HUBUNGAN PERILAKU HIGIENE DAN SANITASI PERORANGAN SERTA PREVALENSI KECACINGAN TERHADAP STATUS GIZI PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI DI KECAMATAN KUBU
on
Arc. Com. Health • agustus 2023
p-ISSN 2302-139X e-ISSN 2527-3620
Vol. 10 No. 2: 373 - 389
HUBUNGAN PERILAKU HIGIENE DAN SANITASI PERORANGAN SERTA PREVALENSI KECACINGAN TERHADAP STATUS GIZI PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI DI KECAMATAN KUBU
Sahara Putri Ayu Kenanga Gunawan, Ni Made Utami Dwipayanti, I Nengah Sujaya *
Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Jalan P.B. Sudirman, Dangin Puri Klod, Kec. Denpasar Barat., Kota Denpasar, Bali 80234
ABSTRAK
Infeksi kecacingan termasuk dalam “Neglected Tropical Diseases (NTDs)” atau penyakit tropis terabaikan yang dianggap tidak penting. Infeksi yang terjadi memiliki dampak serius bagi kesehatan manusia. Kelompok usia yang paling berisiko tinggi yaitu anak usia sekolah dasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku higiene dan sanitasi perorangan serta prevalensi kecacingan terhadap status gizi pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan desain cross sectional. Data positif kecacingan diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium, pengukuran antropometri, dan wawancara. Teknik pengambilan sampel menggunakan proportional stratified dan simple random sampling. Metode analisis data menggunakan uji non parametrik kruskall wallis, mann whitney, dan chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara akumulatif terdapat 63 responden (24%) berstatus gizi tidak seimbang dan 199 responden (76%) berstatus gizi baik; 4 responden (1,5%) mengalami positif kecacingan dengan prevalensi kecacingan sebesar 15,27; perilaku higiene dan sanitasi perorangan terhadap prevalensi kecacingan memiliki hubungan yang bermakna (p<0,05); perilaku higiene dan sanitasi perorangan terhadap status gizi memiliki hubungan yang tidak bermakna (p>0,05); serta hubungan antara prevalensi kecacingan terhadap status gizi memiliki hubungan yang bermakna (p<0,05). Oleh karena itu, perlu adanya pencegahan terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan infeksi kecacingan, mengkonsumsi obat cacing setiap 6 bulan sekali, dan mengkonsumsi makanan bergizi sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan pada siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kubu.
Kata Kunci: Kecacingan, Status Gizi, Higiene, Sanitasi
ABSTRACT
Worm infection is a “Neglected Tropical Diseases (NTDs)” or neglected tropical diseases that are considered not important. The infection that cause has a serious impact on human health. The age group most at high risk is elementary school age children. This study aims to determine the relationship between personal hygiene and sanitation behavior and the prevalence of helminthiasis on the nutritional status of public elementary school students in Kubu District, Karangasem Regency, Bali Province. This research is quantitative with the type of descriptive analytic research using a cross sectional design. Data worm infection positive were obtained through laboratory examinations, anthropometric measurements, and interviews. The sampling technique used proportional stratified and simple random sampling. The data analysis method used the non-parametric Kruskall Wallis, Mann Whitney, and Chi Square tests. The results showed that accumulatively there were 63 respondents (24%) with unbalanced nutritional status and 199 respondents (76%) with good nutritional status; 4 respondents (1.5%) experienced positive helminthiasis with a worm prevalence of 15.27; personal hygiene and sanitation behavior to worm prevalence has a significant relationship (p<0.05); individual hygiene and sanitation behavior towards nutritional status had no significant relationship (p>0.05); and the relationship between worm prevalence and nutritional status had a significant relationship (p<0.05). Therefore, it is necessary to prevent factors related to helminthic infections, consume deworming medication every 6 months, and consume nutritious food so as to improve the health status of public elementary school students in Kubu District.
Keywords: Worms, Nutritional Status, Hygiene, Sanitation
PENDAHULUAN
Soil Transmitted Helminths (STH) atau infeksi kecacingan merupakan kondisi
masuknya cacing parasit ke dalam tubuh manusia (Saskyarasmi et al., 2021). Penyakit ini termasuk dalam “Neglected Tropical
Diseases (NTDs)” atau penyakit tropis terabaikan yang dianggap tidak penting karena dampak yang terlihat hanya dapat dirasakan dalam jangka waktu yang panjang (Muslimawati & Widayani, 2016). Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan penderitanya mengalami penurunan status gizi, kecerdasan, sistem imun, dan produktivitas (Kemenkes RI, 2013). World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa 24% atau 1,5 milyar penduduk di dunia terinfeksi kecacingan (WHO, 2016). Infeksi kecacingan dapat dialami oleh semua kelompok usia, akan tetapi kelompok yang paling berisiko tinggi terpapar dan terinfeksi penyakit kecacingan yaitu anak usia sekolah dasar karena perilaku higiene anak yang buruk seperti kebersihan kuku, penggunaan alas kaki, kebiasaan bermain di tanah, mencuci tangan, dan buruknya sanitasi pada lingkungan (Saskyarasmi et al., 2021;
Kartini, 2016). Infeksi kecacingan yang paling sering terjadi dan menginfeksi manusia yaitu dari jenis Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan Ascaris lumbricoides (cacing gelang) (Tapiheru & Zain, 2021; Olin et al., 2019; Andini & Utoma, 2018).
Prevalensi kecacingan anak-anak di Indonesia pada usia 1-12 tahun berkisar 30% - 90% dimana terdapat 13 juta anak di usia pra sekolah dan 37 juta jiwa anak usia sekolah dasar terinfeksi cacing (Ramayanti et al., 2021). Tingginya tingkat prevalensi infeksi cacing di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: iklim tropis, kelembaban udara yang tinggi, serta kondisi higiene dan sanitasi yang buruk (Setyowatiningsih & Surati, 2017).
Infeksi kecacingan dapat
mempengaruhi asupan (intake), pencernaan (digestive), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan (WHO, 2020). Infeksi cacing memiliki hubungan positif dengan kejadian kekurangan gizi pada anak-anak (Degarege & Erko, 2013). Bahkan studi lain menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Quantitative Helminth Assessment (QHA) dengan status gizi dan kejadian stunting pada anak sekolah dasar (Baharuddin et al., 2021).
