilai CI yang didapat, dimana pengelola yang memiliki pengetahuan baik berpeluang lebih besar 3,56 kali meningkatkan kepatuhan KTR. Peneliti mempertimbangkan adanya
hubungan variabel sikap walaupun terlihat kecil dari nilai CI yang didapat, sehingga pengelola yang memiliki sikap baik dalam mendukung KTR berpeluang lebih besar 2,45 kali meningkatkan kepatuhan KTR. Hasil analisis persepsi dampak bisnis menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara persepsi dampak bisnis pengelola restoran dengan kepatuhan KTR dimana pengelola dengan persepsi baik (tidak ada penurunan jumlah kunjungan maupun keuntungan) berpeluang lebih
besar 4,62 kali meningkatkan kepatuhan KTR.
Uji goodness of fit dalam penelitian ini menyatakan model ini secara bermakna menggambarkan kepatuhan penerapan KTR dan data ini cocok dianalisis dengan regresi logistik dengan nilai estat gof 0,47 (p > 0,05). Hasil pseudo R2 menunjukkan bahwa kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel tergantung yaitu sebesar 0,21 atau 21% dimana variabel umur, sikap, pengetahuan, serta persepsi dampak bisnis dalam model memengaruhi kepatuhan KTR di restoran oleh pengelola, sedangkan sisanya dipengaruhi faktor lain di luar model.
DISKUSI
Pelaksanaan KTR di restoran ditinjau dari kepatuhan dalam menerapkan larangan total merokok di restoran yang dilaporkan oleh pengelola. Dalam penelitian ini kepatuhan larangan merokok total pada restoran yang ada di Kabupaten Tabanan hanya sebesar 26,44%. Berdasarkan hasil survei kepatuhan implementasi Perda KTR di Provinsi Bali pada Desember 2018, kepatuhan terhadap Perda KTR di restoran hanya sebesar 41,4% dan di Kabupaten Tabanan sebesar 75%. Dari hasil tersebut, kepatuhan tempat umum khususnya restoran masih rendah karena survei ini sudah berlangsung 2 tahun lalu sehingga tanda larangan yang ditempel manajemen restoran mungkin sudah usang/terlepas dan karena tidak adanya sidak dari pemerintah daerah menyebabkan tidak ada kontrol eksternal bagi pengelola untuk mematuhi KTR. Selain restoran, kawasan tempat umum lain di Kabupaten Tabanan seperti terminal
bus dan transportasi umum masih memiliki persentase kepatuhan yang rendah yaitu hanya sebesar 50% (Udayana Central, 2019).
Berdasarkan hasil penelitian, indikator kepatuhan penerapan KTR yang belum banyak dipenuhi yaitu pemasangan tanda larangan merokok. Sebanyak 48,28% restoran belum memasang tanda larangan merokok sehingga hal ini memicu persentase kepatuhan di restoran belum mencapai 100%. Hasil yang sama didapat dari penelitian Devhy (2014) menyebutkan kriteria KTR yang masih belum banyak dipenuhi yaitu terpasangnya tanda dilarang merokok pada tempat yang mudah dilihat (Devhy et al., 2014). Telah disebutkan di dalam Perda KTR, tanda-tanda dan pengumuman dilarang merokok sesuai persyaratan terpasang di semua pintu masuk utama dan di tempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah terbaca dengan baik (Pemda Kabupaten Tabanan, 2014).
