HUBUNGAN SAFETY CULTURE DENGAN PERILAKU KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA PADA PUSAT TEKNOLOGI DAN KESELAMATAN REAKTOR NUKLIR BATAN TAHUN 2020
on
Arc. Com. Health • april 2021
Vol. 8 No. 1: 55 - 71
ISSN: 2527-3620
HUBUNGAN SAFETY CULTURE DENGAN PERILAKU KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA PADA PUSAT TEKNOLOGI DAN KESELAMATAN REAKTOR NUKLIR BATAN TAHUN 2020
Carolyna Mairing1, I Made Ady Wirawan*1, Deswandri2
1Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2Pusat Teknologi dan Keselamatan Reaktor Nuklir (PTKRN) BATAN
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Safety culture merupakan budaya organisasi yang mengutamakan pada nilai–nilai dan sikap keselamatan. Walaupun instansi telah menghimbau tenaga kerja untuk mengutamakan keselamatan, namun tenaga kerja belum memahami bahwa perilaku K3 bagi tenaga kerja merupakan hal penting untuk menghindari PAK maupun KAK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan safety culture dan faktor individu dengan perilaku K3 di Pusat Teknologi dan Keselamatan Reaktor Nuklir (PTKRN) BATAN. Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif analitik dengan rancangan cross-sectional study. Responden pada penelitian ini berjumlah 51 orang dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Hasil menunjukan proporsi responden berperilaku K3 baik sebesar 49,02%. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai proporsi perilaku K3 lebih tinggi secara bermakna (p=0,023), sedangkan pada variabel umur, jenis kelamin, masa kerja dan safety culture tidak berhubungan secara bermakna dengan perilaku K3 (p>0,05). Oleh karena itu perlu dicermati faktor penyebab lebih luas yang mempengaruhi perilaku K3. Selain itu pihak manajemen hendaknya melakukan upaya untuk meningkatkan perilaku K3.
Kata Kunci: Safety culture, Perilaku K3, Tenaga Kerja
ABSTRACT
Safety culture is an organizational culture that prioritizes safety values and attitudes. Although the company has called on workers to prioritize safety, workers do not yet understand that safety behavior for workers is important to avoid both occupational illness and work accident. This study aims to determine the relationship between safety culture and individual factors with safety behavior at the Nuclear Reactor Technology and Safety Center BATAN. This study uses quantitative analytic research with a cross-sectional study design. Respondents in this study amounted to 51 people with a purposive sampling technique. The results show the proportion of respondents have nice safety behavior at 49.02%. A higher level of education has a significantly higher proportion of safety behavior (p = 0.023), while the age, sex, years of service and safety culture variables are not significantly related to safety behavior (p> 0.05). Therefore it is necessary to look at the wider factors that influence safety behavior. Besides, improvement of occupational health and safety should be targeted.
Keywords: Safety culture, Safety behavior, Workers
PENDAHULUAN
Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan oleh perusahaan untuk menjamin kesejahteraan pekerja yaitu keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Hal tersebut karena dampak kecelakaan akibat kerja maupun penyakit akibat kerja tidak hanya merugikan tenaga kerja, namun demikian juga
dengan merugikan perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara umum jumlah kecelakaan kerja yang terjadi sebanyak 80–85% diakibatkan oleh unsafe action, sedangkan sebanyak 15–20% disebabkan oleh unsafe condition (Kusumarini, 2017). Keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya sangat ditentukan
oleh kemampuan, kualitas pekerja dan kinerja kerja. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kerja yaitu safety culture. Safety culture yaitu sikap dalam suatu organisasi maupun individu yang mengutamakan keselamatan (Kharismasari, 2018). Morrow et al. (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa safety culture merupakan perhatian dalam industri–industri, diantaranya yaitu operasi tenaga nuklir.
Berdasarkan hasil penelitiannya pada United States Nuclear Industry menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara safety culture dengan perilaku K3 pada tenaga kerja. Kurangnya perilaku K3 merupakan akibat dari sebab terjadinya kecelakaan kerja. Perilaku K3 tenaga kerja merupakan suatu timbal balik dari tenaga kerja terhadap manajemen atas usaha keselamatan yang dilakukan oleh perusahaan (Zhou & Jiang, 2015).
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) merupakan salah satu Lembaga Pemerintah Non Kementrian Indonesia yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan pada bidang penelitian, pengembangan dan pemanfaatan tenaga nuklir. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah diterapkan di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) maka potensi bahaya semakin kompleks dan beragam (Andika, 2015) karena semakin banyak pekerja yang harus berhadapan dengan pekerjaan yang berpotensi terhadap kejadian KAK maupun PAK.
Salah satu bagian dari BATAN yaitu Pusat Teknologi dan Keselamatan
Reaktor Nuklir (PTKRN) yang memiliki proses kerja melakukan konsultasi dan bimbingan penelitian teknologi dan keselamatan reaktor nuklir, kemudian melakukan dan memfasilitasi pengujian dan analisis penelitian teknologi dan keselamatan reaktor nuklir (Tim Reformasi Birokrasi BATAN, 2011). Penerapan Safety culture pada industri besar seperti BATAN terkhusus pada divisi PTKRN perlu diperhatikan untuk menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, aman dan sehat bagi para pekerjanya sehingga dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dalam instansi serta terhindar dari kecelakaan kerja.
Heinrich dkk (1980) merumuskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku K3, yaitu faktor manajemen, faktor individu dan faktor lingkungan. Faktor individu terdiri dari (1) umur, (2) tingkat pendidikan, (3) masa kerja, (4) jenis kelamin. Umur berpengaruh terhadap daya tangkap serta pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia maka daya tangkap dan pola pikir akan semakin berkembang, sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin baik. Berdasarkan penelitian Septiani (2018) terdapat hubungan antara umur dengan perubahan perilaku pekerja dalam penerapan safe behavior.
Menurut Badan Pusat Statistik (2016) klasifikasi kelompok umur pada tenaga kerja terbagi menjadi 4 kelompok yaitu 20–29 tahun, 30–39 tahun, 40–49 tahun, kemudian ≥50 tahun.
Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap wawasan serta cara pandang dalam menghadapi suatu
ISSN: 2527-3620
masalah. Pendidikan sangat erat kaitannya dengan pengetahuan, seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan memiliki pengetahuan yang semakin luas. Berdasarkan hasil penelitian Rismayani (2017) terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan tentang keselamatan kerja dengan safety behavior (nilai p 0,021 dengan OR=4,675).
Pengalaman setiap individu berkembang menjadi pengetahuan serta keterampilan, hal tersebut berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan. Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang diperoleh lebih banyak sehingga memungkinkan tenaga kerja dapat bekerja lebih aman. Rinanda & Paskarini (2014) dalam penelitiannya pada pengemudi pengangkut bahan kimia berbahaya menyatakan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja terhadap perilaku selamat (safe behavior) dengan C=0,441.
Jenis kelamin merupakan perbedaan organ biologis laki–laki dan perempuan khususnya pada bagian alat reproduksi, laki–laki dan perempuan memiliki kecenderungan yang berbeda dalam hal pengalaman pekerjaan. Masyarakat Indonesia memiliki persepsi bahwa peran ideal perempuan adalah dirumah sedangkan peran ideal laki–laki adalah untuk bekerja, dengan demikian perempuan yang bekerja di luar rumah lebih rentan dalam mengalami konflik pekerjaan (Kismono et al, 2014).
Kemudian indikator perilaku K3 menurut Kristiana (2018) meliputi: (1)
patuh terhadap standar operasional prosedur, (2) berhati-hati dalam bekerja, (3) tidak melanggar peraturan institusi, (4) mengikuti pelatihan K3, (5) menghindari kecelakaan kerja, (6) melaporkan kerusakan keralatan kerja, (7) pemeriksaan kesehatan pada klinik, (8) tidak bergurau saat bekerja, (9) penggunaan alat pelindung diri, (10) penyelamatan diri pada kondisi darurat.
Safety culture dapat didefinisikan sebagai proses berinteraksi dari setiap individu yang terlibat dalam memberikan kontribusi untuk mencapai kinerja keselamatan yang tinggi. Safety culture memiliki lima karakteristik, yaitu: (1) keselamatan sebagai nilai yang diakui dan dihapami, (2) kepemimpinan keselamatan, (3) akuntabilitas keselamatan, (4) keselamatan terintegrasi, (5) keselamatan sebagai penggerak pembelajaran. International Atomic Energy Agency (IAEA) (1991) merumuskan suatu penilaian mandiri terhadap safety culture yaitu ‘Safety culture Assesment Review Team’ (SCART).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan kuantitatif. Rancangan penelitian menggunakan metode cross-sectional untuk menganalisis hubungan safety culture dengan perilaku K3 pada PTKRN BATAN. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah tenaga kerja pada PTKRN BATAN. Jumlah sampel minimum pada penelitian ini 50 responden. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner yang dikirim secara online untuk mengukur perilaku K3 responden sebagai variabel tergantung dan Safety culture Assesment Review Team (SCART) untuk mengukur persepsi safety culture responden sebagai variabel bebas. Selain itu juga terdapat faktor individu responden yaitu usia, jenis kelamin, masa kerja dan pendidikan.
Pengambilan data diawali dengan mengajukan formulir persetujuan kepada Komite Etik Penelitian Litbang Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. Tahap selanjutnya dimulai dari persiapan dengan meminta izin kepada pihak PTKRN BATAN dengan menjelaskan mengenai maksud dan tujuan kegiatan selama penelitian, setelah mendapat persetujuan dari pihak PTKRN BATAN maka penelitian dilaksanakan.
Kuesioner akan disebarkan kepada responden di PTKRN BATAN secara online yang didahului dengan pengisian informed consent. Analisis kuantitatif menggunakan tiga analisis yaitu deskriptif, bivariabel dengan uji chisquare dan multivariabel dengan uji multiple logistic regression. Penelitian ini telah diperiksa sesuai ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Litbang FK Unud/RSUP Sanglah dengan nomor 2020.01.1.0319 tertanggal 17 April 2020.
HASIL
Pengisisan kuesioner online ini diawali dengan perkenalan peneliti serta penjelasan mengenai tujuan penelitian serta kesediaan untuk menjadi responden lewat broadcast message. Kuesioner online
berisikan informed consent serta pertanyaan mengenai safety culture dan perilaku K3 yang terhubung langsung dengan google form peneliti.
Tenaga kerja yang bersedia menjadi responden pada penelitian ini berjumlah 52 tenaga kerja, setelah itu peneliti menemukan salah satu data responden yang salah dalam pengisian kuesioner. Kemudian data tersebut dihapus dan didapatkan hasil akhir yaitu 51 responden. Response rate dalam penelitian ini yaitu sebesar 56%.
Berdasarkan Tabel 1, ditemukan bahwa bahwa mayoritas tingkat pendidikan responden dengan pendidikan terakhir tingkat perguruan tinggi yaitu sebanyal 94,12%.
Umur responden pada penelitian ini paling banyak berada pada umur ≥50 tahun (60,78%). Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (78,43%). Ditinjau dari masa kerjanya, responden yang bekerja selama >3 tahun (lama) merupakan proporsi yang lebih banyak (94,12).
ISSN: 2527-3620
Tabel 1. Gambaran Faktor Individu Responden
Persepsi safety culture pada penelitian ini diukur menggunakan Safety culture Assesment Review Team (SCART) yang diadopsi dari International Atomic Energy Agency (IAEA) (1991). Terdapat 5 karakteristik Safety culture.
Setiap karakteristik safety culture dikategorikan menjadi dua, yaitu cukup jika skor <median dan baik jika skor ≥median karena berdasarkan analisis data tidak berdistribusi normal. Berdasarkan hasil penelitian, responden memiliki persepsi cukup terhadap safety culture yaitu sebanyak 50,98% dan 49,02% pekerja yang memiliki persepsi safety culture baik.
Distribusi proporsi safety culture berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Karakteristik dan Kategori Safety Culture
Karakteristik Safety culture |
Kategori Safety culture | |
Cukup (%) |
Baik (%) | |
Keselamatan sebagai nilai yang diakui dan dipahami |
50,98 |
49,02 |
Kepemimpinan dalam keselamatan |
50,98 |
49,02 |
Akuntabilitas keselamatan |
54,90 |
45,10 |
Keselamatan terintegrasi |
56,86 |
43,14 |
Keselamatan 56,86 43,14
sebagai penggerak pembelajaran
Berdasarkan Tabel 2, karakteristik pada safety culture seluruhnya memiliki proporsi cukup yang lebih tinggi daripada proporsi baik, walaupun kedua karakteristik tersebut tidak jauh berbeda.
