Arc. Com. Health • juni 2017

ISSN: 2527-3620

Vol. 4 No. 1 : 71 - 78

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN

PADA RUMAH TANGGA SASARAN DI DESA BATUKANDIK, NUSA PENIDA

A.A. Sagung Putri Kusuma Dewi, Ni Wayan Arya Utami*

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan keragaman pangan berdasarkan sumbangan energi dari kelompok pangan utama. Skor PPH di Provinsi Bali tahun 2014 masih rendah (58,2%). Kondisi skor PPH rendah tersebut banyak ditemukan pada rumah tangga miskin (RTS) dan RTS terbanyak di Bali tahun 2013 terdapat di Desa Batukandik Nusa Penida. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara jumlah anggota keluarga, pengetahuan ibu tentang gizi, tingkat pendapatan keluarga, pengeluaran pangan rumah tangga, pantangan makan dan kepemilikan lahan dengan skor PPH. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif analitik dengan desain cross- sectional. Sampel penelitian sebanyak 64 RTS dipilih menggunakan teknik cluster random sampling. Data dianalisis dengan univariat dan bivariat dengan menggunakan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan ibu tentang gizi (OR= 4,21; 95%CI OR=1,20-15,78, p=0.01), tingkat pendapatan keluarga (OR= 10; 95%CI OR= 1,99-63,72, p=0.00) dan pengeluaran pangan rumah tangga (OR= 6,28; 95%CI OR= 1,47-37,12, p=0.00) berhubungan secara signifikan dengan skor PPH. Sementara jumlah anggota keluarga, pantangan makan dan kepemilikan lahan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan skor PPH.

Kata Kunci: pola pangan harapan, gizi, pendapatan keluarga, pengeluaran pangan

ABSTRACT

Expected Food Pattern (EFP) is composition of dietary diversity based on energy contribution on the main food. It was known that EFP score of Bali Province year 2014 was remaining low (58,2%). Low EFP score was mainly found in poor household and the largest number of poor households in year 2013 were found in di Batukandik village of Nusa Penida Island. This study aimed to describe household EFP score, number of family members, mother’s knowledge about nutrition, family income level, household food expenditure, diet prohibition and land ownership status with EFP score. This quantitative study was conducted with cross sectional design. Samples were 64 poor household which selected by cluster random sampling. Data was analyzed univariate and bivariate using chi square test. Result showed that mother’s knowledge about nutrition (OR= 4,21; 95%CI OR=1,20-15,78; p=0.01), family income level (OR= 10; 95%CI OR= 1,99-63,72; p=0.00) and household food expenditure (OR= 6,28; 95%CI OR= 1,4737,12, p=0.00) were significantly associated with PPH score. Meanwhile number of family members, diet prohibition land ownership status was not significantly associated with EFP score.

Keywords: Expected Food Pattern, nutrition, family income, food expenditure

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah yang luas terbentang dari Sabang sampai Merauke. Beragam jenis bahan pangan lokal terdapat di Indonesia. Pola konsumsi pangan di Indonesia masih didominasi oleh tingginya konsumsi beras sebagai pangan pokok sementara konsumsi umbi-umbian, protein, sayuran dan buah-buahan masih

belum mencapai target walaupun terjadi peningkatan konsumsi (Kementan, 2014). Berdasarkan hal tersebut pemerintah membentuk Program Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) yang bertujuan untuk mengupayakan masyarakat mengkonsumsi beragam makanan yang bergizi, seimbang dan aman, yang dimulai dari konsumsi rumah tangga. Program ini memiliki indikator outcome yaitu skor pola