Rendahnya pemasangan tanda larangan merokok diantaranya dapat disebabkan karena ketidaktahuan pengelola mengenai keharusan pemasangan tanda larangan merokok di restoran (Chang et al, 2009). Pada penelitian ini lebih dari sepertiga pengelola tidak tahu bahwa harus memasang tanda larangan merokok. Keberadaan tanda larangan merokok sangat penting dengan tujuan memberi informasi tentang mulai diberlakukannya suatu aturan serta melakukan peringatan dan pemberitahuan kepada pengunjung bahwa restoran yang mereka datangi merupakan KTR (Devhy et al., 2014). Selain itu dukungan pemerintah juga diperlukan dalam hal melakukan
sosialisasi, monitoring, dan evaluasi berupa sidak kepada pengelola untuk mewujudkan kepatuhan KTR (Dewi, Yulyana Kusuma, 2018). Dari penelitian ini didapat hasil hampir seluruh pengelola menyatakan pemerintah daerah tidak melakukan sosialisasi dan tidak memberikan pedoman terkait kebijakan KTR di restoran, serta seluruh pengelola menyatakan pemerintah daerah tidak pernah mengunjungi restoran untuk monitoring evaluasi baik melalui supervisi (tanpa sanksi) dan sidak (evaluasi dengan sanksi) dalam upaya penegakan KTR. Sangat penting melakukan sosialisasi informasi mengenai manfaat larangan merokok di restoran, termasuk sosialiasi indikator pelaksanaanya serta sanksi yang didapatkan sehingga akan meningkatkan behavioral belief terhadap larangan merokok (Zaini, 2014).
Dalam penelitian ini sebanyak 71,26% restoran memperbolehkan pengunjung untuk merokok dan 40,32% restoran telah memiliki pembatas tertutup penuh antara ruang khusus merokok dan ruang tanpa rokok. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa masih banyak restoran yang menyediakan ruang khusus merokok yang berarti restoran hanya melakukan larangan bebas rokok sebagian (partial smoke-free). Dari hal tersebut, pengelola memiliki pemahaman yang keliru mengenai ruang khusus merokok. Beberapa penelitian menyatakan larangan merokok secara menyeluruh dapat mengurangi ancaman dari SHS dan menciptakan larangan merokok total (total smoking ban) yang komprehensif (Sansone et al, 2020).
Beberapa restoran memisahkan smoking area dan non smoking area. Pemisah ini tidak efektif melindungi bukan perokok dari zat racun yang dihasilkan asap rokok. Teknologi ventilasi dan penyaringan udara tidak menghilangkan risiko kesehatan yang disebabkan paparan asap rokok karena dinilai hanya untuk mengalirkan sistem udara. Pilihan yang efektif hanyalah membuat 100% KTR (TCSC IAKMI, 2012b). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 80,65% dari 62 restoran yang memperbolehkan merokok mendapatkan pengunjung yang merokok sekitar 5-20% perharinya. Penelitian di Mongolia mendapatkan hasil yang sama bahwa pelanggan merokok adalah biasa, dengan hampir setengah dari pengelola restoran memperkirakan bahwa lebih dari 20% pelanggan mereka akan merokok di restoran (Chang et al, 2009). Dalam penelitian ini sebanyak 42,53% restoran masih terdapat orang merokok (diluar penyediaan ruang khusus merokok) dan 32,18% masih menyediakan asbak di area KTR. Didapat kesamaan hasil pada penelitian yang menunjukkan pengelola cafe atau restoran masih memperbolehkan pengunjung merokok karena belum berjalannya pengawasan internal secara maksimal oleh pengelola restoran/café sehingga menjadikan Perda KTR tidak berjalan efektif (Harianda, OK. Syahputra; Juanita, 2018).