Sebagai upaya dalam mengetahui kebutuhan tempat kerja dalam memperbaiki maupun meningkatkan tiap karakteristik safety culture, maka peneliti menggambarkan kondisi
berdasarkan skor rata-rata (mean) pada setiap karakteristik safety culture.
Gambar 1. Kondisi Safety culture
Keselamatan sebagai nilai yang diakui dan dipahami
Keselamatan sebagai penggerak pembelajaran
keselamatan —
Frekuensi Proporsi
Kepemimpinan dalam keselamatan
Keselamatan terintegrasi
Faktor
(%)
(n)
Individu
Pendidikan | ||
Pendidikan rendah |
3 |
5,88 |
Pendidikan tinggi Umur |
48 |
94,12 |
20-29 tahun |
3 |
5,88 |
30-39 tahun |
5 |
9.80 |
40-49 tahun |
12 |
23,53 |
≥50 tahun Jenis Kelamin |
31 |
60,78 |
Laki-laki |
40 |
78,43 |
Perempuan Masa Kerja |
11 |
21,57 |
≤3 tahun |
3 |
5,88 |
>3 tahun |
48 |
94,12 |
Berdasarkan Gambar 1, didapatkan hasil bahwa skor tertinggi terdapat pada karakteristik keselamatan sebagai nilai yang diakui dan dipahami (4,32), kemudian skor terendah yaitu terdapat pada karakterisik keselamatan sebagai penggerak pembelajaran (4,10)
Hasil penelitian terhadap perilaku K3 yaitu skor terendah 18 dan skor tertinggi 30 dengan median 28 (SD=3,04).
Selanjutnya, perilaku K3 dikelompokkan menjadi 3 kelompok pada Tabel 3
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kategori Perilaku K3
Berdasarkan analisis bivariabel pada Tabel 4, didapatkan hasil bahwa hanya pada variabel pendidikan yang memiliki p-value<0,05. Sehingga responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai proporsi perilaku K3 lebih tinggi secara bermakna.
Sedangkan faktor individu yang lainnya seperti umur, jenis kelamin, masa kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku K3 karena nilai p-value>0,05.
Kemudian pada variabel safety culture didapatkan hasil bahwa variabel safety culture memiliki p-value>0,05 sehingga tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku K3.
Dapat dilihat pada Tabel 5, hasil analisis menggunakan multiple logistic regression menunjukkan bahwa nilai p-value<0,05. Hal yang sama juga dapat dilihat dari nilai p-value pada masing-masing variabel bebas, yang berarti bahwa tidak terdapat pengaruh antara variabel bebas (safety culture) dan variabel luar (jenis
kelamin, usia, masa kerja, pendidikan) dengan perilaku K3.
DISKUSI
Perilaku K3 yaitu perilaku pekerja yang dapat bekerja dalam perasaan aman, nyaman, serta patuh terhadap peraturan di tempat kerja sesuai dengan standar yang berlaku. Aspek perilaku manusia saat terjadinya kecelakaan di tempat kerja merupakan hal yang ditekankan pada perilaku K3. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku K3 pada tenaga kerja, diantaranya yang dibahas dalam penelitian ini yaitu faktor individu berupa
Kategori Frekuensi Proporsi
Perilaku (n) (%)
K3
Kurang |
16 |
31,37 |
Cukup |
10 |
19,61 |
Baik |
25 |
49,02 |
pendidikan, umur, jenis kelamin dan masa kerja, serta safety culture pada tempat kerja.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa distribusi frekuensi pendidikan responden paling banyak berasal dari responden dengan pendidikan tinggi (94,12%). Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara pemahaman pendidikan K3 terhadap terjadinya kecelakaan kerja di SMK Muhamadiyah I Kepanjen. Hal tersebut karena tidak terdapat kurikulum pendidikan keselamatan kerja pada tingkat SMA/sederajat, sehingga besar potensi untuk tidak mengetahui pendidikan keselamatan yang sesuai (Laminanto, 2010).
Kemudian ditinjau dari karakteristik umur, rentang umur ≥50 tahun merupakan proporsi terbanyak (60,78%). Berdasarkan
ISSN: 2527-3620
World Health Organization (2014) usia produktif seseorang berada pada rentang umur 15-64 tahun, sehingga seluruh tenaga kerja yang menjadi responden pada penelitian ini seluruhnya termasuk dalam kategori pekerja usia kerja atau produktif.
Usia produktif merupakan usia yang secara fisik dan mental sudah mampu dalam melakukan pekerjaannya. Namun Gultom & Widajati (2016) dalam
dengan usia 44-65 tahun diharapkan untuk tidak melakukan pekerjaan yang memiliki risk/hazad tinggi, karena semakin bertambah usia maka kemampuan kekuatan fisik semakin menurun.
Kemudian ditinjau dari karakteristik umur, rentang umur ≥50 tahun merupakan proporsi terbanyak (60,78%).