pangan harapan (PPH). Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan keanekaragaman pangan berdasarkan sumbangan energi dari kelompok pangan utama. Berdasarkan laporan Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian tahun 2014, capaian skor PPH di Indonesia adalah 83,6% sedangkan skor PPH di Bali tahun 2014 adalah 58,2%. Kondisi ini banyak terjadi pada Rumah Tangga Miskin (RTS), dimana penduduk miskin terbanyak terdapat di Kabupaten Klungkung yaitu sebesar 14.627 jiwa, yang tersebar di empat Kecamatan. Dari empat kecamatan itu yang memiliki penduduk miskin terbanyak adalah Kecamatan Nusa Penida yaitu di Desa Batukandik. Dengan dasar banyaknya penduduk miskin, faktor yang mempengaruhi skor PPH serta keadaan sarana prasarana yang dibutuhkan untuk mengirimkan pasokan bahan makanan maka penelitian ini dilakukan di Desa Batukandik Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2016. Populasi penelitian ini adalah ibu/istri dari kepala keluarga yang termasuk RTS di Desa Batukandik Nusa Penida. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 64 RTS yang dipilih secara cluster random sampling. Data dikumpulkan dengan wawancara

Karakteristik

menggunakan kuisioner. Variabel tergantung adalah skor PPH, dan variable bebas yaitu jumlah anggota keluarga, pengetahun gizi ibu, tingkat pendapatan    keluarga,

pengeluaran pangan rumah   tangga,

pantangan makan dan kepemilikan lahan. Data dianalisis secara univariat dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square.

HASIL

Tabel 1 menggambarkan karakteristik responden berdasarkan usia, ibu, pekerjaan ibu dan pendidikan terakhir ibu. Didapatkan hasil bahwa usia responden hampir sama antara yang diatas atau dibawah rerata usia, pada umumnya bekerja sebagai petani (68,75%) dan lebih dari setengahnya hanya bersekolah sampai tamat SD (Sekolah Dasar) (64,06%).

Gambaran Skor PPH pada RTS di Desa Batukandik Pulau Nusa Penida

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi RTS di Desa Batukandik Pulau Nusa Penida dengan skor PPH kurang (<85,2) adalah 32,81% dan yang memiliki skor PPH cukup (≥85,2) adalah 67,19%. Rerata skor PPH adalah 67,91.

Tabel 1. Karakteristik Responden

f      %

Usia

(mean±SD) (tahun)

< 35 thn


(35 ± 9,55)

31      48,44


35 thn

Pekerjaan


33     51,56


Arc. Com. Health • juni 2017 ISSN: 2527-3620

Vol. 4 No. 1 : 71 - 78

Ibu RT

20

31,25

Petani

44

68,75

Pendidikan Terakhir

Tidak Sekolah

12

18,75

SD

41

64,06

SMP

4

6,25

SMA

7

10,94

Table 2. Faktor yang berhubungan dengan skor PPH


Karakteristik

Kurang

Cukup

Crode OR

95% CI OR

nilai p

n   %

N   %

Jumlah Anggota Keluarga

Besar (6)

8   61,54

5     38,46

Reff

Kecil (<6)

35   68,63

16    31,37

0,73

0,17-3,32

0,62

Pengetahuan Ibu tentang

Gizi

27  81,82

6     18,18

Reff*

Kurang

16  51,61

15    48,39

4,21

1,20-15,78

0,01

Baik

Tingkat Pendapatan

Rendah

40  76,92

12    23,00

Reff*

Cukup

3  25,00

9     75,00

10

1,99-63,72

0,00

Pengeluaran Pangan RT

Rendah

22  88,00

3     12,00

Reff*

Cukup

21  53,85

18    46,15

6,28

1,47-37,12

0,00

Pantangan Makan

Ya

6   54,55

5     45,45

Reff

Tidak

37  67,19

16    30,19

0,31

0,11-2,50

0,32

Kepemilikan Lahan

Milik Orang Lain

3   100,00

0     0,00

Reff

Milik Sendiri

40  65,57

21    34,43

-

0,38

0,54

Ket: *p<0,05 = berhubungan


Faktor berhubungan dengan Skor PPH

Tabel 2 menunjukkan hubungan antara variable bebas dengan skor PPH. Faktor yang berhubungan secara signifikan dengan skor PPH adalah pengetahuan ibu tentang gizi, tingkat pendapatan keluarga,