Prevalensi infeksi kecacingan tertinggi di Bali terdapat di Kabupaten Karangasem, Desa Gegelang, Kecamatan Manggis yakni sebesar 31,7% dengan cakupan sanitasi sebesar 64% (Wiryadana et al., 2017). Salah satu faktor penyebab tingginya infeksi kecacingan di Kabupaten Karangasem yaitu higiene sanitasi lingkungan yang buruk dan rendahnya kesadaran masyarakat akan masalah kecacingan. Di sisi lain terdapat kecamatan lain di Kabupaten Karangasem yang memiliki cakupan ketersediaan air bersih dan sanitasi dasar terendah yaitu di Kecamatan Kubu dengan persentase capaian hanya sebesar 61,6% (Purnama et al., 2016).
Oleh karena itu Kecamatan Kubu dimungkinkan memiliki angka prevalensi kecacingan yang lebih tinggi dari desa lain karena rendahnya cakupan ketersediaan air bersih dan sanitasi dasar. Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, penting untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Perilaku Higiene dan Sanitasi Perorangan serta Prevalensi Kecacingan terhadap Status Gizi pada Siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kubu”.
METODE
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitik dan menggunakan desain cross sectional. Dalam penelitian studi cross sectional ini akan mencari hubungan antara faktor risiko dan efek atau dampak dari faktor risiko yang ada. Faktor risiko dalam penelitian ini meliputi perilaku higiene dan sanitasi perorangan, dimana dalam proses kehidupan sehari-hari faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya efek faktor risiko meliputi kejadian infeksi kecacingan dan status gizi. Antara faktor risiko dan efeknya diteliti dalam satu titik waktu tertentu sepanjang waktu yang ditentukan dalam penelitian ini. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus – Oktober di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali.
Populasi dalam penelitian ini yaitu anak sekolah dasar yang berada di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Sampelnya yaitu anak sekolah dasar kelas 3, 4, dan 5 yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kubu II. Besaran sampel dihitung menggunakan metode fleiss dengan koreksi kontinuitas. Data diperoleh melalui pemeriksaan feses di laboratorium, pengukuran antropometri, dan wawancara menggunakan kuesioner. Teknik pengambilan sampel menggunakan proportional stratified dan simple random sampling. Responden dalam penelitian ini berjumlah 262 orang (Tabel 1.) Sekolah yang terpilih meliputi SDN 6 Tianyar, SDN 9 Tianyar, SDN 4 Ban, SDN 9 Ban, SDN 2 Tianyar Tengah, SDN 4 Tianyar Tengah, SDN 4 Tianyar Barat, dan SDN 3 Tianyar Barat.
Metode analisis data menggunakan uji non parametrik kruskall wallis untuk mengetahui hubungan perilaku higiene dan sanitasi perorangan terhadap prevalensi kecacingan; mann whitney untuk mengetahui hubungan perilaku higiene dan sanitasi perorangan terhadap status gizi; serta chi square untuk mengetahui hubungan prevalensi kecacingan terhadap status gizi. Data deskriptif disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan diagram. Sedangkan data hasil analisis hubungan disajikan dalam bentuk tabel output SPSS sebagai pembuktian statistik terhadap setiap hubungan yang diujikan.
HASIL
Gambaran Status Gizi pada Siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kubu
Status gizi pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu diukur dengan metode pengukuran antropometri melalui berat badan dan tinggi badan serta perolehan data usia dan jenis kelamin. Hasil distribusi frekuensi dapat dilihat pada Tabel 2. Dari 262 responden dalam penelitian, terdapat responden dengan kategori gizi buruk 5 orang atau 1,9%; gizi kurang 21 orang atau 8%; gizi baik 199 orang atau 76%; gizi lebih 21 orang atau 8%; dan obesitas 16 orang atau 6,1%. Secara akumulatif maka terdapat 63 orang atau sebesar 24% responden memiliki status gizi tidak seimbang pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu. Status gizi tidak seimbang yaitu status gizi berlebih atau kurang yang tidak dalam kondisi seimbang/normal (Supariasih, 2014). Gambaran Prevalensi Kecacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan
Kubu
Setelah dilakukan pemeriksaan sampel feses, diperoleh data bahwa terdapat 4 orang yang mengalami positif infeksi kecacingan. Hasil pemeriksaan sampel positif kecacingan dapat dilihat pada Tabel 3. Adapun distribusi frekuensi hasil pemeriksaan sampel feses pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu dapat dilihat pada Tabel 4.
Responden yang berjumlah 262 orang dalam penelitian yang diperiksa sampel fesesnya, terdapat 4 orang atau 1,5% responden mengalami positif kecacingan dan 258 orang atau 98,5% negatif kecacingan. Responden yang mengalami positif kecacingan terinfeksi cacing dari beberapa jenis cacing meliputi Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), dan Enterobius Vermicularis (cacing kremi). Hasil prevalensi kecacingan diperoleh angka sebesar 15,27 atau dapat diinterpretasikan bahwa terdapat 15-16 orang mengalami infeksi kecacingan dari 1000 anak usia 8-13 tahun yang berisiko.
Gambaran Perilaku Higiene dan Sanitasi Perorangan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kubu
Distribusi frekuensi higiene dan sanitasi dalam menjaga kebersihan tangan, kaki, dan pangan dapat dilihat pada Tabel 5. Dalam menjaga kebersihan tanga didapatkan hasil bahwa terdapat 204 responden (77,9%) yang selalu dan sering mencuci tangan setelah dari WC; 243 responden (92,8%) yang selalu dan sering mencuci tangan sebelum makan; 244 responden (93,1%) yang selalu dan sering mencuci tangan setelah makan; 150
responden (57,3%) yang selalu dan sering mencuci tangan saat pulang ke rumah; 205 responden (78,3%) yang selalu dan sering menggunakan sabun saat mencuci tangan.