Sebanyak 33,33% pengelola mengaku pernah mencium bau asap rokok di area KTR namun sebagian besar pelanggan tidak pernah komplain terkait terciumnya bau asap rokok. Sebanyak 32,18% pernah ditemukan puntung rokok namun sebagian besar pelanggan tidak
pernah komplain terkait kebersihan puntung rokok. Dari hasil yang didapat, banyak pengunjung yang tidak pernah melakukan komplain terkait paparan asap rokok maupun jika melihat puntung rokok di restoran hal ini juga menyebabkan pengelola menjadi tidak mengetahui keberadaan puntung rokok dan mengganggap bau asap rokok adalah hal yang biasa. Penelitian dengan hasil yang sama didapat bahwa penyebab rendahnya komplain dalam menegakkan suatu kebijakan dikarenakan adanya ketidaknyamanan dalam penyampaian dan keraguan seseorang dalam konteks memberi intervensi untuk memberitahu perokok agar berhenti merokok karena takut tidak dapat diterima secara sosial (Kaufman et al., 2015). Hal ini menjadi salah satu faktor penentu ketidakpatuhan restoran dikarenakan pengunjung jarang ingin melaporkan jika melihat pelanggaran di area KTR, padahal dalam Perda KTR telah dicantumkan bahwa peran serta masyarakat sangat penting dalam hal mengingatkan setiap orang yang melanggar ketentuan di area KTR maupun melaporkan setiap orang yang terbukti melanggar peraturan KTR (Pemda Kabupaten Tabanan, 2014).
Dalam hal penjualan produk rokok, pada penelitian ini sebanyak 6,90% restoran masih melakukan penjualan rokok dengan menjual rokok konvensional. Terkait penjualan rokok, penelitian di Mongolia menyatakan sebanyak 58,7% restoran melakukan penjualan rokok dan 11,8% setuju bahwa penjualan rokok konvensional merupakan sumber penting pemasukan untuk restoran (Chang et al, 2009). Di Indonesia walaupun dalam Perda
KTR masih diperbolehkan dalam penjualan rokok, sudah seharusnya pengelola restoran tidak menaikkan volume penjualan rokok melihat kunjungan restoran tidak hanya dikunjungi oleh orang dewasa saja, namun juga remaja bahkan anak-anak sehingga hal ini tidak membuat anak-anak ataupun remaja beranggapan bahwa rokok sebagai barang yang wajar untuk diperjualbelikan (Ramdhani et al., 2014).
Pada penelitian ini, seluruh pengelola mengaku tidak menerima iklan maupun promosi produk rokok di restorannya. Iklan, promosi, dan sponsorship rokok merupakan cara yang sangat efektif bagi industri rokok dalam memasarkan produknya terutama remaja yang menjadi target utama industri rokok sebagai calon pelanggan seumur hidup. Hal ini merupakan konsekuensi logis bagi sebuah industri rokok untuk mencari perokok pengganti agar industrinya terus berlanjut, yang tidak lain menyasar anak dan remaja (Salim, 2013). Pelarangan iklan maupun promosi rokok diharapkan berdampak pada meningkatnya larangan menyeluruh pada iklan, promosi, dan sponsor rokok serta menurunkan prevalensi perokok remaja di Indonesia (TCSC IAKMI, 2018).
Masih rendahnya kepatuhan KTR di restoran dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti karakteristik pengelola, perilaku merokok, pengetahuan pengelola, sikap pengelola, kekhawatiran pengelola akan dampak dari penerapan Perda KTR terhadap pemasukan dari usaha yang dijalankan, karakteristik restoran serta regulasi dan penegakan kebijakan KTR. Dari penelitian ini
diperoleh hasil secara statistik umur pengelola, pengetahuan pengelola, sikap pengelola, serta persepsi pengelola akan dampak dari penerapan Perda KTR terhadap pemasukan dari usaha yang dijalankan memiliki hubungan signifikan dengan kepatuhan KTR di restoran.
Karakteristik pengelola dilihat dari analisis bivariabel umur pengelola didapatkan hasil terdapat hubungan signifikan antara umur dengan kepatuhan pelaksanaan KTR di restoran. Ditinjau dari hasil analisis multivariabel, pengelola berumur lebih dari 36 tahun berpeluang lebih besar 3,45 kali meningkatkan kepatuhan KTR dibandingkan pengelola dengan umur kurang dari 36 tahun. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Trinidad (2005) yang menyatakan umur memiliki pengaruh dengan dukungan siswa untuk kepatuhan larangan merokok di sekolah (Trinidad et al., 2005) dan penelitian Rashid yang menyatakan umur merupakan faktor yang memengaruhi penerapan kebijakan bebas asap rokok (Rashid et al., 2014). Semakin cukup umur seseorang, tingkat kematangan dan kemampuan seseorang dalam berpikir akan lebih matang sehingga membuat seseorang dengan mudah akan meningkatkan kepatuhan (Knoers, 2004).