RTS dengan Skor PPH cukup memiliki pengetahuan gizi yang baik sebanyak 48,39% dan 18,18% memiliki pengetahuan gizi kurang. Berdasarkan besar efek nilai OR pengetahuan ibu tentang gizi baik meningkatkan peluang memiliki skor PPH cukup sebanyak 4,21 kali dibandingkan

dengan ibu yang memiliki pengetahuan kurang (OR=4,21; 95%CI OR= 1,20-15,78).

RTS dengan skor PPH kurang yang memiliki pendapatan rendah sebanyak 76,92% dan pendapatan cukup sebanyak 25%. Dilihat dari nilai OR bahwa tingkat pendapatan keluarga yang cukup meningkatkan peluang memiliki skor PPH cukup 10 kali dibandingkan dengan tingkat pendapatan keluarga yang rendah. (OR= 10; 95%CI OR= 1,99-63,72). Pada RTS dengan skor PPH kurang, sebanyak 88% memiliki pengeluaran pangan RT cukup dan sebanyak 53,85% memiliki pengeluaran pangan RT rendah. Dilihat dari nilai OR pengeluaran pangan RT cukup meningkatkan peluang memiliki skor PPH cukup 6,28 kali dibandingkan dengan pengeluaran pangan RT rendah (OR= 6,28; 95%CI OR= 1,47-31,12). Faktor lainnya seperti jumlah anggota keluarga, pantangan makan dan kepemilikan lahan tidak bermakna secara statistik karena nilai p <0,05.

DISKUSI

Berdasarkan laporan Badan Ketahanan angan tahun 2015 standar dari skor PPH yaitu 85,2 sedangkan skor PPH pada penelitian yang dilakukan di Desa Batukandik masih rendah dengan rata-rata skor PPH 67,91. Hasil dari skor PPH di Desa Batukandik masih rendah dibandingkan dengan standar disebabkan oleh konsumsi dari padi-padian dan olahannya yang masih tinggi, konsumsi dari sayur dan buah, kacang-kacangan yang sudah cukup sedangkan konsumsi umbi-umbian, daging/hewani, minyak dan lemak serta buah/biji berminyak dan gula yang masih kurang. Dimana seharusnya konsumsi dari daging/hewani ditingkatkan karena bobot

pada kelompok pangan tinggi yang akan mempengaruhi skor PPH. Tidak hanya daging/hewan saja yang dtitingkatkan tetapi umbi-umbian, minyak dan lemak serta buah/biji berminyak dan gula ditingkatkan.

Jumlah anggota keluarga menunjukkan tidak adanya hubungan dengan skor PPH disebabkan walu jumlah anggota keluarga itu kecil tetapi pendapatan dan pengeluaran yang dimiliki keluara itu juga kurang sama saja tidak dapat membeli bahan makan secara tidak langsung akan mempengaruhi skor PPH. Dimana semakin banyak jumlah anggota rumah tangga maka pengeluaran untuk makanan akan semakin besar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yuni et. al., (2013) tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan skor PPH disebabkan semakin banyak jumlah anggota rumah tangga maka secara kuantitas konsumsi pangan semakin bertambah dan bervariasi, secara tidak langsung beban yang ditanggung rumah tangga juga semakin besar, sehingga rumah tangga memutuskan untuk memilih jenis pangan yang lebih murah dan mudah didapatkan dalam jumlah yang banyak untuk memenuhi unsur kenyang, bukan untuk memenuhi kebutuhan gizi rumah tangga. Didukung juga dengan penelitian dari Zahara and Nina (2012) tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan skor PPH disebabkan faktor kuantitas lebih diutamakan dari pada faktor kualitas. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan Rikha (2007) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan skor PPH disebabkan pada penelitian yang dilakukan

responden dari penelitian adalah petani sawah tadah hujan, yang menyebabkan kondisi pangan terpenuhi walaupun dengan kondisi jumlah anggota keluarga besar masih tetap dapat memenuhi keragaman makan yang dikonsumsi keluarga. Ada juga penelitian yang dilakukan Surachman et al., (2013) menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan skor PPH dimana dalam penelitian ini dilihat dari proporsi alokasi pengeluaran untuk konsusmi pangan.