Higiene dan sanitasi dalam menjaga kebersihan kaki didapatkan poin tertinggi dengan jawaban terbanyak pada skala sering dan selalu yang berjumlah 196 responden (74,8%) yang selalu dan sering memakai alas kaki saat keluar rumah. Sedangkan higiene dan sanitasi dalam menjaga kebersihan pangan didapatkan hasil yang bervariasi. Terdapat 186 responden (71%) yang selalu dan sering mencuci/mengupas buah sebelum memakannya; 152 responden (58%) yang tidak pernah atau jarang makan sayur mentah (lalapan); 106 (40,4%) yang selalu dan sering makan dengan sendok/alat serupa; dan hanya 43 responden (16,4%) yang tidak pernah atau jarang membeli makanan tertutup.
Distribusi frekuensi higiene dan sanitasi dalam menggunakan jamban dapat dilihat pada Tabel 6. Penggunaan jamban sudah terbilang cukup baik karena sebagian besar responden sudah melakukan buang air besar di dalam WC dan setelahnya membersihkan diri menggunakan air. Terdapat 223 responden (85,1%) yang buang air besar di dalam WC dan 243 responden (92,7%) yang menggunakan air untuk membersihkan diri setelah buang air besar.
Hubungan antara Perilaku Higiene dan Sanitasi Perorangan dengan Prevalensi Infeksi Kecacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kubu
Dari Uji Normalitas didapatkan hasil bahwa nilai sig. = 0,002 < 0,05 (Tabel 7.)
yang berarti data pada variabel perilaku higiene dan sanitasi perorangan tidak berdistribusi normal sehingga uji selanjutnya menggunakan uji non parametrik. Dalam menguji hubungan ini terdapat dua grup sampel pada variabelnya independen maka digunakan Uji Mann Whitney.
Hasil Uji Mann Whitney dapat dilihat pada Tabel 18. Dari Uji Mann Whitney didapatkan hasil nilai sig. = 0,004 < 0,05 (Tabel 8.) yang berarti ada hubungan antara perilaku higiene dan sanitasi perorangan terhadap prevalensi kecacingan pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu. Hubungan antara Perilaku Higiene dan Sanitasi Perorangan dengan Status Gizi pada Siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kubu
Uji Normalitas sebelumnya
menunjukkan bahwa data pada perilaku higiene dan sanitasi perorangan tidak berdistribusi normal sehingga digunakan uji non parametrik. Dalam menguji hubungan ini terdapat lebih dari dua grup
sampel pada variabelnya independen, sehingga teknik analisis yang digunakan yaitu Uji Kruskall Wallis.
Hasil Uji Kruskall Wallis dapat dilihat pada Tabel 19. Dari Uji Kruskall Wallis didapatkan hasil nilai sig. = 0,841 > 0,05 (Tabel 9.) yang berarti tidak ada hubungan antara perilaku higiene dan sanitasi perorangan terhadap status gizi pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu. Hubungan antara Prevalensi Kecacingan dengan Status Gizi pada Siswa Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kubu
Dalam menguji hubungan ini terdapat dua variabel yang masuk dalam skala data kategorikal, sehingga teknik analisis yang digunakan yaitu Uji Chi Square. Hasil Uji Chi Square dapat dilihat pada Tabel 20. Dari Uji Chi Square didapatkan hasil nilai sig. = 0,000 < 0,05 (Tabel 10.) yang berarti ada hubungan antara prevalensi kecacingan terhadap status gizi pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu.
Tabel 1. Karakteristik Responden
Karakteristik |
f (n = 262) |
(%) |
Jenis Kelamin | ||
Perempuan |
147 |
56,1 |
Laki-laki |
115 |
43,9 |
Usia (tahun) | ||
8 |
28 |
10,7 |
9 |
86 |
32,8 |
10 |
91 |
34,7 |
11 |
38 |
14,5 |
12 |
16 |
6,1 |
13 |
3 |
1,1 |
Kelas | ||
III |
68 |
26,0 |
IV 93 V 101 |
35,5 38,5 |
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Status Gizi
Kategori |
f (n = 262) |
(%) |
Gizi Buruk |
5 |
1,9 |
Gizi Kurang |
21 |
8,0 |
Gizi Baik |
199 |
76,0 |
Gizi Lebih |
21 |
8,0 |
Obesitas |
16 |
6,1 |
Total |
262 |
100 |
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Sampel Feses Positif Kecacingan
-
a) Ascaris lumbricoides (cacing gelang)
-
b) Trichuris trichiura (cacing cambuk)


c) Trichuris trichiura (cacing cambuk)
d) Enterobius vermicularis (cacing kremi)


Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pemeriksaan Sampel Feses pada Siswa SDN di Kecamatan Kubu
Kategori |
f (n = 262) |
(%) |
Positif Kecacingan |
4 |
1,5 |
Negatif Kecacingan |
258 |
98,5 |
Total |
262 |
100 |
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Perilaku Higiene dan Sanitasi Perorangan dalam Menjaga
Kebersihan Tangan dan Kaki serta Pangan | ||||||||||
Kategori |
Tidak Pernah |
Jarang |
Kadang-kadang |
Sering |
Selalu | |||||
f |
(%) | |||||||||
f |
W |
f |
W |
f |
(%) |
f |
(%) | |||
Kebersihan Taugan | ||||||||||
Mencuci tangan setelali dari WC |
4 |
1,5 |
18 |
6.9 |
36 |
13.7 |
109 |
41,6 |
95 |
36,3 |
Mencuci tangan sebelum makan |
1 |
0.4 |
7 |
2.7 |
11 |
4,2 |
126 |
48,1 |
117 |
44,7 |
Mencuci tangan setelah makan |
0 |
0 |
7 |
2.7 |
11 |
4,2 |
125 |
47,7 |
119 |
45,4 |
Mencuci tangan saat pulang ke Iiimah Penggiuiaan sabun |
29 |
11,1 |
30 |
11,5 |
53 |
20,2 |
71 |
27,1 |
79 |
30,2 |
saat mencuci |
4 |
1.5 |
20 |
7.6 |
33 |
12.6 |
116 |
44,3 |
89 |
34,0 |
tangan | ||||||||||