Karakterisik pengelola dilihat dari variabel jenis kelamin didapatkan hasil analisis bivariabel menunjukkan tidak ada hubungan signifikan dengan kepatuhan KTR. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Chang (2009) yang menunjukkan ada hubungan antara jenis kelamin dalam mematuhi pelaksanaan KTR, namun sebaliknya penelitian ini sejalan dengan Nawangsari
(2017) yang menyatakan faktor jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kepatuhan masyarakat terhadap Perda KTR (Nawangsari, 2017). Teori Health Belief Model dari Rosenstock & Strecher (1997) menyatakan bahwa jenis kelamin sebagai faktor demografi hanya sebagai penentu persepsi individu terhadap kerentanan, keparahan, keuntungan, dan hambatan yang memiliki dampak secara tidak langsung terhadap perilaku individu (Conner, 2005).
Ditinjau dari perilaku merokok pengelola, hasil analisis bivariabel menunjukkan tidak ada hubungan signifikan dengan kepatuhan KTR. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Devhy (2014) yang menunjukkan ada hubungan antara perilaku merokok dengan kepatuhan pelaksanaan KTR. Namun sebaliknya penelitian ini sejalan dengan penelitian Progo (2017) yang menyatakan tidak ada perbedaan status merokok pada pegawai terhadap kepatuhan peraturan daerah bebas rokok (Progo, 2017). Seseorang yang mematuhi penerapan KTR tidak selalu berhubungan dengan status merokok dan asertivitas (Cho et al., 2013).
Ditinjau dari karakteristik restoran, jenis restoran didominasi oleh restoran sedang (47,13%) dan desain restoran didominasi oleh restoran indoor (62,07%). Dikaitkan dengan kepatuhan, dari total restoran yang patuh dilihat dari jenis restoran, 52,17% adalah restoran sedang. Dari total restoran yang patuh dilihat dari desain restoran, 91,30% adalah restoran indoor. Dari hasil analisis bivariabel, variabel karakteristik restoran tidak terdapat hubungan signifikan antara
desain restoran dan jenis restoran terhadap kepatuhan KTR. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Chang (2009) yang menyatakan bahwa jenis restoran berpengaruh terhadap dukungan kepatuhan kebijakan KTR. Adanya perbedaan hasil diasumsikan karena kategori restoran dalam penelitian yang berbeda. Peneliti mengansumsikan karakteristik restoran tidak menjadi penentu seseorang mematuhi KTR dikarenakan pada dasarnya desain dan jenis restoran dibuat sesuai keinginan pengelola restoran dan tidak terikat dengan pedoman pada sebuah kebijakan tertentu, termasuk peraturan daerah mengenai KTR.
Ditinjau dari variabel pengetahuan, hasil analisis bivariabel, pengetahuan pengelola menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan kepatuhan KTR. Pada analisis multivariabel peneliti mempertimbangkan adanya hubungan variabel pengetahuan walaupun terlihat kecil dari nilai CI yang didapat, dimana pengelola yang memiliki pengetahuan baik berpeluang lebih besar 3,56 kali meningkatkan kepatuhan KTR. Penelitian ini sesuai dengan teori Lawrence Green, bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempermudah (Predisposing factor) terjadinya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007) dan sejalan dengan penelitian Tang (2004) menunjukkan pengetahuan pengelola membuat diberlakukannya kebijakan KTR. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam menentukan tindakan seseorang (Tang et al., 2004).