penelitiannya menyatakan bahwa pekerja
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Hubungan Faktor Individu dan Safety
Culture dengan Perilaku K3
Variabel |
Kategori |
Perilaku K3 |
PR |
95% CI |
p | ||
Kurang |
Cukup |
Baik | |||||
Pendidikan |
Rendah Tinggi |
3 (100%) 13 (27,08%) |
0 (0,00%) 10 (20,83%) |
0 (0,00%) 25 (52,08%) |
5,68 |
1,27-25,3 |
0,023 |
Umur |
20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun ≥50 tahun |
1 (33,33%) 2 (40%) 4 (33,33%) 9 (29,03%) |
0 (0,00%) 1 (20%) 1 (8,33%) 8 (25,81%) |
2 (66,67%) 2 (40%) 7 (58,33%) 14 (45,16% |
0,86 |
0,35-2,11 |
0,75 |
Jenis Kelamin |
Laki-laki Perempuan |
12 (30%) 4 (36,36%) |
9 (22,50%) 1 (9,09%) |
19 (47,50%) 6 (54,55%) |
0,44 |
0,09-2,06 |
0,30 |
Masa Kerja |
Baru Lama |
10 (37,04%) 6 (25%) |
4 (14,81%) 6 (25%) |
13 (48,15%) 12 (50%) |
2.80 |
0,53-14,8 |
1,00 |
Safety culture |
Cukup Baik |
8 (30,77%) 8 (32%) |
7 (26,92%) 3 (12%) |
11 (42,31%) 14 (36%) |
1,63 |
0,38-15,5 |
0,50 |
Tabel 5. Analisis Multivariabel Safety culture dengan Perilaku K3
Perilaku K3 |
OR |
95% CI |
P Value |
Pseudo R2 |
Kurang | ||||
Cukup | ||||
Pendidikan |
5,68 |
-6335 – 6370 |
0,99 | |
Umur |
0,79 |
-0,92 – 1,90 |
0,49 | |
Jenis kelamin |
0,42 |
-3,89 – 1,12 |
0,28 | |
Masa kerja |
0,59 |
-1,19 – 3,05 |
1,00 | |
Safety culture |
1,23 |
-2,35 – 1,48 |
0,65 |
0,1474 |
Baik | ||||
Pendidikan |
5,68 |
-4263 – 4299 |
0,99 | |
Umur |
0,79 |
-1,31 – 0,58 |
0,45 | |
Jenis kelamin |
0,42 |
-2,21 – 0,97 |
0,44 | |
Masa kerja |
0,59 |
-0,72 – 2,81 |
0,24 | |
Safety culture |
1,23 |
-0,66 – 2,42 |
0,26 |
Proporsi jenis kelamin laki-laki merupakan yang terbanyak pada penelitian ini (78,43%). Qolbi (2020) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa banyaknya pekerja laki-laki dibanding dengan perempuan dapat didasari pada kecenderungan pencari nafkah atau penghasilan utama dalam keluarga yaitu laki-laki.
Menurut Notoatmojo (2012), semakin lama masa kerja maka pekerja dapat semakin mengenal kondisi lingkungan tempatnya bekerja. Sehingga tenaga kerja tersebut dapat menerapkan perilaku K3 yang baik. Masa kerja pada penelitian ini dihitung sejak responden mulai bekerja di tempat penelitian dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian ini, masa kerja responden berada pada rentang 2-39 tahun. Pada umumnya tenaga kerja dengan masa kerja ≤3 tahun dianggap memiliki pengalaman yang masih sangat terbatas, sedangkan tenaga kerja dengan masa kerja >3 tahun atau lebih dianggap memiliki pengalaman
kerja yang sudah banyak dan mengerti seluk beluk pekerjaan di tempat kerja (Ranthy, 2012). Sehingga pada penelitian ini, masa kerja dibagi menjadi masa kerja baru (≤3 tahun) dan masa kerja lama (>3 tahun). Proporsi terbanyak terdapat pada responden dengan masa kerja lama yaitu sebanyak 94,12%, sedangkan responden dengan masa kerja baru yaitu 5,88%.
Persepsi safety culture terdiri dari lima karakteristik, diantaranya yaitu (1) keselamatan sebagai nilai yang diakui dan dipahami, (2) kepemimpinan dalam keselamatan, (3) akuntabilitas keselamatan, (4) keselamatan terintegrasi, (5) keselamatan sebagai penggerak pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis seluruh karakteristik memiliki proposi cukup lebih tinggi dibanding proporsi baik. Secara keseluruhan proporsi cukup safety culture yaitu 50,98%, namun tidak berbeda jauh dengan proporsi baik yaitu 49,02%. Sehingga persepsi safety culture pada lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori cukup. Berdasarkan hasil penelitian Purwaningsih et al (2019) safety culture
ISSN: 2527-3620
kategori cukup berarti bahwa kinerja keselamatan masih berada dibawah ketentuan, sehingga menyebaban risiko pelanggaran terhadap kepatuhan persyaratan keselamatan.
Kemudian untuk mengetahui lebih jauh karakteristik safety culture yang perlu diperbaiki dalam membentuk sikap dan perilaku pekerja, maka karakteristik safety culture digambarkan dengan radar seperti pada Gambar 1.
Pada Gambar 1. yang menampilkan kondisi safety culture pada lokasi penelitian, karakteristik keselamatan sebagai nilai yang diakui dan dipahami memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan karakteristik lainnya (4,32). Contoh kegiatan yang dilakukan berdasarkan karakteristik keselamatan sebagai nilai yang diakui dan dipahami yaitu adanya komunikasi terkait nilai-nilai keselamatan melalui sosialisasi, workshop, sarasehan dan pelatihan budaya keselamatan, sharing penerapan budaya keselamatan, briefing pagi, coffee morning, daily meeting, serta pemasangan poster dan spanduk keselamatan. Sehingga berdasarkan penilaian pada penelitian ini, kegiatan berdasarkan keselamatan sebagai nilai yang diakui dan dipahami telah dijalankan dengan baik oleh lokasi penelitian. Astari & Ardyanto (2019) dalam penelitiannya berpendapat bahwa komunikasi K3 pada tenaga kerja merupakan hal yang penting untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap terkait K3.
Kepemimpinan dalam keselamatan dapat tercermin dari sikap pemimpin organisasi yang mengutamakan keselamatan. Pengaruh dari peran manajer
yaitu untuk membentuk kedisiplinan, perbaikan serta perubahan oleh karyawan (Jannah, 2019). Dapat dilihat pada Gambar 1. bahwa karakteristik kepemimpinan dalam keselamatan memiliki nilai skor rata-rata yaitu 4,22. Praktis dari karakteristik ini yaitu antara lain melibatkan manajer dalam pelatihan dan pengawasan keselamatan, serta manajer memfasilitasi pelatihan keselamatan dan peningkatan kompetensi individu. Sehingga berdasarkan penilaian pada penelitian ini, kegiatan berdasarkan kepemimpinan dalam keselamatan telah dijalankan dengan baik oleh lokasi penelitian.