Kebersihan Kaki | ||||||||||
Penggiuiaan alas kaki saat ke luar Iiimah |
24 |
9.2 |
16 |
6.1 |
26 |
9.9 |
77 |
29,4 |
119 |
45,4 |
Kebersihan Pangan | ||||||||||
Mencuci, mengupas buah Sebehuii |
14 |
5,3 |
21 |
8,0 |
41 |
15,6 |
94 |
35,9 |
92 |
35,1 |
dimakan Meraakan sayur mentah |
118 |
45,0 |
34 |
13,0 |
63 |
24,0 |
36 |
13,7 |
11 |
4,2 |
Makan dengan sendok atau alat |
10 |
3.8 |
51 |
19,5 |
95 |
36,3 |
70 |
26,7 |
36 |
13,7 |
serupa Makan makanan tidak tertutup |
11 |
4.2 |
32 |
12,2 |
55 |
21,0 |
31 |
11,8 |
133 |
50,8 |
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Perilaku Higiene dan Sanitasi Perorangan dalam Penggunaan Jamban
Penggunaan Jamban | ||
Kebiasaan BAB |
Di luar WC f n |
Di dalam WC f n |
39 14,9 223 85,1
Membersihkan diri setelah BAB |
Tidak menggunakan air Menggunakan air f n f n 19 7,3 243 92,7 |
Tabel 7. Hasil Uji Normalitas Perilaku Higiene dan Sanitasi Perorangan
Kolmogorov-Smirnova Statistic df Sig. |
Shapiro-Wilk Statistic df |
Sig. |
Perilaku_Higiene .090 262 .000 |
.981 262 |
.002 |
Tabel 8. Hasil Uji Statistik Hubungan Perilaku Higiene dan Sanitasi Perorangan terhadap Prevalensi Kecacingan
Perilaku_Higiene_Sanitasi
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) |
86.500 96.500 -2.875 .004 |
a. Grouping Variable: Prevalensi_Kecacingan
Tabel 9. Hasil Uji Statistik Hubungan Perilaku Higiene dan Sanitasi Perorangan terhadap Status Gizi
Perilaku_Higiene
Chi-Square df
1.420
4 .841
Asymp. Sig.
-
a. Kruskal Wallis Test
-
b. Grouping Variable: Status_Gizi
Tabel 10. Hasil Uji Statistik Hubungan Prevalensi Kecacingan terhadap Status Gizi
Value |
df |
Asymp. Sig. (2-sided) | |
Pearson Chi-Square |
61.820a |
4 |
.000 |
Likelihood Ratio Linear-by-Linear |
21.456 |
4 |
.000 |
21.425 |
1 |
.000 | |
Association | |||
N of Valid Cases |
262 |
PEMBAHASAN
Status gizi merupakan keadaan terjadinya keseimbangan antara asupan gizi dengan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan metabolisme (WHO, 2020). Gizi menjadi salah satu tolak ukur untuk menilai keberhasilan sebuah negara dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas dari segi kesehatan (Kemkes, 2013). Dalam penelitian ini status gizi baik/normal memiliki frekuensi paling tinggi yaitu sebesar 76% atau 199 responden memiliki status gizi baik/normal. Status gizi normal dapat terjadi apabila zat-zat gizi yang diperoleh tubuh dapat digunakan secara efisien sesuai dengan kebutuhannya sehingga memungkinkan adanya perkembangan otak, pertumbuhan fisik, dan pencapaian terhadap kesehatan yang optimal (Supariasa & Bakri, 2012). Dalam kondisi status gizi normal manusia dapat mencegah penyakit baik yang bersifat menyerang imunitas atau bersifat kardiovaskular karena tidak adanya kondisi kekurangan atau justru kelebihan gizi (Wulan, 2015). Sedangkan secara akumulatif terdapat 63 orang atau sebesar 24% responden memiliki status gizi tidak baik pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa terdapat 5 orang atau 1,9% yang masuk dalam kategori gizi buruk pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu. Menurut hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017 angka status gizi buruk tersebut masih di bawah angka nasional yang ditetapkan sebesar 3,4%, tetapi lebih tinggi dari angka rata-rata status gizi buruk di Provinsi Bali yang hanya mencapai 1,4% (Kemkes, 2018). Hal *e-mail korespondensi : nsujaya@unud.ac.id
tersebut menunjukkan bahwa di Kecamatan Kubu angka status gizi buruk masih tergolong tinggi apabila dibandingkan dengan standar rata-rata yang ada di Provinsi Bali. Sedangkan status gizi kurang pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu terdapat 21 orang atau 8% yang masuk dalam kategori gizi kurang. Menurut hasil PSG tahun 2017 angka tersebut melebihi angka status gizi kurang nasional yang hanya sebesar 7,5%, bahkan jauh lebih tinggi dari angka rata-rata status gizi kurang di Provinsi Bali yang hanya mencapai 3,4% (Kemkes, 2018).
Status gizi buruk dan kurus tentunya dapat terjadi karena berbagai macam faktor. Status gizi buruk dan kurus dapat disebabkan karena (1) faktor pendapatan orang tua yang kurang dari UMR, faktor ini dapat menyebabkan terjadinya kondisi dimana orang tua tidak mampu memberikan makanan dan minuman yang sehat dan bergizi untuk tumbuh kembang anaknya; (2) faktor tingkat pendidikan orang tua, tingkat pendidikan dapat mempengaruhi sejauh mana dia mengetahui pentingnya pemenuhan nutrisi yang baik kepada anak; dan (3) kekurangan satu atau lebih zat gizi di dalam tubuh anak (Jahri, 2018).
Gizi buruk dan kurang akan berakibat pada menurunnya imunitas atau kekebalan tubuh sehingga lebih mudah terserang penyakit khususnya penyakit yang dapat menginfeksi manusia seperti penyakit infeksi kecacingan, mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan, kekurangan energi yang berakibat pada
381
penurunan produktivitas, dan anak akan lebih sulit dalam menerima pembelajaran karena menurunnya daya konsentrasi serta kecerdasan (Wulan, 2015).