Ditinjau dari sikap pengelola, hasil analisis bivariabel, sikap pengelola
menunjukkan adanya hubungan signifikan dengan kepatuhan. Hasil analisis multivariabel, peneliti mempertimbangkan adanya hubungan sikap walaupun terlihat kecil dari nilai CI yang didapat, dimana pengelola yang memiliki sikap yang baik mendukung KTR berpeluang 2,45 kali meningkatkan kepatuhan KTR. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sa’roni (2018) menyatakan terdapat hubungan variabel sikap dengan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan Perda Kabupaten Pati Nomor 10 Tahun 2014 tentang KTR (Sa’roni, ahmad; Sriatmi, 2018). Sesuai dengan teori Lawrence Green, sikap merupakan salah satu faktor yang mempermudah (Predisposing factor) terjadinya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007).
Ditinjau dari kekhawatiran pengelola akan dampak dari penerapan Perda KTR terhadap pemasukan dari usaha yang dijalankan, hasil analisis bivariabel, variabel persepsi dampak bisnis menunjukkan adanya hubungan signifikan dengan kepatuhan. Dalam analisis multivariabel juga menunjukkan adanya hubungan signifikan dengan kepatuhan dimana pengelola yang memiliki persepsi baik berpeluang 4,62 kali meningkatkan kepatuhan KTR. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Zheng menyatakan bahwa pengelola restoran bepikir kebijakan melarang merokok di restoran akan mengurangi keuntungan restoran (Zheng et al., 2009), namun penelitian lain yang sejalan yaitu penelitian kualitatif di Amerika Serikat yang menunjukkan hasil pihak pengelola mengindikasikan tidak ada kerugian ekonomi dengan menjadikan restoran
sebagai KTR (Johnson et al., 2010). Penelitian mengenai evaluasi penegakan Perda KTR di Provinsi Bali menyatakan tidak ada dampak apapun terhadap kunjungan dan pendapat restoran. Kunjungan dan pendapatan restoran tetap meningkat dari tahun ke tahun (Putra, 2016). Persepsi memengaruhi perilaku kepatuhan. Hal ini sesuai dengan teori Lawrence Green, bahwa persepsi merupakan salah satu faktor yang mempermudah (Predisposing factor) terjadinya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007).
Ditinjau dari regulasi dan penegakan kebijakan, analisis bivariabel menyatakan tidak terdapat hubungan signifikan antara regulasi dan penegakan kebijakan dengan kepatuhan KTR. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dewi (2018) mengenai dukungan atasan menujukkan adanya pengaruh terhadap kepatuhan KTR. Peneliti mengasumsikan tidak terdapat hubungan signifikan dikarenakan dari hasil penelitian tidak ada variasi distribusi berbeda antara restoran yang patuh dengan restoran yang tidak patuh karena hampir seluruh pengelola restoran menyatakan rendahnya regulasi dan penegakan kebijakan oleh pemerintah daerah. Hasil penelitian ini menyatakan pemerintah daerah tidak merata dalam melakukan sosialisasi dan memberikan pedoman terkait penerapan kebijakan KTR. Pemerintah daerah juga belum pernah mengunjungi restoran untuk memantau maupun menyidak restoran sehingga pengawasan yang dilakukan menjadi tidak maksimal. Di samping itu, pemberian sanksi yang masih lemah bahkan tidak ada
bagi para pelaksana kebijakan yang tidak mengimplementasikan ketentuan kebijakan menjadi salah satu pemicu Perda KTR tidak efektif. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya ditemukan perokok aktif yang merokok di KTR.
Dalam penelitian ini hasil pseudo R2 menunjukkan bahwa kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel tergantung yaitu sebesar 0,21 atau 21% dimana variabel umur, sikap, pengetahuan, serta persepsi dampak bisnis dalam model memengaruhi kepatuhan KTR di restoran oleh pengelola, sedangkan sisanya terdapat faktor yang cukup kuat diluar model dalam hal ini seperti peranan dari regulator yang belum berjalan secara maksimal.