Akuntabilitas dalam keselamatan yaitu penentuan tujuan pekerjaan, target serta adanya evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan untuk menilai pencapaian target. Berdasarkan Gambar 1. karakteristik akuntabilitas keselamatan memiliki nilai skor rata-rata yang cukup rendah yaitu 4,12. Upaya peningkatan safety culture berdasarkan karakteristik akuntabilitas keselamatan dapat dilakukan melalui penetapan tugas dan tanggung jawab pada tiap individu, adanya evaluasi rutin indikator kinerja keselamatan, adanya pelaporan rutin pada setiap kegiatan serta pelaporan terbuka terhadap masalah keselamatan. Berdasarkan hasil penelitian Manantu et al (2016) evaluasi kinerja serta pembagian kerja yang baik berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan.
Integrasi dari keselamatan dapat terlihat dalam seluruh proses pekerjaan mulai dari perencanaan hingga evaluasi, dimana seluruh proses dilaksanakan dengan mengutamakan kualitas. Berdasarkan Gambar 1. karakteristik
keselamatan terintegrasi memiliki skor rata-rata yang cukup rendah yaitu 4,12. Praktis yang dapat dilakukan untuk meningkatan keselamatan yang terintegrasi yaitu antara lain adanya pelaksanaan penilaian risiko pada tiap kegiatan penting, adanya pelatihan unutuk penguatan kompetensi, pengembangan perilaku yang berbasis pada keselamatan, penguatan kerjasama tim, serta kegiatan lainnya. Sedangkan pada lokasi penelitian tidak semua responden memahami konsep hazard idetification. Hasil penelitian Yunus & Rahmani (2019) menyatakan bahwa pelatihan K3 sesuai kebutuhan berkontribusi terhadap kesadaran karyawan dalam mengidentifikasi bahaya di tempat kerja, berdasarkan hal tersebut maka perlu dilaksanakan integrasi keselamatan secara berkala.
Karakteristik safety culture yang terakhir adalah keselamatan sebagai penggerak pembelajaran. Dalam penelitian ini, berdasarkan Gambar 1. karakteristik keselamatan sebagai penggerak pembelajaran memiliki skor rata-rata yang tidak berbeda jauh dengan karakteristik keselamatan sebagai penggerak pembelajaran, yaitu 4,13. Sehingga kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan karakteristik ini yaitu dengan pengadaan inspeksi K3 secara berkala, penilaian diri budaya keselamatan, pelaporan terkait masalah keselamatan, penyediaan sarana dan prasarana belajar yang memadai. Proses pembelajaran dapat dilakukan melalui pelatihan, studi banding, sarasehan untuk berbagi pengalaman dan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan budaya keselamatan.
Perilaku K3 responden diklasifikasi menjadi kurang, cukup, dan baik. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3 didaparkan proporsi tertinggi sebesar 49,02% responden berperilaku K3 baik. Hal ini berarti bahwa manajemen perusahaan telah menetapkan peraturan dan prosedur yang baik dan jelas sehingga mayoritas responden telah melaksanakannya dengan baik.
Kemudian distribui proporsi pernyataan perilaku K3 berdasarkan diperhatikan lebih lanjut untuk meninjau perilaku K3 yang perlu ditingkatkan.
Sebanyak 82,35% responden selalu mengikuti peraturan dan tidak mendapatkan sanksi, tetapi sebanyak 11,76% terkadang masih mendapat sanksi dan tidak mengikuti peraturan. Sedangkan 5,88% tidak pernah mematuhi peraturan. Hal ini masih berhubungan dengan perilaku K3 berhati-hati dalam bekerja, sehingga pernyataan ini sebaiknya diperbaiki dengan himbauan tegas berupa reward/punishment untuk menghindari resiko kerugian moral maupun material (Pangkey, 2012). Namun terdapat 2 pernyataan dalam hal ini, yaitu mengikuti peraturan dan mendapatkan sanksi, sehingga terdapat kemungkinan responden sulit untuk menjawabnya.
Melalui pelatihan K3 maka tenaga kerja diharapkan dapat mengidentifikasi bahaya disekitarnya. Berdasarkan pernyataan mengikuti pelatihan K3, sebanyak 50,98% responden telah mengikuti pelatihan K3, namun sebanyak 37,25% hanya mengikuti pelatihan K3 kadang-kadang. Kemudian sebanyak 11,76% tidak pernah mengikuti pelatihan K3. Hal ini perlu ditingkatkan dengan
ISSN: 2527-3620
mengadakan pelatihan K3 secara rutin setiap tahunnya dan mewajibkan seluruh tenaga kerja untuk mengikutinya (Kusuma, 2011).
Selanjutnya pada pernyataan selamat tanpa mengalami kecelakaan kerja, sebanyak 92,16% responden tidak pernah mengalami kecelakaan kerja, namun sebanyak 1,96% responden menjawab kadang-kadang dan 5,88% pernah mengalami kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja ini dapat disebabkan oleh faktor manusia, yaitu berupa tindakan manusia yang tidak mengutamakan keselamatan (Thaha, 2017). sehingga perlu diidentifikasi penyebab lebih lanjut terjadinya kecelakaan kerja.
Sebanyak 84,31% sering menghubungi petugas yang berwenang apabila terjadi kerusakan, namun sebanyak 13,73 menjawab kadang-kadang dan sebanyak 1,96% menjawab tidak pernah. Peralatan kerja yang rusak dapat membahayakan baik operator lainnya, maupun perusahaan (Husnianto, 2016). Lokasi penelitian melakukan upaya dalam menanggulangi hal ini dengan membuat logbook pencatatan tanggal dan operator mesin setiap mesin digunakan. Sehingga perlu dilakukan inspeksi dan pengecekan mesin secara berkala untuk menilai kerusakan, serta penyesuaian dengan logbook.
Sebanyak 80,39% responden sering memeriksa diri ke klinik kantor apabila terjadi kecelakaan kerja, namun 9,80% responden menjawab kadang-kadang dan 9,80% menjawab tidak pernah. Pernyataan ini kemungkinan terjadi karena kecelakaan kerja yang terjadi tidak berakibat fatal,
sehingga tenaga kerja memilih untuk menyembuhkan luka secara mandiri dengan P3K yang tersedia.