Pengetahuan ibu tentang gizi yang berhubungan secara signifikan dengan skor PPH hal ini disebabkan oleh pemahaman dan cara pemilihan makanan yang diketahui para ibu RTS di Desa Batukandik maka secara tidak langsung akan meningkatkan skor PPH. Dapat dilihat juga para ibu di lokasi penelitian lebih paham mengenai cara mengolah makanan dibandingkan dengan teori mengenai gizi, maka diharapkan adanya promosi mengenai teori keragaman pangan yang berhubungan dengan peningkatan skor PPH. Hal ini didukung dengan penelitian Yuni et al., (2013) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan skor PPH dimana dalam penelitian ini semakin tinggi pengetahuan maka wawasan ibu rumah tangga mengenai gizi juga tinggi dimana akan mempengaruhi dalam cara memasak sehari-hari, tidak hanya berpatok pada kebiasaan dan konsep kenyang tetapi dapat memilih jenis bahan pangan yang berkualitas dengan memperhatikan unsur nutrisi yang terkandung dalam pangan sehingga mampu meningkatkan skor PPH. Serta adanya dukungan penelitian dari Erwin dan Karmini

(2015) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan skor PPH, disebabkan semakin tinggi pengetahuan seorang ibu maka dapat memenuhi kebutuhan makan dan minum tidak hanya itu tetapi yang lainnya juga. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian dari Gema (2012) menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan skor PPH disebabkan walau berpendidikan tinggi dan memiliki pengetahuan tinggi mengani gizi tetapi tidak memiliki uang untuk membeli makan secara tidak langsung akan mempengaruhi skor PPH. Serta adanya penelitian mengenai Zahara dan Nina (2012) menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahun gizi ibu dengan skor PPH, disebabkan pada penelitian ini dilakukan di wilayah model kawasan rumah pangan lestari dimana semua ketersediaan akan pangan yang telah cukup walau memiliki tingkat pendidikan rendah banyak tidak akan mempengaruhi skor PPH.

Tingkat pendapatan keluarga yang berhubungan dengan skor PPH disebabkan oleh tingkat pendapatan memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan sebarapa besar pengeluaran kita untuk makan yang nantinya akan mempengaruhi kondisi gizi dan skor PPH. Hal ini sejalan dengan penelitian Yuni et. al., (2013) menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan keluarga dengan skor PPH, disebabkan tingkat pendapatan keluarga yang tinggi dapat lebih mudah untuk mengakses makanan yang lebih berkuantitas dan berkualitas. Serta dukungan dari penelitian Surachman et.al., (2013) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan

keluarga dengan skor PPH, disebabkan keberhasilan dalam percepatan keanekaragaman konsumsi pangan akan sangat ditentukan oleh tingkat keberhasilan dalam hal perbaikan pendapatan keluarga. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian Rikha (2007) menyatakan tidak adanya hubungan yang signifikan terhadap tingkat pendapatan keluarga dengan skor PPH, dikarenakan pada suatu keluarga tidak semua dari pendapatan yang diperoleh di pakai untuk konsumsi makanan. Serta adanya penelitian dari Ryafal et.al., (2014) menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan terhadap tingkat pendapatan keluarga dengan skor PPH disebabkan penelitian dilakukan didaerah pertanian dimana faktor utama masyarakat untuk mekases makanannya diperoleh dari hasil panen milik sendiri.