Status gizi lebih dan obesitas dalam penelitian ini didapatkan hasil 21 orang atau 8% berstatus gizi lebih dan 16 orang atau 6,1% berstatus obesitas. Gizi lebih dan obesitas umumnya disebabkan karena kelebihan jumlah asupan energi
dibandingan dengan jumlah yang seharusnya dibutuhkan oleh tubuh
sehingga kelebihan tersebut disimpan
dalam bentuk cadangan berupa lemak (Jahri, 2018). Kegemukan dapat
menyebabkan dampak penyakit
degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, jantung koroner, gangguan ginjal, hipertensi, dan masih banyak lagi (Alamsyah, 2013).
Dari hasil pemeriksaan sampel feses sejumlah 262 sampel diperoleh hasil bahwa terdapat 4 responden (1,5%) mengalami positif kecacingan dan 258 responden (98,5%) negatif kecacingan. Responden yang mengalami positif kecacingan terinfeksi cacing dari beberapa jenis cacing meliputi Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), dan Enterobius Vermicularis (cacing kremi). Cacing yang paling banyak menginfeksi dalam penelitian ini yaitu dari jenis Trichuris trichiura (cacing cambuk). Hal
tersebut sejalan dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa pada usia anak-anak, jenis cacing yang paling sering menginfeksi salah satunya dari jenis Trichuris trichiura (cacing cambuk) (Tapiheru & Zain, 2021; Olin et al., 2019; Andini & Utomo, 2018).
Dari hasil perhitungan prevalensi kecacingan pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu mencapai 1,53% atau dapat diartikan bahwa terdapat 15-16 orang mengalami infeksi kecacingan dari 1000 anak usia 8-13 tahun pada populasi yang berisiko. Angka ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan di Desa Gegelang Kecamatan Manggis,
Karangasem yang memiliki angka prevalensi sebesar 31,7% (Wiryadana, 2017). Menurut data Monitoring dan Evaluasi (Monev), Kecamatan Kubu memiliki akses Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) lebih rendah dibandingkan dengan
Kecamatan Manggis dan memiliki cakupan ketersediaan air bersih serta sanitasi dasar terendah di Kabupaten Karangasem (Purnama et al., 2016). Infeksi kecacingan berkaitan erat dengan kondisi higiene dan sanitasi yang buruk (Setyowatiningsih & Surati, 2017). Penelitian tersebut
berbanding terbalik dengan penemuan yang terjadi di lapangan, dimana justru prevalensi kecacingan di Kecamatan Kubu lebih rendah dibandingkan dengan
prevalensi kecacingan di Kecamatan Manggis.
Ketidaklinearan hasil prevalensi kecacingan yang didapatkan dapat disebabkan oleh beberapa faktor lainnya, seperti iklim tropis dan kelembapan udara yang tinggi (Setyowatiningsih & Surati, 2017). Iklim menjadi salah satu determinan utama dari penyebaran infeksi cacing, suhu yang panas dan kelembaban sangat penting bagi perkembangan larva cacing di dalam tanah (Suriptiastuti, 2016). Suhu optimum larva cacing yaitu bertemperatur 23 - 30oC,
sedangkan umumnya temperatur Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem pada bulan Agustus-November di siang hari mencapai 32 - 35< (BMKG, 2022). Kecamatan Kubu berada pada daerah geografis yang bersentuhan langsung dengan laut bali dan berada di kaki Gunung Agung. Musim hujan tidak merata sepanjang tahun dan musim kemarau lebih panjang di daerah ini. Prevalensi positif kecacingan yang rendah di Kecamatan Kubu dapat disebabkan oleh faktor iklim dan geografi di wilayah tersebut.
Selain itu, pemeriksaan sampel feses pada penelitian ini dilakukan 2 bulan setelah pemberian obat cacing pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu. Masa antara efikasi pemberian obat cacing dengan pemeriksaan sampel feses yang cukup dekat dimungkinkan juga menjadi faktor rendahnya prevalensi positif kecacingan. Oleh karena itu prevalensi positif kecacingan di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, sehingga cakupan ketersediaan air bersih serta sanitasi dasar tidak bisa menjadi faktor tunggal yang dapat menentukan tinggi rendahnya prevalensi positif kecacingan.
Higiene dan sanitasi perorangan diartikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk menjaga kesehatan tubuh, kebersihan, dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan yang meliputi baik fisik maupun psikis (Ulfa et al., 2016). Tujuan dari melaksanakan perilaku higiene dan sanitasi perorangan ini salah satunya yaitu untuk mencegah penyebaran penyakit khususnya penyakit infeksi (Yunidha et al., 2016). Kebiasaan/perilaku anak sekolah
dasar yang tidak higienis dan fasilitas sarana sanitasi yang kurang memenuhi syarat menjadi faktor risiko anak sekolah dasar terinfeksi kecacingan (Setiawan, 2021; Santoso et al., 2015) Kondisi higiene dan sanitasi yang buruk meliputi kebersihan kuku yang buruk, tidak adanya kebersihan mencuci tangan, tidak menggunakan alas kaki, tidak adanya jamban, buang air besar (BAB) sembarangan menjadi faktor yang meningkatkan terjadinya infeksi kecacingan pada anak-anak sekolah dasar (Setiawan, 2021; Ulfa et al., 2016; Santoso, 2015).
Higiene dan sanitasi dalam menjaga kebersihan tangan dan kuku pada siswa sekolah dasar negeri di Kecamatan Kubu didapatkan poin tertinggi dengan jawaban terbanyak pada skala sering dan selalu yang berjumlah lebih dari 50% dari total responden pada setiap poin pertanyaan. Dimana hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 204 orang atau 77,9% dari total responden yang selalu dan sering mencuci tangan setelah dari WC; 243 orang atau 92,8% dari total responden yang selalu dan sering mencuci tangan sebelum makan; 244 orang atau 93,1% dari total responden yang selalu dan sering mencuci tangan setelah makan; 150 orang atau 57,3% dari total responden yang selalu dan sering mencuci tangan saat pulang ke rumah; 205 orang atau 78,3% dari total responden yang selalu dan sering menggunakan sabun saat mencuci tangan. Apabila dilakukan komparasi dari setiap pertanyaan dalam mengukur higiene dan sanitasi dalam menjaga kebersihan tangan dan kuku, persentase mencuci tangan saat pulang ke rumah paling rendah dengan capaian
hanya sebesar 57,3% dan yang paling tinggi yaitu mencuci tangan setelah makan dengan persentase mencapai 93,1%.