Penggunaan APD dengan baik dan benar merupakan bentuk perilaku K3 agar terhindar dari kecelakaan kerja (Sugarda et al, 2014). Sebanyak 72,55% responden menjawab menggunakan APD dalam bekerja, kemudian 17,65% responden menjawab kadang-kadang dan 9,80% responden menjawab tidak pernah. Pernyataan ini kemungkinan terjadi karena tidak seluruh tenaga kerja pada lokasi penelitian wajib menggunakan APD dalam bekerja (contohnya pada bagian tata usaha, dan lainnya), sehingga perlu dilakukan analisis berdasarkan lokasi tempat kerja.
Tenaga kerja diharapkan dapat melakukan upaya penyelamatan diri pada kondisi darurat. Mayoritas responden (92,16%) menjawab sering pada perilaku menyelamatkan diri apabila terjadi kegawatdaruratan, 5,88% responden menjawab kadang-kadang, dan 1,96% responden menjawab tidak pernah. Pernyataan ini kemungkinan terjadi karena selama masa kerja, responden belum pernah mengalami kondisi darurat secara langsungpada lokasi kerja. Berdasarkan hal tersebut maka peru diadakan pelatihan kondisi darurat agar seluruh pekerja dapat memahaminya (Suma’mur, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian ini, proporsi responden dengan perilaku K3 baik terdapat pada responden dengan pendidikan tinggi (p=0,023). Jika dilihat berdasarkan nilai p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara pendidikan dengan perilaku K3. Berdasarkan nilai PR
5,68 maka dapat disimpulkan bahwa pekerja dengan pendidikan rendah berisiko 5,68 kali melakukan perilaku K3 kurang. Hal ini didukung oleh penelitian dari Rismayani (2017) yaitu terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan periaku K3 (nilai p=0,021).
Berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara umur dengan perilaku K3 (p=0,75). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Halimah (2010) yang menyatakan bahwa umur tidak berpengaruh terhadap praktik keselamatan kerja, karena pekerja dengan umur yang lebih muda juga menunjukkan hasil kerja yang maksimal demi mendapat peluang karir yang lebih tinggi. Kemudian pelatihan K3 maupun kegiatan K3 lainnya dapat diikuti oleh setiap tenaga kerja, tanpa memandang umur. Namun hal ini berbanding terbalik dengan penelitian Kristiana (2018) yang menyatakan bahwa responden dengan umur yang lebih muda memiliki kecenderungan untuk berperilaku buruk.
Pada variabel jenis kelamin, berdasarkan nilai PR perempuan berisiko 0,44 kali melakukan perilaku K3 kurang dibandingkan dengan laki-laki, tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna secara statistik antara jenis kelamin dengan perilaku K3 (p=0,30). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Kristiana (2018) yang menyatakan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap perilaku K3. Setiap individu baik laki-laki maupun perempuan dalam lokasi penelitian melakukan yang terbaik untuk mematuhi peraturan serta SOP yang berlaku.
Masa kerja responden dikategorikan menjadi dua kategori yaitu masa kerja baru ≤3 tahun dam masa kerja lama >3 tahun. Berdasarkan nilai PR, tenaga kerja dengan masa kerja baru berisiko 0,59 kali melakukan perilaku K3 kurang dibandingkan dengan tenaga kerja masa kerja lama. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna secara statistik antara masa kerja dengan perilaku K3 (nilai p=0,30).
Tenaga kerja dengan masa kerja yang lebih lama tidak segan untuk membagikan informasi terkait pengetahuan K3 kepada tenaga kerja dengan masa kerja baru. Hal ini didukung oleh Fitriyana et al (2016) yang menyatakan bahwa meskipun masa kerja dapat mempengaruhi pengalaman seseorang, bukan berarti bahwa pengalaman tersebut merupakan faktor dominan dalam membentuk perilaku kesehatan dan keselamatan kerja.
Safety culture menurut yaitu seperangkat asumsi, nilai-nilai serta norma yang berkembang dalam organisasi untuk dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggotanya dalam mengatasi masalah. Pada penelitian ini penilaian safety culture dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan median. Berdasarkan nilai PR tenaga kerja dengan persepsi safety culture cukup berisiko 1,63 kali melakukan perilaku K3 kurang dibandingkan dengan tenaga kerja dengan persepsi safety culture baik. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna secara statistik antara persepsi safety culture dengan perilaku K3 (p=0,50).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi safety culture termasuk ke dalam kategori cukup (50,98%), namun hasil
ISSN: 2527-3620
tersebut tidak jauh berbeda dengan proporsi persepsi safety culture baik yaitu 49,02%. Walaupun termasuk pada kategori safety culture cukup, responden tetap berpeilaku K3 dengan baik sesuai dengan peraturan dan prosedur yang ada. Hal ini didukung oleh penelitian Kharismasari (2018) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara safety culture dengan perilaku K3 pada karyawan (p=0,512).
Model akhir dari uji analisis multivariat dapat dilihat pada Tabel 5, sehubungan seluruh variabel memiliki nilai p-value>0,05 maka didapatkan hasil akhir bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Berdasarkan tabel analisis multivariat dapat dilihat bahwa variabel pendidikan, umur, jenis kelamin, masa kerja, safety culture hanya 14% saja mempengaruhi perilaku K3 (Pseudo R2=0,1474).
Pendidikan mempunyai pengaruh paling kuat terhadap perilaku K3, yaitu responden dengan tingkat pendidikan rendah berisiko memiliki perilaku K3 kurang 5,68 kali lebih besar dibandingkan dengan responden dengan pendidikan tinggi. Namun risiko perilaku K3 buruk akibat tingkat pendidikan tersebut tidak berpengaruh secara signifikan secara statistik (p>0,05). Suryanto dkk (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pengetahuan manusia tidak hanya didapat melalui pendidikan, namun dapat dari hal lainnya seperti pengalaman diri sendiri, pengalaman orang lain, media massa serta lingkungan.
Selain itu responden dengan masa kerja baru berisiko memiliki perilaku K3 kurang 2,87 kali lebih besar dibandingkan
dengan responden dengan masa kerja lama. Meski begitu, risko perilaku K3 buruk akibat masa kerja tersebut tidak berpengaruh secara signifikan secara statistik (p>0,05). Sangaji dkk (2018) juga berpendapat bahwa masa kerja tidak berpengaruh terhadap perilaku K3 karena responden dengan masa kerja baru pada umumnya memiliki semangat kerja yang tinggi, maka mereka mengaktualisasikan dirinya dengan mentaati prosedur keselamatan serta memberikan hasil kerja yang terbaik untuk mendapatkan pengakuan dari pengawas.