Pengeluaran pangan RT yang berhubungan dengan skor PPH disebabkan pengeluaran memiliki peran yang penting dalam proses pemilihan makanan, bila pengeluaran untuk makan cukup maka skor PPH akan meningkat. Hasil ini sejalan dengan penelitian Rikha (2007) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara pengeluaran pangan rumah tangga dengan skor PPH, dalam penelitian ini menyatakan pada keluarga yang penghasilannya tinggi tetap tidak disertai dengan pengaturan pengeluaran pangan yang baik maka status gizi menjadi kurang dan akan mempengaruhi skor PPH. Jomina and Rajab (2014) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara pengeluaran pangan rumah tangga dengan skor PPH, disebabkan sebagian dari pendapatan yang diperoleh digunakan untuk pengeluaran makan, yang artinya semakin besar pengeluaran untuk

makan, maka keragaman akan konsumsi makan dapat terpenuhi. Bahwa telah dibuktikan pengeluran pangan RT merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi skor PPH.

Pantangan makan yang tidak berhubungan dengan skor PPH disebabkan oleh, walau tidak memiliki pantangan makan namun tidak juga memiliki pendapatan dan pengeluaran yang cukup untuk membeli makanan yang sesuai dengan kebutuhan tubuh sama saja tidak dapat meningkatkan skor PPH. Hal ini sejalan dengan penelitian Rikha (2007) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pantangan makan dengan skor PPH, dalam penelitian ini bisa terjadi dikarenakan pantangan makan tidak terlalu memiliki pengaruh yang signifikan antara pemilihan makan, bila pengeluaran untuk makan kecil maka dia akan mempengaruhi pemilihan makan dan kondisi dari skor PPH keluarga. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan Wahida (2006) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara pantangan makan dengan skor PPH disebabkan pantangan makan itu dilihat dari segi budaya dan agama, yang sangat erat kaitannya dalam proses pemilihan makan dan yang nantinya akan mempengaruhi skor PPH. Dwi (2014) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara pantangan makan dengan skor PPH dilihat dari faktor budaya di lokasi penelitian dimana pada tempat penelitian tidak dibolehkan untuk memakan ikan mundung yang akan mengakibatkan gatal-gatal pada kulit. Sedangakan pada penelitian yang dilakukan di Desa Batukandik adalah tidak dibolehkan untuk memakan kacang-kacangan yang akan mengakibatkan asam urat dan rematik.

Kepemilikan lahan yang tidak berhubungan dengan skor PPH disebabkan karena kepemilikan lahan walau milik sendiri tetapi skor PPH masih saja kurang itu dilihat dari pendapatan dan pengeluaran makan yang juga masih kurang sama saja tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi yang nantinya berhubungan dengan skor PPH. Hal ini sejalan dengan penelitian Zahara dan Nina (2012) menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara kepemilikan lahan dengan skor PPH, disebabkan penelitian ini dilakukan di kawasan rumah pangan lestari dimana penduduk disana yang sudah memiliki lahan pertanian sendiri namun lahan tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara baik maka, kebutuhan akan konsumsi makanan yang kurang nantinya mempengaruhi kondisi gizi dan skor PPH. Serta dukungan dari penelitia Rikha (2007) menyatakan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kepemilikan lahan dengan skor PPH, disebabkan, walaupun memiliki lahan milik sendiri dan milik orang lain yang hasilnya dibagi dua tetapi pengeluaran makan masih kurang, maka tetap saja tidak bisa mencapai skor PPH ideal. Hal diatas bertolak belakang dengan penelitian Gema (2012) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara kepemilikan lahan dengan skor PPH, disebabkan semakin luas lahan pertanian yang dimiliki maka akan meningkatkan kesejahteraan keluarga dan nantinya akan mempengaruhi pemilihan makan dan skor PPH. Saran yang dapat diberikan untuk meningkatkan skor PPH adalah dengan promosi makanan beragam, keluarga berencana, pengembagan lahan milik sendiri dengan menanam bahan pangan lokaldan distribusi dan stabiliasasi bahan pangan.