Higiene dan sanitasi dalam menjaga kebersihan kaki didapatkan poin tertinggi dengan jawaban terbanyak pada skala sering dan selalu yang berjumlah 196 orang atau 74,8% dari total responden selalu dan sering memakai alas kaki saat keluar ke lapangan atau tempat lainnya. Sedangkan higiene dan sanitasi dalam menjaga kebersihan pangan didapatkan hasil yang bervariasi. Hasil data menunjukkan bahwa terdapat 186 orang atau 71% dari total responden selalu dan sering mencuci/mengupas buah sebelum memakannya; 152 orang atau 58% dari total responden tidak pernah atau jarang makan sayur mentah (lalapan); 106 orang atau 40,4% dari total responden selalu dan sering makan dengan sendok/alat serupa; dan hanya 43 orang atau 16,4% dari total responden yang tidak pernah atau jarang membeli makanan tertutup. Dari empat poin pertanyaan yang menjadi tolak ukur higiene dan sanitasi dalam menjaga kebersihan pangan terdapat dua tolak ukur yang mendapatkan poin rendah yaitu hanya 16,4% dari total responden yang tidak pernah atau jarang membeli makanan tertutup artinya masih banyak anak-anak yang membeli jajanan yang tidak tertutup dan dimungkinkan memiliki potensi kontaminasi yang tinggi terhadap mikroba patogen dan telur cacing. Terlebih hanya terdapat 40,4% dari total responden yang selalu dan sering makan dengan sendok/alat serupa artinya masih banyak anak-anak yang makan tidak menggunakan sendok/alat serupa, hal
tersebut memungkinkan adanya kontaminasi dari mikroba patogen yang ada di tangan terhadap makanan yang masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan penyakit. Probabilitas pengaruh perilaku terhadap kejadian infeksi kecacingan pada anak SD dipengaruhi oleh faktor higiene dan sanitasi pangan diantaranya penyebab dari kebiasaan makanan mentah dan kebiasaan jajan (Olin, 2019).
Higiene dan sanitasi dalam menggunakan jamban sudah terbilang cukup baik karena sebagian besar responden sudah melakukan buang air besar di dalam WC dan setelahnya membersihkan diri menggunakan air. Kebiasaan membuang air besar sembarangan memang masih dilakukan, tetapi sebagian besar anak-anak sudah membuang air besar di dalam WC dimana angka capaiannya sebesar 85,1% atau terdapat 223 orang yang buang air besar di dalam WC dan 243 orang atau 92,7% yang menggunakan air untuk membersihkan diri setelah buang air besar. Kondisi higiene perorangan pada anak-anak dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah pengetahuan, sikap anak-anak terhadap higiene perorangan, peran guru di sekolah, peran dan dukungan orang tua, ketersediaan sarana prasarana kebersihan diri dan juga akses terhadap media-media kesehatan (Kusuma, 2019).
Hubungan antara perilaku higiene dan sanitasi perorangan terhadap prevalensi kecacingan didapatkan hasil yang signifikan (p<0,05). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa higiene dan
sanitasi perorangan memiliki hubungan signifikan dengan prevalensi kecacingan (Setyowatiningsih & Surati, 2017; Yunidha et al., 2016; Sari et al., 2020). Hubungan tersebut diperkuat dengan adanya hasil penelitian yang menyatakan bahwa tingkat peluang terjadinya infeksi kecacingan berkaitan erat dengan karakteristik manusia (host) utamanya higiene dan sanitasi perorangan (Dewi & Laksmi, 2017).
Signifikansi hubungan antara higiene dan sanitasi perorangan dengan prevalensi infeksi kecacingan yang didapatkan dari hasil penelitian harus disikapi dengan melakukan pencegahan terhadap faktor-faktor penyebabnya. Usaha pencegahan penyakit kecacingan dapat dilakukan oleh setiap orang (host) dengan menjaga higiene dan sanitasi perorangan (Yunidha et al., 2016).
Hubungan antara perilaku higiene dan sanitasi perorangan terhadap status gizi didapatkan hasil yang tidak bermakna (p>0,05);. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Agustina et al, 2022) yang menyebutkan bahwa hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara personal hygiene dengan kejadian penyakit berbasis lingkungan. Tetapi tidak semua hasil penelitian sebelumnya menyatakan tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa perilaku higiene dan sanitasi memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi (Rahayu & Darmawan, 2019; Elisabeth, 2017).
Hubungan antara perilaku higiene dan sanitasi perorangan terhadap status gizi didapatkan hasil yang tidak bermakna. Hasil
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Agustina et al, 2022) yang menyebutkan bahwa hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara personal hygiene dengan kejadian penyakit berbasis lingkungan. Tetapi tidak semua hasil penelitian sebelumnya menyatakan tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa perilaku higiene dan sanitasi memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi (Rahayu & Darmawan, 2019; Elisabeth, 2017).
Perbedaan hasil uji statistik dalam penelitian tersebut tidak menjadi masalah yang berarti karena perilaku higiene tidak dapat menjadi faktor tunggal yang menentukan status gizi seseorang (Supariasi, 2014). Mengacu pada UNICEF Nutrition Conceptual Framework terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi meliputi (1) asupan makanan yang tidak memadai; (2) penyakit infeksi dan non infeksi; (3) pola asuh terhadap anak; (4) pelayanan kesehatan dan lingkungan; dan (5) sumber daya manusia. Oleh karena itu hubungan antara perilaku higiene dan sanitasi perorangan dengan status gizi tidak dapat digeneralisir antar satu populasi dengan populasi lainnya.
Hubungan antara prevalensi kecacingan terhadap status gizi didapatkan hasil yang bermakna (p<0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Degarege & Erko, (2013) yang menyatakan bahwa infeksi cacing memiliki hubungan positif dengan kejadian kekurangan gizi pada anak-anak. Faktor langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu terjadinya infeksi dan
ketidakseimbangan asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia (Supariasi, 2014).