Pada variabel persepsi safety culture, responden dengan persepsi safety culture cukup berisiko memiliki perilaku K3 kurang 1,23 kali lebih besar dibandingkan dengan responden dengan persepsi safety culture baik. Namun risiko perilaku K3 buruk akibat persepsi safety culture tersebut tidak berpengaruh secara signifikan secara statistik (p>0,05). Berdasarkan hal tersebut maka perlu dicermati faktor penyebab yang lebih luas seperti kepemimpinan dan desain kerja maupun tempat kerja, selain itu juga terkait dengan sikap individu serta kepribadian (Clissoid, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat peneliti berikan bagi peneliti selanjutnya adalah untuk melakukan analisis berdasarkan lokasi kerja pada tiap tenaga kerja, melakukan uji validitas dan realibilitas terhadap instrumen, serta uji validitas konten agar penyampaian kuesioner dapat lebih mudah dimengerti oleh responden, melakukan analisis berdasarkan seluruh tenaga kerja pada lokasi penelitian, untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih komperhensif.
Kemudian bagi responden untuk memahami konsep penilaian risiko dan identifikasi hazard, sehingga integrasi keselamatan dapat berjalan dengan baik, dan hendaknya responden berpartisipasi dalam penelitian untuk dapat menghasilkan data penelitian yang komperhensif, sehingga dapat dibentuk kebijakan yang sesuai dengan kondisi tempat kerja.
Kemudian saran bagi manajemen dalam hal peningkatan karakteristik safety culture, pihak manajemen hendaknya mengadakan inspeksi keselamatan secara rutin dan berkala, serta penyediaan sarana dan prasarana belajar yang memadai, kemudian dalam hal peningkatan perilaku K3 pihak manajemen hendaknya melakukan pemberian reward dan punishment sebagai ungkapan dari pihak manajemen terhadap kinerja tenaga kerja sebagai usaha untuk terus menstimulus tenaga kerja agar berperilaku K3 baik, mengadakan pelatihan K3 secara rutin, pengecekan mesin kerja untuk menilai kerusakan.
SIMPULAN
Berdasarkan faktor individu, mayoritas tingkat pendidikan responden dengan pendidikan terakhir tingkat perguruan tinggi (94,12%), sebagian besar responden berumur ≥50 tahun (60,78%), dan sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (78,43%), kemudian responden yang bekerja selama >3 tahun merupakan proporsi yang lebih banyak (94,12%).
Berdasarkan radar kondisi safety culture, keselamatan sebagai nilai yang diakui dan dipahami merupakan proporsi
skor yang tertinggi (4,32), sedangkan skor yang terendah dan perlu perbaikan yaitu keselamatan sebagai penggerak pembelajaran (4,10) yaitu dengan inspeksi K3 secara berkala.
Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden memiliki perilaku K3 baik. Namun terdapat beberapa komponen yang perlu diperbaiki, diantaranya yaitu diskusi penentuan SOP kerja, pengadaan himbauan tegas dalam bekerja hati-hati, identifikasi penyebab kecelakaan kerja, pengecekan mesin secara berkala, dan adanya pelatihan kondisi darurat secara berkala.
Berdasarkan hasil analisis multivariat didapatkan hasil bahwa tidak terdapat pengaruh antara variabel bebas (safety culture) dan variabel luar (jenis kelamin, usia, masa kerja, pendidikan) terhadap variabel tergantung yaitu perilaku K3 (p>0,05).
Terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu: (1) pengambilan data dilakukan melalui kuesioner online akibat adanya wabah COVID-19 yang mewajibkan lokasi penelitian untuk melakukan work from home. Akibatnya peneliti kesulitan untuk menghubungi responden secara satu per satu untuk mengisi kuesioner, dan tingkat response rate hanya 56%, (2) sebanyak 44% tenaga kerja dari total sampel tidak berpartisipasi dalam pengisian kuesioner, sehingga dapat mengakibatkan hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan, (3) uji validitas konten untuk memperbaiki bahasa dan kalimat pada butir pertanyaan kuesioner tidak dilakukan. Sehingga terdapat kemungkinan responden kurang memahami pertanyaan yang ada pada instrumen penelitian, (4) instrumen
ISSN: 2527-3620
penelitian tidak dikategorikan berdasarkan bidang pekerjaan dan paparan risiko hazard yang diterima oleh masing-masing tenaga kerja, sehingga dapat menimbulkan hasil penelitian bias informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Andika, P. (2015) ‘Conceptual Design Sistem Instrumen Untuk Reaktor Daya Eksperimental (RDE) Berbasis High Temperature Reactore (HTR) PTKRN BATAN’, Journal of Chemical Information and Modeling.
Astari, L. A. dan Ardyanto, D. (2019) ‘Hubungan Media Komunikasi K3 dengan Pengetahuan dan Sikap Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Karyawan Bagian Produksi’, JPH Recode, 2, pp. 93–104.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2016) Konsep dan Penjelasan Teknis. Jakarta: BPSI.
Clissoid, G. (2004) ‘Understanding Safety
Performance Using Safety Climate and Psychological Climate’, Bussines and Economic : Monash University.
Fitriyana, I., Ekawati dan Kurniawan, B. (2016) ‘Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kesiapsiagaan Tanggap Darurat pada Aviation Security terhadap Bahaya Kebakaran di Terminal Bandara X’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 4(3), pp. 416– 424.
Gultom, G. O. dan Widajati, N. (2016) ‘Hubungan Personal Factor Dengan Safety Behaviour Pekerja Confined Space PT. X’, Jurnal Ilmiah Keperawatan, 2(2), pp. 2477–4391.
Halimah, S. (2010) ‘Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Perilaku Aman Karyawan di PT. Sim Plant Tambun II Tahun 2010’, Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Heinrich, H. W., Peterson, D. dan Roos, N. (1980) Industrial Accident Prevention. New York: McGraw-Hill Book
Company.