Rendahnya upaya pemerintah daerah dalam hal sosialisasi, pengawasan, maupun pemberian sanksi mengakibatkan kurangnya tingkat pengetahuan dan sikap pengelola terhadap kebijakan KTR. Hal ini berimplikasi terhadap rendahnya tingkat kepatuhan KTR pada restoran di Kabupaten Tabanan.
Adapun keterbatasan penelitian ini diantaranya peneliti tidak melakukan observasi langsung dalam melihat kepatuhan pengelola terhadap Perda KTR dikarenakan situasi Covid-19. Data pelaksanaan KTR restoran untuk penelitian ini diperoleh melalui self reported (laporan sendiri) sehingga ada kemungkinan pengelola tidak menjawab pertanyaan dalam survei dengan jujur.
SIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan penerapan KTR pada restoran di
Kabupaten Tabanan masih sangat rendah yaitu sebesar 26,44%. Rendahnya kepatuhan terjadi oleh karena pengetahuan dan sikap pengelola mengenai penerapan KTR di restoran sangat kurang sebagai akibat sosialisasi, monitoring, dan penegakan aturan KTR yang kurang dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan. Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan restoran di kabupaten tabanan yaitu umur pengelola, pengetahuan pengelola, sikap pengelola, serta persepsi dampak bisnis pengelola memengaruhi kepatuhan KTR. Sedangkan faktor yang tidak berhubungan dengan kepatuhan pengelola dalam menerapkan KTR yaitu jenis kelamin, perilaku merokok, karakteristik bisnis restoran, serta regulasi dan penegakan kebijakan.
SARAN
Keberhasilan penerapan Perda KTR pada restoran sangat ditentukan oleh peran serta pengelola restoran, pengunjung restoran, serta regulator kebijakan. Oleh karena itu pemerintah daerah yang bertanggungjawab dalam optimalisasi kepatuhan KTR (tim penegakan KTR) agar memberikan pembinaan dan pengawasan secara merata dan berkala dengan melakukan edukasi dan sosialisasi dengan bukti yang mendukung mengenai dampak penerapan KTR bagi restoran, pemberian pedoman, membuka konsultasi, serta melakukan monitoring evaluasi demi terciptanya 100% kepatuhan KTR. Edukasi dan sosialisasi yang diberikan harus menyeluruh mencakup informasi bahwa ruang khusus merokok tidak efektif mengurangi paparan asap rokok orang lain.
Bagi peneliti selanjutnya apabila ingin membuat penelitian yang serupa dengan penelitian ini, diharapkan menggunakan pendekatan secara kualitatif untuk meneliti dukungan pengelola dalam hal penyediaan sarana prasana pendukung kepatuhan, kendala yang dihadapi pengelola dalam pelaksanaan KTR di restoran, serta penyebab rendahnya upaya pemerintah sebagai regulator terkait kebijakan KTR. Selain itu, perlu digali lebih lanjut terkait persepsi dampak bisnis yang digali dengan melakukan analisis perbandingan keuntungan sebelum dan sesudah Perda KTR diimplementasikan di restoran.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali serta Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Tabanan yang telah membantu melancarkan penelitian dan membantu memudahkan penulis memperoleh data.
DAFTAR PUSTAKA
Chandora, R. D., Whitney, C. F., Weaver, S.
R., & Eriksen, M. P. (2015). Changes in georgia restaurant and bar smoking policies from 2006 to 2012. Preventing Chronic Disease, 12(5), 1–10.
https://doi.org/10.5888/pcd12.140520 Chang et al. (2009). Support for smoke-free policy among restaurant owners and managers in Ulaanbaatar, Mongolia. Tobacco Control, 18(6), 479–484.
https://doi.org/10.1136/tc.2009.030486 Cho, Y. S., Kim, H. R., Myong, J. P., & Kim,
H. W. (2013). Association between work conditions and smoking in South Korea. Safety and Health at Work, 4(4), 197–200.
https://doi.org/10.1016/j.shaw.2013.09.