Prevalensi kecacingan anak-anak di Indonesia pada usia 1-12 tahun berkisar 30% - 90% atau kurang lebih terdapat 13 juta anak di usia pra sekolah dan 37 juta jiwa anak usia SD terinfeksi cacing (Ramayanti et al., 2021) dan menurut Studi Status Gizi Indonesia tahun 2021 kasus kejadian stunting (pendek menurut umur) mencapai 24,4%, underweight (berat badan kurang menurut umur) 17%, dan wasting (berat badan kurang menurut umur) 7,1% (SSGI, 2021).
Angka permasalahan status gizi penting untuk diperhatikan dan diminimalisir karena dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak yang berakibat pada penurunan kualitas sumber daya manusia dari suatu bangsa (Thamaria, 2017). Infeksi kecacingan dapat mempengaruhi asupan (intake), pencernaan (digestive), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan (WHO, 2020). Kekurangan kalori, protein, dan zat besi yang diperlukan untuk membentuk sel darah merah (hemoglobin) secara kumulatif berakibat pada kerugian terhadap kebutuhan zat gizi (Thamaria, 2017).
Penyakit infeksi kecacingan bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas dan dampak yang ditimbulkan baru dapat terlihat dalam jangka panjang seperti kekurangan gizi, gangguan tumbuh kembang dan gangguan kognitif pada anak (Septiani, 2019). Selain itu, infeksi kecacingan dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktivitas kerja, dapat menurunkan
ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainya (Thamaria, 2017).
SIMPULAN DAN SARAN
Secara akumulatif terdapat 63 responden (24%) berstatus gizi tidak seimbang dan 199 responden (76%) berstatus gizi baik; 4 responden (1,5%)
mengalami positif kecacingan dengan prevalensi kecacingan sebesar 15,27;
perilaku higiene dan sanitasi perorangan terhadap prevalensi kecacingan memiliki hubungan yang bermakna (p<0,05); perilaku higiene dan sanitasi perorangan terhadap status gizi memiliki hubungan yang tidak bermakna (p>0,05); serta hubungan antara prevalensi kecacingan terhadap status gizi memiliki hubungan yang bermakna (p<0,05).
Perlu adanya peningkatan status gizi dengan penerapan pola hidup sehat dan seimbang; pencegahan terhadap
faktor-faktor yang berkaitan dengan infeksi kecacingan; mengkonsumsi obat cacing setiap 6 bulan sekali untuk memutus rantai penularannya; serta peningkatan perilaku higiene dan sanitasi perorangan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Tim Peneliti “Improving Nutrition and Reducing Stunting Using Science and the Art” Udayana University dan Griffith University atas segala bantuan dan partisipasi sehingga penelitian ini dapat dilakukan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Christian Ekawati, Wanti, S.
(2022) ‘Clean and healthy life behavior (phbs) of elementary school
students against
environmental-based disease
incidence in kupang city in 2021’, 9644, pp. 404–408.
Alamsyah (2013) ‘Pemberdayaan Gizi Teori dan Aplikasi’, Yogyakarta: Nuha
Medika [Preprint].
Andini, N. and UTOMO, B. (2018) ‘Hubungan Antara Personal Hygiene Dengan Kejadian Kecacingan Murid Mi Ma’Arif Nu Banteran Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas
Tahun 2017’, Buletin Keslingmas,
37(2), pp. 136–143. Available at:
https://doi.org/10.31983/keslingmas.v 37i2.3836.
Baharuddin, A., Nurlinda, A. and Fachrin, S.A. (2021) ‘Quantitative Helmint
Assesment (QHA) On Nutritional Status of Children and Stunting Events For Elementary Students in the City Of Makassar’, Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology, 15(2), pp. 1594–1600. Available at: https://doi.org/10.37506/ijfmt.v15i2.14 565.
BMKG (2022) ‘Prakiraan Cuaca Wilayah
Karangasem, Bali’. Available at: http://balai3.denpasar.bmkg.go.id/cu aca-amlapura.
Degarege, A. and Erko, B. (2013) ‘Association between intestinal
helminth infections and underweight among school children in Tikur Wuha Elementary School, Northwestern Ethiopia’, Journal of Infection and Public Health, 6(2), pp. 125–133.
Available at:
https://doi.org/10.1016/j.jiph.2012.11.0 08.
Elisabeth Kefamenanu, R. (2017)
‘Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dan Higiene Sanitasi Lingkungan dengan Status Gizi Anak Balita di Desa Nifuboke Tahun 2016’, Jurnal INOHIM, 5, p. 96.
Jahri, et al (2018) ‘Gambaran Status Gizi pada Siswa Sekolah Dasar Kecamatan Siak Kecil Kabupaten Bengkalis’, JOM FK, 3(2), pp. 1–17.
Kartini, S. (2016) ‘Kejadian Kecacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Rumbai Pesisir Pekanbar’, Jurnal Kesehatan Komunitas, 3(2), pp. 53–58. Available at:
https://doi.org/10.25311/jkk.vol3.iss2. 102.
Kemkes (2013) ‘Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia’. Available at:
https://www.google.com/search?q=ris kesdas+2013&ie=utf-8&oe=utf-8.
Kemkes (2018) ‘Buku Saku Pemantauan
Status Gizi Tahun 2017’. Available at: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/w p-content/uploads/2018/01/Buku-Sak u-Nasional-PSG-2017-Cetak-1.pdf.
Kemkes (2022) ‘Monitoring dan Evaluasi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di Kecamatan Kubu, Kabupaten
Karangasem’. Available at:
http://monev.stbm.kemkes.go.id/mon ev/. Diakses pada tanggal 7 Oktober%0A2022%0A.
Kusuma, A.N. (2019) ‘Determinan Personal Hygiene Pada Anak Usia 9–12 Tahun’, Faletehan Health Journal, 6(1), pp. 37–44. Available at:
https://doi.org/10.33746/fhj.v6i1.47.
Laksmi, D. (2017) ‘Hubungan Perilaku
Higienitas Diri Dan Sanitasi Sekolah Dengan Infeksi Soil Transmitted Helminths Pada Siswa Kelas II-VI Sekolah Daasar Negeri N0.5 Delod Peken Tabanan’, Medika, 6(5), pp. 5–8.