SIMPULAN

Skor PPH pada RTS di Desa Batukandik Pulau Nusa Penida masih belum mencapai standar skor PPH nasional Indonesia. Faktor yang berhubungan secara signifikan dengan skor PPH adalah pengetahun gizi ibu, tingkat pendapatan dan pengeluaran pangan. Sedangkan untuk faktor lainnya seperti jumlah anggota keluarga, pantangan makan dan kepemilikan lahan tidak berhubungan dengan skor PPH. Direkomendasikan kepada instansi terkait untuk melakukan sosialisasi mengenai gizi, keanekaragaman pangan dan pemanfaatan pangan lokal kepada RTS, memberikan bibit tanaman serta memanfaatkan lahan pekarangan untuk menanam berbagai sumber pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Ketahanan Pangan. (2014). Laporan Kinerja Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010-2014. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan, Kementrian Pertanian Dalam: http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/ga mbar/file/LAPKinerjaBKPTahun2010-2014.pdf (Diakses 10 Januari 2016).

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali. (2015). Analisia Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Tahun 2014 di Provinsi Bali. Provinsi Bali: Bidang Ketahanan Pangan.

Dwi, M. (2014). Kajian Tentang Pola Konsumsi Makanan Utama Masyarakat Desa Gunug Serang Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan. Pendidikan Tata Boga: Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya Dalam: e-Jurnal Boga, Volume 03 Nomor 3, Edisi Yudisium Periode Oktober Tahun 2014 Hal, 86-95

Erwin, A.P&Karmini,L.H. (2015). Pengaruh Pendapatan, Jumlah Anggota Keluarga dan Pendidikan Terhadap Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin di Gianyar. Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Hal, 39-48

Gema, I, A,Y. (2012). Diversifikasi Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pedesaan Di Desa Sukolilo Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. Fakultas Pertanian Universitas Abdurachman Saleh Situbondo

Kementrian Pertanian. (2012). Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementrian Pertanian Tahun 2011.  Jakarta Selatan:  Biro

Perencanaan,  Kementrian Pertanian

Dalam:http://www.pertanian.go.id/sakip /admin/data2/LAKIP_KEMENTAN_201 1.pdf.

Rikha, D.R. (2007). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada Keluarga Petani Sawah Tadah Hujan (skripsi). Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat:    Universitas    Negeri

Semarang                     Dalam:

http://lib.unnes.ac.id/1010/1/3773.pdf (Diakses 5 Januari 2016).

Ryafal, A& Novira,K& Erlinda, Y. (2014). Analisis Konsumsi Pangan Kota Pontianak. Pontianak:     Fakultas     Pertanian

Universitas Tanjung Pontianak Dalam: Jurnal Social Economic Of Agriculture, Volume 3, Nomor 1, April 2014

Surachman&Novira, K&Adi, S. (2013). Social-Economic Factor Effecting The Diversity of Ditery Consumption in The Self Sufficient Dietry Village of Kubu Raya District. Fakultas     Agricultur    Universitas

Tanjupura Dalam: Jurnal Social Economic of Agriculture, Volume 2, Nomor 2, Desember 2013, hlm 1-20.

Wahida, Y, M. (2006). Hubungan Faktor-Faktor Sosial Budaya dengan Konsumsi Makanan Pokok Rumah Tangga pada Masyarakat di Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya Tahun 2005 (tesis). Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (Diakses 28 Januari 2016).

Zahara&Nina, M. (2012). Analisis Konsumsi Pangan dan Faktor Sosial Ekonomi yang Berhubungan dengan Pola Pangan Harapan pada Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL).  Bandar Lampung:  Balai

Pengkajian    Teknologi    Pertanian

Lampung (Diakses 27 Januari 2016).

78