001
Conner, N. (2005). The Health Belief Model.
Open University Press.
http://sphweb.bumc.bu.edu/otlt/MPH-Modules/SB/BehavioralChangeTheori es/BehavioralChangeTheories2.html
Coughlin, S. S., Anderson, J., & Smith, S. A.
(2015). Legislative smoking bans for reducing exposure to secondhand smoke and smoking prevalence: Opportunities for Georgians. Journal of the Georgia Public Health Association, 5(1), 2–7.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /26345719
Devhy, N. L. P., Astuti, P. A. S., & Duarsa, D. P. (2014). Pengaruh Faktor Pengelola terhadap Kepatuhan Pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Hotel Berbintang di Kabupaten Badung. Public Health and Preventive Medicine Archive, 2(2), 158.
https://doi.org/10.15562/phpma.v2i2.1 44
Dewi, Yulyana Kusuma, et al. (2018). Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kepatuhan Pegawai
terhadap Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang. 1(1), 8–15.
Harianda, OK. Syahputra; Juanita, I. Y. (2018). Implementasi Kebijakan Perda Kota Medan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Plaza Medan Fair Tahun 2018. Proceeding Book 5th ICTOH 2018.
Johnson, H. H., Becker, C., Inman, L., Webb, K., & Brady, C. (2010). Why Be Smoke-Free? A Qualitative Study of Smoke-Free Restaurant Owner and Manager Opinions. Health Promotion Practice, 11(1), 89–94.
https://doi.org/10.1177/1524839907309 866
Kaufman, M. R., Merritt, A. P., Rimbatmaja, R., & Cohen, J. E. (2015).
“Excuse me, sir. Please don’t smoke here”. A qualitative study of social enforcement of smoke-free policies in Indonesia. Health Policy and Planning, 30(8), 995–1002.
https://doi.org/10.1093/heapol/czu103
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia (pp. 1– 11).
https://www.kemkes.go.id/article/vie w/16011100002/perilaku-merokok-masyarakat-indonesia.html
Knoers, H. (2004). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagian. Gajah Mada University Press.
Navas, A., Çarkoğlu, A., Ergör, G., Hayran, M., Ergüder, T., Kaplan, B., Susan, J., Magid, H., Pollak, J., & Cohen, J. E. (2016). Compliance with smoke-free legislation within public buildings: a cross-sectional study in Turkey. Bulletin of the World Health
Organization, 94(2), 92–102.
https://doi.org/10.2471/blt.15.158238
Nawangsari, E. R. etall. (2017). Dinamika governance. Dinamika Governance FISIP UPN “Veteran” Jatim, 7.
Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka
Cipta.
Pemda Kabupaten Tabanan. (2014). Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 10 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa rokok. Implementation Science, 39(1), 1–15.
https://doi.org/10.4324/9781315853178
Pemerintah Daerah Provinsi Bali. (2011). Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Phys. Rev. E, 24.
http://ridum.umanizales.edu.co:8080/j spui/bitstream/6789/377/4/Muñoz_Zap ata_Adriana_Patricia_Artículo_2011.p df
Pemerintah Kabupaten Tabanan. (2019). Kembangkan Pariwisata Berbasis Budaya, Pemkab Tabanan Raih Penghargaan
Trisakti Tourism Award.
Pemerintah RI. (2012). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/1736 43/PP1092012.pdf
Progo, K. (2017). Kepatuhan dan ketegasan pegawai negeri pada peraturan daerah bebas rokok : studi komparatif di kabupaten Sleman dan Kulon Progo. Berita Kedokteran Masyarakat, 33, 609–614.