Muslimawati, N.M. and Widayani, P. (2016) ‘Analisis Spasial Penyakit Kecacingan Soil Transmited Helminths dengan Karakteristik Tanah Melalui
Pendekatan Geomorfologi di
Kabupaten Bantul’, Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), pp. 1689–1699.
Olin, W., Paun, R. and Rindu, Y. (2019) ‘Behavior Model of Prevention of Soil Transmitted Helminth (Sth) in Elementary School Student in the District of Northwest Sumba’,
International Journal of Medicine, Health and Food Sciences, 3(1), p. 2019. Available at:
Purnama, I. et al. (2016) ‘Pengembangan Wirausaha Sanitasi Di Wilayah Kerja Puskesmas Kubu Ii, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali’, Jurnal Udayana Mengabdi, 15(1), pp. 132–139. Available at:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/jum/ article/view/20826.
Rahayu, B. and Darmawan, S. (2019)
‘Hubungan Karakteristik Balita, Orang Tua, Higiene Dan Sanitasi
Lingkungan Terhadap Stunting Pada Balita’, Binawan Student Journal, 1(1), pp. 22–27. Available at:
http://journal.binawan.ac.id/bsj/articl e/view/46.
Ramayanti, I., Ghufron, J.Z. and Lindri, S.Y. (2021) ‘Prevalensi Soil Transmitted
Helmints (Sth) Pada Murid Sd Negeri 149 Di Kecamatan Gandus Kota Palembang’, Syifa’ MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 11(2), p. 105. Available at:
https://doi.org/10.32502/sm.v11i2.272 0.
RI, D.P.K. (2013) Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Tahun 2012, Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Santoso, W.H., Jayadi, H. and P. Irawan, H.D.W. (2015) ‘Phbs Dan Hygiene
Perorangan Pada Siswa Sekolah
Dasar Negeri 2 Ngiliran Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan’, Gema Lingkungan Kesehatan, 13(3), pp. 140–144. Available at:
https://doi.org/10.36568/kesling.v13i3 .102.
Sari, N.P. et al. (2020) ‘Kebersihan
Perorangan dan Kecacingan pada
Siswa SDN 128 Pekanbaru Personal Hygiene and Helminthiasis of Primary School Students 128 in Pekanbaru’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat, 12.
Saskyarasmi, S. paramita, Permata Sari, O. and Munfiah, S. (2021) ‘Hubungan
Personal Hygiene dan Sanitasi dengan Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Anak Usia Sekolah Dasar disekitar TPA’, Jurnal
Pendidikan dan Teknologi Indonesia, 1(1), pp. 17–25. Available at:
https://doi.org/10.52436/1.jpti.8.
Septiani, E. (2019) ‘Analisis Epidemiologi Kejadian Infeksi Soil Transmitted Helminths (Sth) Pada Anak Sekolah Dasar Di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu’, pp. 1–30. Available at: https://repository.unsri.ac.id/21830/.
Setiawan, R. (2021) ‘Literature Review:
Analisis Perilaku Hygiene, Sarana Snitasi Sekolah dan Infeksi Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar’, Ir-perpustakaan Universitas Airlangga, pp. 1–120.
Setyowatiningsih, L. and Surati, S. (2017) ‘Hubungan Higiene Sanitasi Dengan Kejadian Infeksi Soil Transmitted Helminths Pada Pemulung Di Tps Jatibarang’, Jurnal Riset Kesehatan, 6(1), p. 40. Available at: https://doi.org/10.31983/jrk.v6i1.2325.
SSGI (2021) ‘Buku Saku Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021’. Available at:
https://www.litbang.kemkes.go.id/bu ku-saku-hasil-studi-status-gizi-indon
esia-ssgi-tahun-2021/.
Supariasa IDN, Bakri B, F.I. (2012) ‘Penilaian Status Gizi’, Jakarta: EGC, pp. 17–21.
Supariasi (2014) Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Suriptiastuti (2016) ‘Infeksi soil-transmitted helminth: ascariasis, trichiuriasis dan cacing tambang’, Universa Medicina, 22(2), pp. 8–94.
Tapiheru, M.J.R. and Zain, N. (2021) ‘Prevalensi Infeksi Soil Transmitted Helminth Pada Murid Sekolah Dasar Negeri 105296 Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara’, JIMKI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia, 8(3), pp. 1–7. Available at:
https://doi.org/10.53366/jimki.v8i3.24 9.
Thamaria, N. (2017) Penilaian Status Gizi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Ulfa Ali, R., Zulkarnaini, Z. and Affandi, D. (2016) ‘Hubungan Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan dengan Angka Kejadian Kecacingan (Soil Transmitted Helminth) Pada Petani Sayur di Kelurahan Maharatu Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru’, Dinamika Lingkungan Indonesia, 3(1), p. 24. Available at: https://doi.org/10.31258/dli.3.1.p.24-3
2.
WHO (2016) ‘Soil Transmitted Helminth
Infection’. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/fact s heets/fs366/en/-Accessed on.
WHO (2020) ‘Nutrition’. Available at:
https://www.who.int/health-topics/n utrition#tab=tab_1.
Wiryadana, K.A. et al. (2017) ‘Risk factors of soil-transmitted helminth infection among elementary school students’, 51(4), pp. 207–212. Available at:
Wiryadana, K.A.I.W.A.S.P.. P.D.S.R.. M.M.P.. M.L.A.P.. I. (2017) ‘Paediatrica
Indonesiana’, 57(6), pp. 295–302.
Available at:
Wulan (2015) ‘Asupan Zat Gizi Makro dan Serat menurut Status Gizi Anak Usia 6-12 tahun di Pulau Sulawesi’.
Yunidha Anwar, R., Irawati, N. and Masri, M. (2016) ‘Hubungan antara Higiene Perorangan dengan Infeksi Cacing Usus (Soil Transmitted Helminths) pada Siswa SDN 25 dan 28 Kelurahan Purus, Kota Padang, Sumatera Barat Tahun 2013’, Jurnal Kesehatan
Andalas, 5(3), pp. 600–607. Available at: https://doi.org/10.25077/jka.v5i3.584.
*e-mail korespondensi : nsujaya@unud.ac.id
389
Discussion and feedback