Husnianto, A. (2016) ‘Analisis Faktor -Faktor Penyebab Kerusakan Alat di Bengkel Otomotif SMK Negeri 2 Pengasih’, Jurnal Teknik Otomotif Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.
International Atomic Energy Agency (INSAG) (1991) SAFETY SERIES CATEGORIES IN THE IAEA SAFETY SERIES, Atomic Energy. Vienna: IAEA Safety Series.
Jannah, T. R. (2019) ‘Dinamika Peran Pemimpin Dalam Menerapkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)’, Jurnal Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Kharismasari, C. N. (2018) ‘Hubungan Pengetahuan dan Perilaku K3 dengan Budaya K3 Bagi Perawat di Rumah Sakit Widodo Ngawi’, Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kismono, G., Rosari, R. dan Suprihanto, J. (2014) ‘Faktor - Faktor Demografik (Jenis kelamin, Usia, Status Pernikahan, Dukungan Domestik) Penentu Konflik Pekerjaan dan Keluarga dan Intensi Keluar Karyawan: Studi pada Industri
Perbankan Indonesia’, Jurnal Siasat Bisnis, 17(2), pp. 208–224.
Kristiana, T. (2018) ‘Hubungan
Pengetahuan dan Sikap Tenaga Kerja
dengan Perilaku Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Hotel X Seminyak Bali’, Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Kusuma, I. J. (2011) ‘Pelaksanaan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Karyawan PT. Biratrex Industries Semarang’, Diponegoro University Institutional Repository.
Kusumarini, D. A. (2017) ‘Perbedaan Unsafe Action dan Unsafe Condition antara Sebelum dan Sesudah Safety Patrol’, Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang, pp. 1–88.
Laminanto, Y. Y. (2010) ‘Pengaruh pemahaman dan perilaku K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) terhadap terjadinya kecelakaan kerja di SMK Muhammadiyah I Kepanjen’, Perpustakaan Universitas Negri Malang.
Manantu, I. W., Tewal, B. dan Sepang, J. L. (2016) ‘Analisis Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Evaluasi Kinerja, dan Pembagian Kerja serta Pengaruhnya Terhadap Prestasi Kerja Karyawan (Studi Kasus Pada PT. PLN (PERSERO) Area Manado)’, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, 16(03), pp. 156– 167.
Morrow, S. L., Kenneth Koves, G. dan Barnes, V. E. (2014) ‘Exploring the relationship between safety culture and safety performance in U.S. nuclear power operations’, Safety Science. Elsevier Ltd, 69, pp. 37–47.
Notoatmojo, S. (2012) Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Pangkey, F. (2012) ‘Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) Pada Proyek
Konstruksi di indonesia (Studi Kasus: Pembangunan Jembatan Dr. Ir. Soekarno-Manado)’, Jurnal Ilmiah Media Engineering, 2(2).
Purwaningsih, R., Handayani, N. U. dan Miranda, N. (2019) ‘Penilaian Budaya Keselamatan Dengan Metode Scart (Safety Culture Assessment Review Team) Pada Badan Pengelola Instalasi Nuklir’, J@ti Undip: Jurnal Teknik Industri, 14(1), p. 27.
Qolbi, A. N. (2020) ‘Hubungan Persepsi Iklim Keselamatan dengan
Kepatuhan Pekerja Konstuksi pada Program K3 di Proyek X’, Archive of Community Health, 7(1), pp. 1–10.
Ranthy, F. D. D. (2012) ‘Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja pada Pramuniaga Ramayana
Makassar Town Square di Kota Makassar Tahun 2012’, Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Rinanda, F. dan Paskarini, I. (2014) ‘Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Selamat pada Pengemudi Pengangkut Bahan Kimia Berbahaya PT. Aneka Gas Inudstri, Sidoarjo’, The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, 3(1), pp. 58–70.
Rismayani (2017) ‘Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Keselamatan Kerja dengan Safety Behavior (Perilaku Aman) Pada Perawat di Puskesmas Kecamatan Grogol Petamburan Tahun 2016’, Repositori Universitas Esa Unggul.
Sangaji, J., Jayanti, S. dan Lestantyo, D. (2018) ‘Faktor-Faktor yang
Behubungan dengan Perilaku Tidak Aman Pekerja Bagian Lambung Galangan Kapal PT X’, Jurnal
ISSN: 2527-3620
Kesehatan Masyarakat, 6(5), pp. 563– 571.
Septiani, N. (2018) ‘Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Pekerja Dalam Penerapan Safe Behavior Di Pt. Hanil Jaya Steel’, The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, 6(2), p. 257.
Sugarda, A., Santiasih, I. dan Juniani, A. I. (2014) ‘Analisa Pengaruh Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Terhadap Allowance Proses Kerja Pemotongan Kayu (Studi Kasus: Pt. Pal
Indonesia)’, J@Ti Undip: Jurnal Teknik Industri, 9(3).
Suma’mur (2014) Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: PT. Sagung Seto.
Suryanto, Heryanto dan Andodo, C. (2015) ‘Pengaruh Pelatihan Safety Behavior Terhadap Pengetahuan dan Sikap Kelompok Usaha Kecil Menengah (UKM) di Sekitar UNSOED Purwokerto’, 7(2), pp. 132–144.
Thaha, A. I. (2017) ‘Gambaran Kecelakaan Kerja, Penyakit Akibat Kerja dan Postur Janggal pada Pekerja Armada Mobil Sampah Tangkasaki di Kota Makassar Tahun 2016’, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Tim Reformasi dan Birokrasi BATAN. (2011) ‘Profil Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)’, Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi BATAN.
Ganeva: World Health Organization.
Yunus, D. dan Rahmani, N. S. (2019) ‘Hubungan Pelatihan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Terhadap Kesadaran dan Pemberdayaan Mencegah Kecelakaan Kerja pada Perawat di Pelayanan Rawat Inap Khusus RSUP dr Sardjito
Yogyakarta’, Jurnal Universitas Gadjah Mada.
Zhou, F. dan Jiang, C. (2015) ‘Leader-member Exchange and Employees’ Safety Behavior: The Moderating Effect of Safety Climate’, Procedia Manufacturing.
Elsevier B.V., 3(Ahfe), pp. 5014–5021.
World Health Organization. (2014) The Health of the Perople: What Works.
71
Discussion and feedback