Putra, I. A. P. A. et. a. (2016). Evaluasi Penegakan Perda Kawasan Tanpa Rokok ( Ktr ) Di Provinsi Bali Melalui Penilaian Dukungan. January 2018.
https://www.researchgate.net/publicat ion/322755214
Ramdhani, L., Laili, F., & Jumlah, Z. (2014). Cigarette Vending Machine Dan Cicard “Solusi Alternatif Untuk Mengurangi Jumlah Perokok Aktif Dibawah Umur.” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Diponegoro, 4(1), 97412.
Rashid, A., Manan, A. A., Yahya, N., & Ibrahim, L. (2014). The support for smoke free policy and how it is influenced by tolerance to smoking -Experience of a developing country. PLoS ONE, 9(10), 1–7.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.01 09429
Sa’roni, ahmad; Sriatmi, A. et. a. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Masyarakat Desa Winong Kecamatan Pati Kabupaten Pati Dalam Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(4), 1–9.
Salim, dharmawan A. (2013). Promosi, Iklan, dan Sponsor Rokok Strategi Perusahaan Menggiring Remaja Untuk Merokok. BENEFIT Jurnal Manajemen Dan Bisnis, 17(1), 58–65.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xml ui/bitstream/handle/11617/4478/7.pdf? sequence=1&isAllowed=y
Sansone et al. (2020). Secondhand smoke exposure in public places and support for smoke-free laws in Japan: Findings from the 2018 ITC Japan survey. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(3), 1–10. https://doi.org/10.3390/ijerph17030979
Tang, H., Cowling, D. W., Stevens, C. M., & Lloyd, J. C. (2004). Changes of knowledge, attitudes, beliefs, and preference of bar owner and staff in response to a smoke-free bar law. Tobacco Control, 13(1), 87–89.
https://doi.org/10.1136/tc.2003.004390
TCSC IAKMI. (2012a). Bunga Rampai Fakta Tembakau dan Permasalahannya (Issue April 2016).
https://www.researchgate.net/publicat ion/301197501_Bunga_Rampai_Fakta_ Tembakau_dan_Permasalahannya_di _Indonesia_2014/link/570b760308aea6 608139c816/download
TCSC IAKMI. (2012b). Fact Sheet Landasan KTR. http://tcsc-indonesia.org/wp-
content/uploads/2012/08/Landasan_K TR.pdf
TCSC IAKMI. (2018). Paparan Iklan,
Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia. Tobacco Control Support
Centre. http://www.tcsc-
indonesia.org/wp-content/uploads/2018/10/Hasil-Studi-Paparan-Iklan-Promosi-dan-Sponsor-Rokok-di-Indonesia_TCSC-IAKMI.pdf
Trinidad, D. R., Gilpin, E. A., & Pierce, J. P.
(2005). Compliance and support for smoke-free school policies. Health
Education Research, 20(4), 466–475.
https://doi.org/10.1093/her/cyg143
Udayana Central. (2019). Survey Kepatuhan Perda Kawasan Tanpa Rokok No 10 Tahun 2011 by Desember 2018. Facsheet.
World Health Organization. (2011). Global Adult Tobacco Survey (GATS)| Indonesian Report.
https://www.who.int/tobacco/surveilla nce/survey/gats/indonesia_report.pdf
World Health Organization. (2013). WHO | MPOWER in action.
https://www.who.int/tobacco/mpower
/publications/brochure_2013/en/
Zaini, R. (2014). Studi Atas Pemikiran B.F Skinner Tentang Belajar. Journal of Visual Languages & Computing, 1(1),
287–301. https://doi.org/ISSN 23551925
Zheng, P., Fu, H., & Li, G. (2009). Smoke-free restaurants in Shanghai: Should it be mandatory and is it acceptable? Health Policy, 89(2), 216–224.
https://doi.org/10.1016/j.healthpol.200 8.06.002
*Email Korespondensi: meldakuswandari@student.unud.ac.id
272
Discussion and feedback